Segudang ide kontruksi merevisi UU Pilkada akibat belum
maksimalnya penyelenggaraan pilkada tahap I tanggal 9 Desember 2015 lalu yang menyisakan
banyak persoalan, telah menciptakan semangat untuk sesegera mungkin memperbaiki
kelemahan-kelemahan yang ada pada pelaksanaan pilkada serentak, dimana
pengejawantahannya adalah melalui tindakan untuk merevisi UU Pilkada yang
dipergunakan selama ini. Namun, hingga saat ini revisi yang dimaksud belum bisa
kita ketahui hasilnya karena masih dalam tahap pembahasan di DPR RI, pada hal revisi
tersebut sangat penting dikebut mengingat waktu pelaksanaan pilkada 2017 hanya tinggal 9 bulan lagi (itupun kalau pada bulan Mei 2016 ini, DPR RI mensahkan
revisi UU Pilkada).
Tentu saja sisa waktu yang kurang dari 9 bulan lagi, menyebabkan
para penyelenggara pilkada (KPU dan Bawaslu) akan bekerja ekstra keras untuk
bisa mensosialisasikannya dan sekaligus untuk menerbitkan seluruh peraturan-peraturan
yang berkaitan dengan hal-hal yang ditetapkan atau disyaratkan dalam UU Pilkada
hasil revisi tersebut.
Sekedar membandingkan dengan penyelenggaraan pilkada 2015 yang lalu, dimana penting untuk kita ketahui bahwa tingkat partisipasi masyarakat untuk menggunakan hak pilih dikategorikan cukup rendah ditambah dengan segudang permasalahan DPT yang belum clear setiap adanya pemilu/pilkada, pada hal waktu yang dipergunakan untuk melakukan sosialisasi dan memantapkan kinerja para penyelenggara pemilu (pilkada) lebih dari 9 bulanan. Terlepas dari hal tersebut, sebenarnya maksud dan tujuan dilakukannya revisi terhadap UU Pilkada adalah untuk memperbaiki dan meningkatkan tingkat kesadaran dan juga kualitas penyelenggaraan pesta demokrasi menuju lebih baik lagi dari sebelumnya.
Sekedar membandingkan dengan penyelenggaraan pilkada 2015 yang lalu, dimana penting untuk kita ketahui bahwa tingkat partisipasi masyarakat untuk menggunakan hak pilih dikategorikan cukup rendah ditambah dengan segudang permasalahan DPT yang belum clear setiap adanya pemilu/pilkada, pada hal waktu yang dipergunakan untuk melakukan sosialisasi dan memantapkan kinerja para penyelenggara pemilu (pilkada) lebih dari 9 bulanan. Terlepas dari hal tersebut, sebenarnya maksud dan tujuan dilakukannya revisi terhadap UU Pilkada adalah untuk memperbaiki dan meningkatkan tingkat kesadaran dan juga kualitas penyelenggaraan pesta demokrasi menuju lebih baik lagi dari sebelumnya.
Seberapa pentingkah revisi UU Pilkada tersebut? Tentu hal ini,
memunculkan banyak pendapat yang beragam dari seluruh stakeholder. Ada beberapa
catatan penting yang kami kumpulkan untuk bisa kita renungkan bersama-sama atau
dijadikan sebagai dasar kontruksi menyangkut pelaksanaan pilkada untuk lebih
baik lagi, sehingga layak untuk UU Pilkada segera direvisi, diantaranya adalah:
Tentang Calon Dari Jalur
Perseorangan (Independen)., Banyaknya minat para bakal pasangan calon kepala daerah yang
memilih jalur perseorangan ini, telah memberikan warna dan mimpi baru dalam
peta perpolitikan di Indonesia. Dimana pada pelaksanaan pilkada tahap satu
tahun 2015 yang lalu, banyak para pasangan calon (paslon) yang memilih jalur
perseorangan ikut bertarung mengikuti pilkada. Dan dari beberapa catatan dari
hasil pilkada, banyak yang dimenangkan oleh para pasangan calon dari jalur perseorangan (independen), misalnya pilkada di Kabupaten Simalungun, Sumut. Khusus
pengaturan tentang jalur perseorangan ini, Mahkamah Konstitusi telah memberikan
putusan hukum bahwa syarat untuk bisa maju melalui jalur independen ini adalah
harus mengumpulkan dukungan suara 6,5% sampai dengan 10% dari jumlah pemilih
pada suatu daerah.
Nah, oleh karena dinamika minat dari para kontestan yang tinggi
untuk maju melalui jalur perseorangan ini, maka alangkah baiknya hal-hal yang
berhubungan dengan segala sesuatu yang menyangkut tentang syarat dukung dan
lain sebagainya segera direvisi untuk dapat dipergunakan dalam rangka meningkatkan
kualitas pesta demokrasi rakyat melalui pilkada 2017 mendatang.
Kasus Politik Uang dan
Barang., Dalam penyelenggaraan pemilu ataupun pilkada, masalah politik
uang maupun pemberian barang masih sangat kental dan berakar. Apakah itu dengan
dalih memberikan bantuan pada hal telah memasuki tahapan pilkada ataupun
memberikan uang mahar untuk mendapatkan “perahu
politik” (misalnya kasus Ketua DPC Gerindra Kabupaten Tobasa, yaitu Asmadi
Lubis, SH). Munculnya paradigma politik uang dan barang ini, menciptakan
pandangan bahwa untuk bisa menjadi pasangan calon kepala daerah harus mempunyai
uang yang banyak agar bisa memberikan “mahar”
dan juga memberikan bantuan barang berupa sembilan bahan pokok (sembako) kepada
audien dan atau pemilih, khususnya pada saat kampanye dan masa tenang.
Masih berlangsungnya penggunaan politik uang sebagaimana kami
kemukakan diatas, disebabkan uang mahar politik dan atau pemberian bantuan
barang tidak diproses penyalagunaannya secara hukum, karena hal tersebut
dikategorikan sebagai ketentuan administrasi pemilu (KAP) dan sekaligus juga
bisa dikategorikan sebagai ketentuan pidana pemilu.
Adanya dugaan terjadinya penyalahgunaan ketentuan administrasi
pemilu ini, sepenuhnya diserahkan kepada panitia pengawas pemilihan (panwaslih
dahulu panwaslu) cq Badan Pengawas Pemilu (Bawaslu) Provinsi, dan jika tidak
merasa puas dengan keputusan Bawaslu Provinsi, maka keberatan dapat dibawa
ketingkat nasional di Bawaslu RI. Sedangkan untuk ketentuan pidana pemilu
diserahkan prosesnya ke kepolisian, kejaksaan dan pengadilan. Namun, proses
penyelesaiannya tidak terikat oleh batas waktu yang mana hal ini menurut kami
akan memperumit proses dalam mengusut setiap kasus politik uang yang terjadi,
disebabkan UU Nomor 8 Tahun 2015 menyatakan dengan tegas bahwa: “5 hari sebelum
KPU menetapkan hasil pemilu permasalahan harus sudah selesai”. Ketentuan ini
tentu saja merupakan limit waktu yang diberikan oleh UU untuk bisa dipergunakan
dalam menyelesaikan setiap kasus politik yang terjadi dalam proses pelaksanaan
pemilu, sehingga segi waktu yang “terjepit” ini, memberikan peluang untuk tidak
memproses kasus politik yang terjadi pada pemilu.
Tidak Ada Transparansi
Partai Politik Dalam Menetapkan Pasangan Calon., Penetapan pasangan
calon (paslon) kepala daerah dari jalur partai politik (parpol), prosesnya
tidak ada yang terbuka, partisipatif dan demokratis dalam menentukan paslon
yang ikut dalam pilkada. Padahal kontruksi hukum, sebagaimana dinyatakan dengan
tegas dalam UU No. 8 Tahun 2015 bahwasanya pencalonan dilakukan secara
demokratis. Demikian pula hal tersebut disyaratkan oleh UU No. 2 Tahun 2011
tentang partai politik yang secara eksplisit menjelaskan bakal calon (balon)
pasangan kepala daerah dilaksanakan secara demokrasi untuk sebuah proses yang
demokratis dan lebih terbuka. Dilemanya, parpol tidak pernah diberikan sanksi
bila tidak melaksanakan hal tersebut. Tidak ada sanksi inilah yang tetap
membuka peluang terjadinya transaksi politik uang seperti mahar untuk
menetapkan namanya sebagai bakal calon pasangan kepala daerah untuk mengikuti
pilkada.
Surat Keputusan DPP
Parpol Dalam Pengajuan/Pendaftaran Pasangan Calon., Memang tidak dapat
kita pungkiri, bahwa Surat Keputusan (SK) DPP partai politik (parpol) mempunyai efek yang sangat
menentukan sebagai syarat administrasi pasangan calon untuk mendaftar ke KPU
setempat. Hal ini secara tegas dinyatakan dalam Pasal 44 UU Nomor 8 Tahun 2015.
Nah, kami melihat bahwa penerapan ketentuan ini, sedikit banyaknya akan
menciptakan “ide gila” atau curang untuk bisa mendapatkan SK DPP Parpol yang
mana kondisi ini akan membuat daerah yang melakukan proses penjaringan yang
benar-benar demokratis dan terbuka akan sedikit kecewa ketika yang ditetapkan
berbeda dengan yang ditetapkan oleh SK DPP. Egosentris
pengurus partai ditingkat pusat sangat kental untuk menentukan nasib pasangan
calon yang akan nantinya ikut dalam pilkada.
Proses Penyelesaian
Sengketa., Dalam UU Pilkada dikenal 3 (tiga) jenis sengketa Pilkada yang
wajib diselesaikan bila ada pihak yang mengajukannya, yaitu:
- Sengketa administrasi pilkada => yaitu para peserta pemilu menggugat KPU;
- Sengketa antar para peserta => yaitu para peserta pemilu yang satu menggugat para peserta pemilu yang lain;
- Sengketa hasil pemilu => yaitu para peserta pemilu menggugat hasil pemilu yang ditetapkan oleh KPU, sengketa ini diajukan penyelesaiannya melalui Mahkamah Konstitusi (MK);
Khusus untuk sengketa penyelesaian perselisihan hasil pemilu/pilkada,
berdasarkan ketentuan Pasal 158 UU No. 8 Tahun 2015 intinya telah mengatur
bahwa pengajuan sengketa pemilu/pilkada hanya dimungkinkan bila terjadi
perbedaan hasil suara lebih dari 2% (dua persen) sesuai dengan jumlah penduduk.
Hal ini berarti, tidak semua pasangan calon yang tidak puas atau yang
mengajukan keberatan dengan hasil pemilu tidak dapat mengajukan sengketa
keberatan ke MK seluas-luasnya. Kontruksi hukum seperti ini, tentu saja
menimbulkan apatis dari para kontenstan yang keberatan untuk dikabulkannya
permohonan sengketanya.
Kalau kita review dari sengketa yang masuk ke MK, ekses dari pelaksanaan
pilkada 2015 yang lalu, dari 147 jumlah perkara yang masuk dan didaftarkan ke
MK hanya 7 perkara pilkada saja yang sampai pada proses tingkat pembuktian.
Sehingga apabila ada pelanggaran saat pelaksanaan pilkada yang terstruktur,
sistematis dan masif (TSM) namun tidak memenuhi ambang batas ketentuan 2%, maka
maaf-maaf saja persoalan tersebut tidak akan diproses atau akan diabaikan oleh
MK. Tentu kedepannya, MK harus berani membuat terobosan untuk menciptakan
terobosan hukum baru tentang permohonan yang diajukan atas adanya pelanggaran
yang bersifat TSM, karena menurut kami hal ini sangat penting mengingat TSM bisa
saja terjadi pada pelaksanaan pilkada, khususnya dalam hal ini pilkada 2017
yang akan datang.
Pelantikan Kepala Daerah
Yang Ditetapkan Sebagai Tersangka., Pada tanggal 17 Februari 2016 yang lalu, secara serentak dan
massal telah dilakukan pelantikan terhadap para walikota dan wakil walikota,
bupati dan wakil bupati yang terpilih pada pelaksanaan pemilihan umum kepala
daerah (pilkada) 9 Desember 2015.
Dari sekian banyak kepala daerah yang dilantik tersebut, ada yang
tersangkut masalah hukum dan telah ditetapkan sebagai tersangka, namun tetap
juga turut dilantik oleh pemerintah, seperti:
- Walikota terpilih Gunung Sitoli Provinsi Sumatera Utara (Sumut), yaitu Lakhomizaro Zebua yang diduga telah melakukan korupsi pengadaan alat kesehatan (alkes) RSUD Nias Selatan tahun 2013 senilai Rp 5,12 milyar;
- Bupati terpilih Kabupaten Sabu Raijua, Provinsi NTT, yaitu Marthen Dira Tome yang merupakan tersangka KPK dalam sangkaan kasus korupsi pada Dinas Pendidikan, Pemuda dan Olah Raga Provinsi NTT tahun 2007 sebesar Rp 77 miliar;
- Bupati terpilih Kabupaten Ngada, Provinsi NTT, yaitu Marianus Sae yang telah ditetapkan menjadi tersangka dalam kasus tindak pidana penutupan Bandara Turerelo Soa;
- Bupati terpilih Kabupaten Maros, Provinsi Sulawesi Selatan, yaitu Hatta Rahman yang merupakan tersangka kasus korupsi pada tahun 2011;
Ikutnya para kepala daerah yang telah dijadikan tersangka tersebut
dilantik adalah semata-mata untuk mematuhi “asas praduga tidak bersalah” yang
dianut dalam sistem hukum pidana Indonesia. Padahal apabila kita cermati dengan
sungguh-sungguh, bahwasanya pelaksanaan pilkada adalah didasarkan pada pilkada
beretika yang mengandung unsur-unsur untuk menjaga "fair play" seperti kemandirian, kejujuran, keadilan,
kepastian hukum (misalnya tidak tersangkut dalam kasus hukum), ketertiban,
kepentingan umum, keterbukaan, proporsionalitas, profesionalitas,
akuntabilitas, efisien, dan efektivitas.
Pelanggaran Kode Etik Penyelenggara., Masalah adanya pelanggaran
kode etik yang dilakukan oleh penyelenggara pemilu (KPU dan Panitia
Pengawas/Panwas), sedikit banyak mempengaruhi kualitas pelaksanaan pilkada yang
bersangkutan. Baik itu pelanggaran atas sikap dan/atau tindakan penyelenggara pemilu
terhadap suatu keadaan atau perbuatan yang diketahui bahwasanya pelanggaran
tersebut merupakan pelanggaran pemilu dan/atau diklasifikasikan sebagai
pelanggaran kode etik yang sengaja dilakukan atau karena kelalaiannya
menimbulkan kerugian bagi para peserta pemilu. Berdasarkan catatan, di tahun 2015 pengaduan yang masuk ke Dewan Kehormatan Penyelenggara Pemilu (DKPP) adalah sebanyak 136 pengaduan, dimana 112 pengaduan di dismissal dan sebanyak 24 perkara pengaduan yang disidangkan yang mana pengaduan tersebut banyak datangnya dari masyarakat (107 pengaduan) yang termohonnya dialamatkan kepada KPU sebanyak 892 orang dan ke Panitian Pengawas (Panwas) sebanyak 176 orang.
Tingginya tingkat pengaduan masyarakat mengenai pelanggaran kode
etik, disinyalir disebabkan sangat rendahnya kualitas dan tingkat kompetensi
para penyelenggara pemilu khususnya para Panitia Pemungutan Suara (PPS),
Panitia Pemilihan Kecamatan (PPK), Panitia Pengawas Pemilihan
(Panwaslih/Panwaslu) dan KPU Kabupaten/Kota untuk memahami regulasi dan
sekaligus mengimplementasikannya dilapangan. Misalnya panwas diberikan
kewenangan untuk melakukan sidang sengketa pilkada pada saat detik-detik
terakhir penetapan calon kepala daerah oleh KPU, sementara atas keputusan
panwas ini adalah bersifat final dan mengikat untuk segera dilaksanakan oleh
KPU Kabupaten/Kota. Seandainya ada pasangan calon (paslon) yang merasa tidak
puas masih terbuka saluran hukum untuk mencari keadilan melalui sentra
penegakan hukum terpadu (Sentra Gakkumdu), Pengadilan Tinggi Tata Usaha Negara
(PT TUN) dan terakhir kasasi ke MA. Hal ini tentu saja membutuhkan waktu yang
dapat menunda berlangsungnya proses tahapan pelaksanaan pilkada, sehingga kami
melihatnya kurang efisien dan efektif.
Yang lebih parah lagi, terkadang putusan hukum yang dikeluarkan oleh
setiap lembaga peradilan ini berbeda-beda yang berimbas pada bingungnya para
penyelenggara pemilu dan/atau masyarakat maupun para kontestan pilkada untuk menelaah putusan mana yang harus dijalankan. Waktu yang
ditempuh untuk menyelesaikan setiap proses hukum tersebutpun dikategorikan
cukup lama atau panjang yang justru membuat “molor” waktu pelaksanaan pilkada
(lihat saja pilkada di Kabupaten Simalungun dan juga Kota Pematang Siantar).
Waktu yang lama ini tentu saja berhubungan dengan anggaran yang dialokasikan
sebelumnya untuk pelaksanaan pilkada tersebut, sehingga memungkinkan untuk
adanya penambahan anggaran yang diajukan oleh penyelenggara pemilu, dimana hal
ini tentu saja terkesan menghambur-hamburkan uang negara.
Oleh karena itu, seandainya dimungkinkan khusus mengenai hukum ini perlu kiranya dipertimbangkan masalah
waktu ini agar lebih diefisienkan lagi dan jenjang penyelesaian sengketa cukup hanya
keputusan sidang pemilukada yang terakhir yang bersifat mengikat, sedangkan
untuk sengketa perselisihan hasil pemilukada tetap merupakan kewenangan Mahkamah Konstitusi
(MK).
Kiranya, revisi UU pilkada yang sebentar lagi akan kita ketahui
hasilnya akan memberikan angin segar dan harapan baru yang lebih baik lagi
dalam pesta demokrasi pemilihan kepala daerah di tahun 2017, terlebih-lebih dalam hal merekontruksi kembali pesta demokrasi rakyat pada masa yang akan datang
terbebas dari kepentingan pribadi maupun kelompok tertentu yang tidak
menghendaki pilkada di Indonesia berlangsung secara demokratis, terbuka, jujur dan
adil.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
No Link Aktif, Harap Maklum BOSS.....