Minat advokat atau pengacara di Medan
mendirikan "Kantor Law Firm" untuk para calon klien yang mencari keadilan, telah menjadikan jasa layanan hukum yang
diberikan sebuah law firm adalah sebagai sentra penegakan hukum bagi para pencari
keadilan yang sedang menghadapi berbagai permasalahan hukum, baik hukum perdata,
pidana, ketenagakerjaan (perburuhan), pertanahan, perkebunan, sengketa dalam
kegiatan yang bersinggungan dengan hukum bisnis, agraria, kasus keuangan dan perbankan, dan
perselisihan-perselisihan hukum lainnya. Namun, sebelumnya anda harus tahu terlebih dahulu bagaimana cara mendirikan law firm di Indonesia.
Wajar saja law firm atau firma hukum dianggap sebagai harapan
yang baru akan adanya sentra layanan jasa hukum, mengingat dalam kantor
tersebut dipastikan memiliki orang-orang yang benar-benar terlatih secara
khusus dan profesional menyangkut permasalahan hukum yang sedang dihadapi oleh
kliennya, disamping sebagai salah satu
bisnis jasa yang sangat menjanjikan dapat memberikan gaji yang tinggi bagi para
pencari tenaga kerja di Indonesia,atau bagi siapa saja yang sedang mencari lowongan kerja di kantor law firm yang ada di Indonesia, khususnya di Kota Medan, Sumut.
Tentu saja, jasa layanan hukum yang
ditawarkan berbagai firma hukum di Kota Medan kepada masyarakat yang sedang mencari keadilan, tidak saja dalam
bentuk bantuan hukum didepan persidangan pengadilan (litigasi) saja, namun juga dilakukan dalam bentuk bantuan hukum non litigasi, misalnya konsultasi hukum
atau sebagai konsultan hukum bagi perusahaan bisnis yang dikelolah oleh para
kliennya.
Khusus untuk jasa bantuan hukum litigasi didepan
persidangan, tentu saja seorang advokat atau pengacara yang tergabung dalam tim advokat law firm yang bersangkutan
harus memahami penuh tentang sistem peradilan modern yang diberlakukan di
Indonesia. Meskipun berbagai pihak banyak menyatakan bahwa sistem peradilan
Indonesia berkategori “bobrok”.
Namun, bukan berarti kita selaku advokat meniadakan atau “apatis” terhadap lembaga peradilan tersebut sebagai salah satu sarana
yang tepat dalam pendistribusian keadilan bagi semua pihak.
Memang dalam catatan kami selaku salah
seorang Advokat atau Pengacara (Lawyer) yang berpraktik atau berkantor di Kota Medan, Provinsi
Sumatera Utara (Sumut), faktor-faktor yang menjadi penyebab timbulnya hambatan-hambatan
dalam pelaksanaan sistem peradilan yang modern, disebabkan hal-hal sebagai
berikut:
- Sangat sarat dengan beban formalitas;
- Prosedur yang diterapkan berbelit-belit;
- Birokrasi yang kurang sistematis dari badan peradilan;
- Dan penggunaan metodologi yang ketat di lembaga peradilan;
Hal-hal diataslah yang menurut hemat kami menjadi
penyebab bahwa keadilan yang seharusnya didistribusikan melalui adanya keputusan
birokrasi lembaga peradilan bagi kepentingan umum, cenderung putusannya masih
jauh dari sifat keadilan rasional masyarakat. Sehingga, keadilan yang sepantasnya
diperoleh oleh masyarakat modern hanya sebatas pada keadilan birokratis. Terlebih-lebih dalam penyelesaian sebuah sengketa
di pengadilan telah banyak terbukti menimbulkan ketidakpuasan bagi pihak-pihak
yang sedang bersengketa maupun bagi masyarakat yang kena imbas dari adanya
putusan dimaksud. Munculnya ketidakpuasan masyarakat dialamatkan dalam bentuk
pandangan negatif, seperti: adanya pandangan sinisme, mencemooh, dan menghujat
terhadap kinerja pengadilan yang dianggap:
- tidak memanusiakan pihak-pihak yang sedang bersengketa;
- menjauhkan pihak-pihak yang bersengketa dari rasa keadilan;
- dan bahkan pengadilan telah dicap sebagai tempat terjadinya jual beli atau perdagangan putusan hukum dari hakim;
- dan lain-lain hujatan yang ditujukan kepada lembaga peradilan Indonesia.
Sehubungan dengan kegiatan bisnis yang
terjadi di kota-kota besar (seperti Jakarta, Medan, Surabaya, Bandung, Jambi,
Makasar, Semarang, Tanjung Pinang, Palembang, Batam, Aceh, Bali, Ternate,
Papua, Riau dan Pekan Baru, dll), tentu saja para pelaku bisnis sangat membutuhkan
adanya kepastian hukum dan rasa aman dalam berinvestasi maupun dalam melakukan aktivitas
perdagangannya, terlebih-lebih disaat terjadi sengketa yang menyangkut dalam
hubungan bisnis mereka, ditambah dengan kekuatiran atas kondisi badan peradilan
Indonesia yang dianggap sangat carut marut.
Kondisi semacam inilah yang memuncul
keinginan dari komunitas pelaku bisnis modern, untuk memilih model alternatif dalam
penyelesaian sengketa yang sedang dialaminya, misalnya saja sering memilih
menggunakan badan arbitrase (BANI). Meskipun bentuk penyelesaian alternatif yang
dipilih tersebut masih tergolong serumpun dengan mekanisme badan peradilan yang
dikenal di Indonesia. Namun mereka tetap yakin dengan memilih dan menjadikan forum
alternatif penyelesaian sengketa melalui arbitrase tersebut, disebabkan lembaga
arbitrase dapat memberikan ruang kebebasan dalam menuntaskan sengketa bisnis
yang sedang dihadapi.
Dengan kata lain, model alternatif yang
dipilih tersebut diharapkan lebih memberikan peluang untuk mendapatkan rasa
keadilan yang lebih manusiawi, bermartabat dan yang pasti dapat memberikan
kepastian hukum.
Peran Law Firm Dalam
Penegakan Hukum dan Keadilan
Sebagaimana kami kemukakan diatas, bahwa law firm diisi dan
beranggotakan para advokat atau pengacara yang profesional dibidang hukum
terapan. Dalam konteks penegakan hukum, eksistensi advokat sebagai salah satu
pilar penegakan hukum dan keadilan di Indonesia, secara tegas dinyatakan dalam ketentuan
Pasal 24 Ayat (1) Undang-Undang Dasar (UUD) 1945 yang menyatakan bahwa =>
“kekuasaan kehakiman merupakan kekuasaan yang merdeka untuk menyelenggarakan
peradilan guna menegakkan hukum dan keadilan”. Berkaitan dengan pasal tersebut,
dapat kita maknai bahwa selain pelaku kekuasaan kehakiman, yaitu Mahkamah Agung
(MA) dan juga Mahkamah Konstitusi (MK), badan-ban lain yang fungsinya
berhubungan dengan adanya pelaksanaan kekuasaan kehakiman juga harus mendukung
terlaksananya kekuasaan kehakiman yang merdeka. Dalam hal ini salah satunya
adalah profesi advokat yang bebas, mandiri, dan bertanggungjawab, sebagaimana
diatur dalam Undang-Undang Nomor 18 Tahun 2003 tentang Advokat.
Selanjutnya, dalam ketentuan Pasal 5 Ayat (1) UU Advokat, telah memberikan status kepada Advokat sebagai penegak hukum yang mempunyai kedudukan setara dengan penegak hukum lainnya (Kepolisian, Kejaksaan dan Kehakiman) dalam menegakkan hukum dan keadilan di tengah-tengah masyarakat Indonesia. Tentu saja, adanya kesetaraan sebagai penegak hukum tersebut memerlukan suatu organisasi yang kuat sebagai salah satu organ negara dalam arti luas yang bersifat mandiri (independent state organ) dalam hal melaksanakan fungsi Negara (vide Pasal 28 Ayat (1) UU Advokat) untuk menciptakan atau melahirkan advokat-advokat baru yang berkualitas yang mampu menangani setiap permasalahan-permasalahan hukum yang sedang dialami oleh masyarakat (klien) pencari keadilan. Dengan kata lain, profesi advokat memiliki peran penting sebagai salah satu pusat (sentral) dalam upaya penegakan hukum. Setiap proses hukum, baik itu pidana, perdata, tata usaha negara, hukum administrasi negara, dan bahkan dalam hal ketatanegaraan Indonesia, tidak lepas dari turut sertanya melibatkan profesi advokat yang kedudukannya telah setara dengan para penegak hukum lainnya. Khusus dalam hal upaya pemberantasan yang menyangkut tindak pidana korupsi, terutama praktik mafia peradilan, advokat dapat berperan besar dengan memutus mata rantai praktik mafia peradilan yang terjadi. Peran tersebut dijalankan atau tidak bergantung kepada profesi advokat dan organisasi advokat yang telah dijamin kemerdekaan dan kebebasannya dalam UU Advokat dimaksud. Sehingga tidak salah apabila kondisi ini telah menciptakan image baru di masyarakat, bahwasanya advokat sebagai sentra penegakan hukum bagi masyarakat pencari keadilan.
Para advokat yang tergabung dalam sebuah law firm tidak dapat
melepaskan diri sebagai salah satu tempat dan sentra penegakan hukum dan
keadilan di Indonesia, mengingat adanya kemandirian dan kebebasan yang dimiliki
oleh profesi advokat itu sendiri. Namun, sangat wajar pula agar peran law firm
sebagai sentra penegakan hukum dan keadilan harus diikuti oleh adanya
tanggungjawab yang melekat pada masing-masing advokat dan/atau kepada Organisasi Profesi yang menaunginya.
Kalau dicermati ketentuan UU Advokat, sebenarnya telah memberikan
rambu-rambu yang sangat jelas agar profesi advokat dijalankan sesuai dengan
tujuan untuk menegakkan hukum dan keadilan ditengah-tengah masyarakat (klien)
yang sedang mencari keadilan. Rambu-rambu dimaksud, dapat kita lihat secara
jelas dan nyata dari adanya sumpah atau janji advokat yang dilakukan sebelum
menjalankan profesi advokat, yang mana lapasnya berbunyi sebagai berikut:
Demi Allah saya bersumpah/saya berjanji:
- bahwa saya akan memegang teguh dan mengamalkan Pancasila sebagai dasar negara dan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia;
- bahwa saya untuk memperoleh profesi ini, langsung atau tidak langsung dengan menggunakan nama atau cara apapun juga, tidak memberikan atau menjanjikan barang sesuatu kepada siapapun juga;
- bahwa saya dalam melaksanakan tugas profesi sebagai pemberi jasa hukum akan bertindak jujur, adil, dan bertanggung jawab berdasarkan hukum dan keadilan;
- bahwa saya dalam melaksanakan tugas profesi di dalam atau di luar pengadilan tidak akan memberikan atau menjanjikan sesuatu kepada hakim, pejabat pengadilan atau pejabat lainnya agar memenangkan atau menguntungkan bagi perkara Klien yang sedang atau akan saya tangani;
- bahwa saya akan menjaga tingkah laku saya dan akan menjalankan kewajiban saya sesuai dengan kehormatan, martabat, dan tanggung jawab saya sebagai Advokat;
- bahwa saya tidak akan menolak untuk melakukan pembelaan atau memberi jasa hukum di dalam suatu perkara yang menurut hemat saya merupakan bagian daripada tanggung jawab profesi saya sebagai seorang Advokat;
Adanya kewajiban Sumpah/Janji diatas, pada hakikatnya adalah merupakan
sumpah atau janji seorang yang akan menjalani profesi sebagai advokat, kepada
Tuhan Yang Maha Esa, diri sendiri, dan juga kepada masyarakat. Seandainya
setiap advokat tidak hanya pandai mengucapkannya dan menganggapnya sebagai
formalitas semata, melainkan benar-benar meneguhinya, meresapi, dan bahkan aplikasinya
dijalankan dalam memberikan layanan jasa bantuan hukum, maka niscaya kondisi
penegakan hukum dan pemberian jasa bantuan hukum kepada masyarakat (khususnya bagi
klien yang kurang mampu) akan senantiasa meningkat dan lebih baik. Dengan
demikian pula, implementasi kekuasaan kehakiman akan benar-benar dapat
menegakkan hukum dan keadilan bagi siapa saja yang mencari dan membutuhkan keadilan.
Selain dari itu, untuk mewujudkan profesi advokat yang benar-benar
berfungsi sebagai penegak hukum dan keadilan di Indonesia, juga ditentukan oleh
peran Organisasi Advokat. UU Advokat telah memberikan aturan yang jelas tentang
adanya pengawasan, tindakan-tindakan yang diberlakukan terhadap para pelanggar,
dan sampai adanya pemberian sanksi pemberhentian advokat yang mana kewenangan pelaksanaannya
dijalankan oleh Organisasi Advokat. Dalam ketentuan Pasal 6 UU Advokat, telah
jelas dan tegas ditentukan bahwa advokat dapat dikenai tindakan atau sanksi
dengan adanya alasan:
- mengabaikan atau menelantarkan kepentingan kliennya;
- berbuat atau bertingkah laku yang tidak patut terhadap lawan atau rekan seprofesinya;
- bersikap, bertingkah laku, bertutur kata, atau mengeluarkan pernyataan yang menunjukkan sikap tidak hormat terhadap hukum, peraturan perundang-undangan, atau pengadilan;
- berbuat hal-hal yang bertentangan dengan kewajiban, kehormatan, atau harkat dan martabat profesinya;
- melakukan pelanggaran terhadap peraturan perundang-undangan dan atau perbuatan tercela;
- melanggar sumpah/janji Advokat dan/atau kode etik profesi Advokat;
Kode Etik Benteng
Kewibawaan Advokat
Dalam rangka menunjang agar berfungsi secara efektif sistem hukum
di Indonesia, diperlukan adanya suatu penggunaan sistem etika yang ditegakkan
secara positif berupa kode etika di sektor pelayanan publik yang diberikan oleh
para advokat. Pada setiap sektor kenegaraan dan pemerintahan selalu terdapat
beberapa peraturan tata tertib serta pedoman berorganisasi dan/atau tata kerja organisatoris yang bersifat
internal. Dalam konteks adanya organisasi-organisasi masyarakat (ormas), secara umum kita mengenal Anggaran
Dasar (AD) atau Pedoman Dasar Rumah Tangga Organisasi, beberapa diantaranya
bahkan ada yang telah memiliki perangkat Kode Etika yang disertai oleh
penyediaan infrastruktur kelembagaan Dewan Kehormatan ataupun Komisi Etika yang
secara khusus bertugas menegakkan pelaksanaan kode etika dimaksud.
Meskipun pedoman atau anggaran dasar dan rumah tangga tersebut
sudah ada, dokumen-dokumen tersebut terkadang hanya “lips service” di atas kertas semata. Artinya, tidak sungguh-sungguh
dijadikan sebagai pedoman perilaku berorganisasi yang baik dan benar. Pada
umumnya, dokumen-dokumen peraturan, pedoman atau anggaran dasar dan rumah
tangga tersebut hanya dibuka dan dibaca pada saat diadakan kongres, muktamar
atau musyawarah nasional organisasi yang bersangkutan. Selebihnya,
dokumen-dokumen tersebut hanya biasa untuk dilupakan. Pemberlakuan kode etik
dimaksud sebenarnya dapat dijadikan sebagai benteng atau juga harus dianggap
sebagai pengejawantahan diri advokat dan law firm ataupun organisasi tempat
bernaungnya para advokat.
Tanpa bermaksud unuk “berprasangka
buruk”, sebenarnya UU Advokat telah secara jelas menentukan para advokat
untuk selalu menjaga martabat dan atau kehormatan profesi advokat yang
dituangkan dalam kode etik profesi advokat Indonesia (KEAI) oleh Organisasi
Advokat, dimana seharusnya setiap advokat wajib tunduk dan mematuhi kode etik
profesi advokat dan ketentuan tentang Dewan Kehormatan Organisasi Advokat.
Namun kenyataannya, banyak para advokat yang melanggarnya dan parahnya
Organisasi Advokat seakan-akan melakukan pembiaran dengan tidak memberikan
sanksi yang tegas kepada para pelaku yang melanggar kode etik advokat. Untuk
itulah, kami menganggap sangat penting dibangun pondasi infrastruktur yang kuat
agar kode etik yang dibuat dapat ditegakkan tanpa pandang bulu. Infrastruktur
tersebut tentu saja membutuhkan budaya taat aturan di lingkungan advokat itu
sendiri, baik aturan hukum negara maupun aturan berorganisasi termasuk anggaran
dasar dan rumah tangga law firm, serta kode etik profesi yang diberlakukan
secara universal. Tradisi taat aturan inilah yang masih harus terus dipacu dan dibudayakan
secara luas ditengah-tengah para advokat. Selain itu, sistem dan mekanisme
penegakan kode etik juga harus dilembagakan melalui pembentukan Dewan
Kehormatan yang credible diikuti dengan adanya mekanisme pengawasan yang tegas
dan efektif terhadap perilaku advokat Indonesia.
Dengan demikian sebagai organisasi profesi yang turut serta memberikan jasa
bantuan dan layanan hukum kepada masyarakat yang sangat membutuhkan keadilan,
mekanisme pengawasannya sedikit banyak harus pula membuka ruang bagi
partisipasi publik dan menjalankan prinsip transparansi berorganisasi. Tanpa
adanya transparansi dan partisipasi publik, Organisasi Advokat tidak akan dapat
menjalankan fungsinya meningkatkan kualitas advokat demi tegaknya hukum dan
keadilan sesuai dengan amanat UU Advokat, serta menciptakan para advokatsebagai sentra penegakan hukum dan keadilan yang sangat dibutuhkan oleh masyarakat pencari
keadilan.
Peran strategis lain yang dapat dilaksanakan oleh seorang advokat
adalah dengan memberikan bantuan hukum ataupun sekedar konsultasi hukum gratis
atau cuma-cuma atas nama kantor law firm maupun tim advokatnya, yang mana hal
ini adalah merupakan bahagian dari tanggung jawab kita bersama untuk membantu
masyarakat yang tidak mampu dalam hal membayar honor pengacara, namun sangat
membutuhkan bantuan dan layanan hukum dari seorang advokat atau pengacara yang
profesional dari sebuah kantor law firm, sehingga nantinya masyarakat akan
menjadikan kantor law firm sebagai sentra penegakan hukum dan keadilan bagi
para pencari keadilan bukan hanya untuk mencari keuntungan atau “profit” semata.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
No Link Aktif, Harap Maklum BOSS.....