Dalam
penyelesaian suatu sengketa/kasus perdata, peran sumpah di muka hakim telah
memberikan kontribusi yang tidak kalah penting sebagai salah satu alat bukti
yang dapat dipergunakan untuk mengakhiri sengketa perdata di pengadilan. Secara
umum, pengaturan sumpah sebagai salah satu bahagian dari alat bukti diatur
dalam ketentuan Pasal 164 HIR, Pasal 284 RBG dan dalam Pasal 1866 KUH Perdata.
Sebelum
kita membahas lebih lanjut tentang kekuatan sumpah ini, alangkah baiknya
terlebih dahulu kita pahami arti ataupun pengertian tentang sumpah yang mengacu
pada ketetentuan hukum yang berlaku.
Pengertian Tentang Sumpah
Dalam
praktek hukum acara yang diberlakukan di pengadilan, pengertian tentang sumpah
sebagai salah satu bahagian dari alat bukti adalah => “merupakan suatu
keterangan ataupun pernyataan lisan yang diucapkan seseorang dengan atas nama
Tuhan sesuai dengan agama dan kepercayaannya masing-masing”.
Nah,
kalau kita cermati tentang pengertian sumpah sebagaimana diuraikan diatas, maka
aplikasinya bertujuan untuk menjelaskan bahwa:
- Orang yang mengucapkan sumpah atau yang bersumpah di dalam memberikan pernyataan atau keterangannya agar tidak berbohong (berdusta) karena bila berbohong ada “azab” atas murkanya Tuhan;
- Kekuatan takut atas murka Tuhan merupakan “stimulus” dari sumpah untuk memberikan keterangan yang sebenar-benarnya dan tidak lain dari pada yang sebenarnya;
Pendapat
kami diatas didasarkan bahwa pengucapan sumpah atau janji atas nama Tuhan adalah
“sakral” atau suci, sehingga berkekuatan untuk mempengaruhi orang untuk berkata
jujur dalam memberikan keterangan atau pernyataannya terhadap suatu kasus yang
diketahui, dialami dan dirasakannya sendiri.
Memang
mengenai sumpah, tidak ada sebuah jaminan yang menyatakan bahwa bila seseorang
yang telah mengucapkan atau mengangkat sumpah atau janji sudah pasti tidak akan berbohong,
apa lagi jaman sekarang ini telah banyak orang yang melakukan kebohongan dan
tidak takut akan adanya ancaman hukuman dari Tuhan. Oleh karenanya, benar atau
bohong sumpah yang diucapkan oleh salah satu pihak, hakim dilarang menilainya
sebagai “sumpah palsu” (lihat penjelasannya dalam Pasal 1936 KUH Perdata dan
Pasal 177 HIR) kecuali sumpah tersebut dinyatakan sebagai sumpah palsu
dibuktikan dengan adanya putusan pengadilan pidana yang telah berkekuatan hukum
tetap atau pasti.
Dasar Hukum Sumpah
Sumpah
yang kita kenal dan telah dipraktekkan dalam sistem peradilan di Indonesia,
pengaturannya didasarkan pada ketentuan peraturan perundang-undangan:
- HIR, yang mana dapat kita lihat dalam Pasal 155, Pasal 156, Pasal 157, dan Pasal 158 yang pengaturannya ditempatkan dalam Bab IX, bagian I tentang pemeriksaan perkara dalam persidangan;
- RBG, yang mana dapat kita lihat dalam Pasal 182, Pasal 183, Pasal 184, dan di dalam Pasal 185 yang secara spesifik mengatur tentang tata cara pemeriksaannya yang ditempatkan pada Titel IV, bagian I tentang pemeriksaan sidang pengadilan; dan Pasal 314 yang memuat dan sebagai dasar nilai kekuatan pembuktiannya. Pasal 314 ditempatkan dalam Titel V tentang bukti dalam perkara perdata;
- KUHPerdata, yang mana dapat kita lihat dalam ketentuan Pasal 1929 sampai dengan Pasal 1945 yang ditempatkan dalam Buku Ke-empat, Bab ke-enam yang berjudul tentang sumpah di muka hakim;
Nah,
berdasarkan uraian diatas, eksistensi sumpah sebagai salah satu alat bukti hukum
masih merupakan bahagian penting dan masih dibutuhkan dari seluruh rangkaian penggunaan
alat bukti lainnya, meskipun secara teori dan praktik tidak ada seorangpun yang
dapat menjamin tentang kebenaran hakiki sebuah sumpah ataupun seseorang telah
melakukan kebohongan sumpah yang telah diucapkan di muka hakim yang sedang
memeriksa dan mengadili perkara yang berkaitan dengan hukum perdata di pengadilan Indonesia.
Semoga
bermanfaat, khususnya bagi anda yang akan memilih karir untuk berprofesi sebagai advokat. Sekian dan terima kasih.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
No Link Aktif, Harap Maklum BOSS.....