Adanya pelantikan advokat baru menimbulkan
harapan adanya sentra layanan hukum yang benar-benar dijalankan secara mahir dan mumpuni bagi
masyarakat pencari keadilan. Tentu saja, adanya layanan hukum dimaksud adalah
benar diperoleh dari orang-orang yang terlatih secara khusus dan baik sebagai
punggawa-punggawa penegakan hukum di Indonesia.
Dalam konteks layanan hukum bagi
masyarakat yang sedang mencari keadilan, dapat dilakukan dalam bentuk bantuan
hukum litigasi maupun bantuan non litigasi. Nah, secara khusus kami akan menyoroti
layanan hukum litigasi (menggunakan lembaga peradilan).
Sebagaimana diketahui bersama, bahwa penggunaan
sistem peradilan khususnya yang bersifat modern, telah digunakan sebagai sarana
pendistribusi keadilan bagi semua pihak. Memang, sistem peradilan yang
digunakan di Indonesia masih dijumpai banyak hambatan. Namun, bukan berarti hal
tersebut menimbulkan “apatis” terciptanya rasa keadilan hukum di tengah-tengah
masyarakat.
Sebagai catatan kami selaku salah seorang
Advokat atau Pengacara yang berkantor di Kota Medan, Provinsi Sumatera Utara, faktor-faktor
yang menjadi penyebab timbulnya hambatan dalam sistem peradilan modern
disebabkan:
- sarat dengan beban formalitas;
- prosedur yang berbelit-belit;
- birokrasi dari badan peradilan;
- dan metodologi yang ketat;
Kondisi diataslah yang menurut kami
menyebabkan keadilan yang akan didistribusikan melalui keputusan birokrasi lembaga
peradilan bagi kepentingan umum cenderung masih jauh dari sifat keadilan yang
rasional. Maka, keadilan yang diperoleh masyarakat modern adalah merupakan keadilan
birokratis. Terlebih-lebih dalam penyelesaian sengketa di pengadilan telah
terbukti banyak menimbulkan ketidakpuasan bagi pihak-pihak yang bersengketa
maupun bagi masyarakat itu sendiri. Ketidakpuasan masyarakat dilontarkan dalam
bentuk pandangan negatif, seperti: sinis, mencemooh, dan menghujat terhadap
kinerja pengadilan yang dianggap tidak memanusiakan pihak-pihak yang sedang bersengketa,
menjauhkan pihak-pihak yang bersengketa dari rasa keadilan, dan bahkan
pengadilan telah dicap sebagai tempat terjadinya jual beli atau perdagangan
putusan hukum dari hakim, dan lain-lain hujatan yang ditujukan kepada lembaga
peradilan.
Sehubungan dengan kegiatan bisnis, para
pelaku bisnis yang sangat memerlukan kepastian hukum serta keamanan di dalam
investasi maupun aktivitas perdagangannya, khususnya disaat terjadi sengketa yang menyangkut
dalam hubungan bisnis mereka dapat menggunakan penerapan hukum bisnis yang jauh dari keberpihakan, ditambah dengan kondisi badan peradilan Indonesia
yang dianggap telah carut marut. Kondisi semacam itulah, memuncul keinginan
dari komunitas pelaku bisnis, untuk memilih model lain dalam penyelesaian
sengketa, misalnya melalui badan arbitrase. Meskipun bentuk penyelesaian yang dipilih
itu tergolong masih serumpun dengan mekanisme badan peradilan yang ada, namun mereka
yakin dengan memilih forum alternatif penyelesaian sengketa dapat memberikan ruang
kebebasan dalam meyelesaikan sengketa bisnis yang sedang dialaminya.
Dengan kata lain, model alternatif yang
dipilih tersebut diharapkan lebih memberikan peluang untuk mendapatkan rasa keadilan
yang lebih manusiawi, bermartabat dan memberikan kepastian hukum.
Peran Strategis Advokat Dalam Penegakan
Hukum dan Keadilan
Dalam
ketentuan Pasal 24 Ayat (1) Undang-Undang Dasar (UUD) 1945 menyatakan bahwa =>
“kekuasaan kehakiman merupakan kekuasaan yang merdeka untuk menyelenggarakan
peradilan guna menegakkan hukum dan keadilan”. Berkaitan dengan pasal tersebut,
dapat kita maknai bahwa selain pelaku kekuasaan kehakiman, yaitu Mahkamah Agung
(MA) dan juga Mahkamah Konstitusi (MK), badan-ban lain yang fungsinya berhubungan
dengan adanya pelaksanaan kekuasaan kehakiman juga harus mendukung
terlaksananya kekuasaan kehakiman yang merdeka. Dalam hal ini salah satunya
adalah profesi advokat yang bebas, mandiri, dan bertanggungjawab, sebagaimana diatur
dalam Undang-Undang Nomor 18 Tahun 2003 tentang Advokat.
Dalam ketentuan Pasal 5 Ayat (1) UU Advokat, telah memberikan status kepada Advokat sebagai penegak hukum yang mempunyai kedudukan setara dengan penegak hukum lainnya (Kepolisian, Kejaksaan dan Kehakiman) dalam menegakkan hukum dan keadilan di tengah-tengah masyarakat Indonesia. Tentu saja, adanya kesetaraan sebagai penegak hukum tersebut memerlukan suatu organisasi yang kuat organ negara dalam arti luas yang bersifat mandiri (independent state organ) yang juga melaksanakan fungsi Negara (vide Pasal 28 Ayat (1) UU Advokat) dalam rangka menciptakan atau melahirkan advokat-advokat baru yang berkualitas untuk bisa menangani permasalah-permasalahan hukum yang sedang dialami oleh masyarakat pencari keadilan. Dengan kata lain, profesi advokat memiliki peran penting sebagai salah satu pusat (sentral) dalam upaya penegakan hukum. Setiap proses hukum, baik itu pidana, perdata, tata usaha negara, bahkan tata negara, tidak lepas dari turut sertanya melibatkan profesi advokat yang kedudukannya setara dengan penegak hukum lainnya. Khusus dalam upaya pemberantasan yang menyangkut tindak pidana korupsi, terutama praktik mafia peradilan, advokat dapat berperan besar dengan memutus mata rantai praktik mafia peradilan yang terjadi. Peran tersebut dijalankan atau tidak bergantung kepada profesi advokat dan organisasi advokat yang telah dijamin kemerdekaan dan kebebasannya dalam UU Advokat dimaksud. Sebagai salah satu sentra penegakan hukum di Indonesia, adanya kemandirian dan kebebasan yang dimiliki oleh profesi advokat, sangat wajar harus diikuti oleh adanya tanggungjawab masing-masing advokat dan/atau Organisasi Profesi yang menaunginya. Ketentuan UU Advokat telah memberikan rambu-rambu yang sangat jelas agar profesi advokat dijalankan sesuai dengan tujuan untuk menegakkan hukum dan keadilan ditengah-tengah. Hal yang paling gamblang dapat kita lihat dari adanya sumpah atau janji advokat yang dilakukan sebelum menjalankan profesinya, yang lapasnya berbunyi sebagai berikut:
Demi
Allah saya bersumpah/saya berjanji:
- bahwa saya akan memegang teguh dan mengamalkan Pancasila sebagai dasar negara dan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia;
- bahwa saya untuk memperoleh profesi ini, langsung atau tidak langsung dengan menggunakan nama atau cara apapun juga, tidak memberikan atau menjanjikan barang sesuatu kepada siapapun juga;
- bahwa saya dalam melaksanakan tugas profesi sebagai pemberi jasa hukum akan bertindak jujur, adil, dan bertanggung jawab berdasarkan hukum dan keadilan;
- bahwa saya dalam melaksanakan tugas profesi di dalam atau di luar pengadilan tidak akan memberikan atau menjanjikan sesuatu kepada hakim, pejabat pengadilan atau pejabat lainnya agar memenangkan atau menguntungkan bagi perkara Klien yang sedang atau akan saya tangani;
- bahwa saya akan menjaga tingkah laku saya dan akan menjalankan kewajiban saya sesuai dengan kehormatan, martabat, dan tanggung jawab saya sebagai Advokat;
- bahwa saya tidak akan menolak untuk melakukan pembelaan atau memberi jasa hukum di dalam suatu perkara yang menurut hemat saya merupakan bagian daripada tanggung jawab profesi saya sebagai seorang Advokat;
Adanya
Sumpah/Janji tersebut diatas, pada hakikatnya adalah sumpah atau janji seorang
yang akan menjalani profesi sebagai advokat, kepada Tuhan Yang Maha Esa, diri
sendiri, dan masyarakat. Seandainya setiap advokat tidak hanya pandai mengucapkannya
saja sebagai formalitas, tetapi meneguhi, meresapi, dan bahkan menjalankannya
dalam memberikan layanan bantuan hukum, maka niscaya kondisi penegakan hukum dan
pemberian jasa bantuan hukum kepada masyarakat (khususnya yang tidak mampu) akan
senantiasa meningkat dan lebih baik. Kekuasaan kehakiman akan benar-benar dapat
menegakkan hukum dan keadilan bagi siapa saja yang mencari keadilan.
Selain
dari itu, untuk mewujudkan profesi advokat yang benar-benar berfungsi sebagai
penegak hukum dan keadilan juga ditentukan oleh peran Organisasi Advokat. UU
Advokat telah memberikan aturan tentang pengawasan, tindakan-tindakan terhadap
pelanggaran, dan pemberhentian advokat yang pelaksanaannya dijalankan oleh
Organisasi Advokat. Dalam ketentuan Pasal 6 UU Advokat, telah jelas dan tegas
ditentukan bahwa advokat dapat dikenai tindakan atau sanksi dengan adanya alasan:
- mengabaikan atau menelantarkan kepentingan kliennya;
- berbuat atau bertingkah laku yang tidak patut terhadap lawan atau rekan seprofesinya;
- bersikap, bertingkah laku, bertutur kata, atau mengeluarkan pernyataan yang menunjukkan sikap tidak hormat terhadap hukum, peraturan perundang-undangan, atau pengadilan;
- berbuat hal-hal yang bertentangan dengan kewajiban, kehormatan, atau harkat dan martabat profesinya;
- melakukan pelanggaran terhadap peraturan perundangundangan dan atau perbuatan tercela;
- melanggar sumpah/janji Advokat dan/atau kode etik profesi Advokat;
Kode Etik Menjaga Kewibawaan Profesi
Advokat
Dalam
rangka menunjang agar berfungsi secara efektif sistem hukum di Indonesia, diperlukan
suatu penggunaan sistem etika yang ditegakkan secara positif berupa kode etika
di sektor pelayanan publik. Pada setiap sektor kenegaraan dan pemerintahan
selalu terdapat beberapa peraturan tata tertib serta pedoman berorganisasi dan/atau
tata kerja yang bersifat internal. Dalam konteks organisasi-organisasi
masyarakat (ormas) juga terdapat
Anggaran Dasar (AD) atau Pedoman Dasar Rumah Tangga organisasi, beberapa
diantaranya bahkan ada yang telah memiliki perangkat Kode Etika yang disertai
oleh penyediaan infra struktur kelembagaan Dewan Kehormatan ataupun Komisi
Etika yang secara khusus bertugas menegakkan kode etika dimaksud.
Meskipun
pedoman atau anggaran dasar dan rumah tangga tersebut sudah ada,
dokumen-dokumen tersebut terkadang hanya “lips service” yang ada di atas kertas
semata. Artinya, tidak sungguh-sungguh dijadikan sebagai pedoman perilaku
berorganisasi yang baik dan benar. Pada umumnya, dokumen-dokumen peraturan,
pedoman atau anggaran dasar dan rumah tangga tersebut hanya dibuka dan dibaca
pada saat diadakan kongres, muktamar atau musyawarah nasional organisasi yang
bersangkutan. Selebihnya, dokumen-dokumen tersebut hanya biasa untuk dilupakan.
Tanpa
bermaksud “suudzon”, sebenarnya UU Advokat telah secara jelas menentukan para
advokat untuk menjaga martabat dan kehormatan profesi advokat yang dituangkan
dalam kode etik profesi para advokat Indonesia (KEAI) oleh Organisasi Advokat,
dimana seharusnya setiap advokat wajib tunduk dan mematuhi kode etik profesi
advokat dan ketentuan tentang Dewan Kehormatan Organisasi Advokat. Namun
kenyataannya, banyak para advokat yang melanggarnya dan parahnya Organisasi
Advokat seakan-akan melakukan pembiaran dengan tidak memberikan sanksi yang
tegas kepada para pelaku pelanggaran kode etik advokat. Advokat. Untuk itulah,
kami menganggap sangat penting dibangun pondasi infrastruktur yang kuat agar
kode etik yang dibuat dapat ditegakkan. Infrastruktur tersebut tentu saja membutuhkan
budaya taat aturan di lingkungan advokat itu sendiri, baik aturan hukum negara
maupun aturan berorganisasi termasuk anggaran dasar dan rumah tangga serta kode
etik profesi yang diberlakukan secara universal (misalnya anda dapat melihat contoh anggaran dasar koperasi yang ada kami buatkan draftnya). Tradisi taat aturan inilah
yang masih harus dibudayakan secara luas ditengah-tengah para advokat. Selain
itu, sistem dan mekanisme penegakan kode etik juga harus dilembagakan melalui
pembentukan Dewan Kehormatan yang credible diikuti dengan mekanisme pengawasan
yang tegas dan efektif.
Dengan
demikian sebagai organisasi profesi yang memberikan jasa bantuan dan layanan
hukum kepada masyarakat yang sangat membutuh keadilan, mekanisme pengawasannya
sedikit banyak harus pula membuka ruang bagi partisipasi publik dan menjalankan
prinsip transparansi. Tanpa adanya transparansi dan partisipasi publik,
Organisasi Advokat tidak akan dapat menjalankan fungsinya meningkatkan kualitas advokat demi tegaknya hukum dan keadilan sesuai dengan amanat UU Advokat (bukan hanya sekedar mengejar segi kuantitas advokat), serta
menciptakan para advokat sebagai sentra penegakan hukum yang sangat dibutuhkan oleh
masyarakat pencari keadilan.
Peran
strategis lain yang dapat dilaksanakan oleh seorang advokat adalah dengan
memberikan bantuan hukum ataupun sekedar konsultasi hukum gratis atau cuma-cuma,
yang mana hal ini adalah merupakan tanggung jawab kita bersama untuk membantu
masyarakat yang tidak mampu untuk membayar honor pengacara.
Sekian
dan terima kasih.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
No Link Aktif, Harap Maklum BOSS.....