10 April 2016

Antara Kuantitas Dan Kualitas Advokat Indonesia

Pasca Surat Ketua Mahkamah Agung (SKMA) Nomor 73/KMA/HK.01/IX/2015, hampir tiap bulan kita disuguhkan adanya gambar dan pemberitaan tentang pelantikan dan pengambilan sumpah dari para advokat baru. Bahkan, tidak heran di era digitalisasi dan maraknya penggunaan jaringan media sosial (medsos) seperti facebook, instagram, whatapps dan twitter, para advokat baru tersebut juga memanfaatkan halaman akunnya untuk memajangkan foto-foto terbaik yang penuh senyum kegembiraan ketika moment pelantikan dan pengucapan sumpah/janji advokat berlangsung.

Peran Strategis Organisasi Advokat Indonesia

Tidak hanya paras wajah penuh kebahagiaan saja yang terlihat, tapi foto-foto dengan latar tersematnya jubah atau toga hitam yang lengkap dengan dasi lidah putih (bef) menghiasi dan sekaligus memberitahukan ke seluruh kolega dan atau para sahabat bahwa dianya telah sah menjadi advokat dan sah pula menjalankan profesi advokat. Tak lupa juga diikuti adanya penyampaian kata-kata selamat dan sukses secara formal sampai dengan gaya canda humoris terucap dalam setiap komentar di halaman akun-akun media sosial tersebut.

Memang beberapa tahun belakangan ini, mengenai pelantikan dan pengambilan sumpah calon advokat oleh ketua pengadilan tinggi setempat telah menjadi persoalan yang sangat krusial di berbagai daerah di Indonesia, khususnya oleh organisasi advokat itu sendiri, sehingga dengan keluarnya Surat Ketua Mahkamah Agung (SKMA) Nomor 73/KMA/HK.01/IX/2015 tanggal 25 September 2015 merupakan tonggak sejarah bagi organisasi advokat untuk menelurkan dan sekaligus menjadi puncak euforia bagi rekan-rekan alumnus sarjana hukum yang selama ini bergelut atau berkutat dalam lingkup bidang praktisi hukum, namun masih sulit mencari ”nafkah” sesuai profesi karena terhalang dengan berbagai aturan atau regulasi yang tersaji dalam UU No. 18 Tahun 2003 tentang Advokat.

Nah, adanya halangan atau hambatan dimaksud, bagi sebahagian kalangan ada yang berasumsi bahwa hal tersebut adalah telah diatur sedemikian rupa (telah disetting atau telah diskenario) oleh para oknum ”seniorita advokat” yang duduk di organisasi advokat. Masalah benar atau tidaknya pendapat diatas, sudah barang tentu dengan berbagai macam dalil pembenaran versi masing-masing, ataupun hal lainnya yang terkadang membuat kita para praktisi dunia hukum dan advokat tersenyum simpul sendiri dengan alasan yang dikemukakan sebagai dasar pembenaran pendapatnya (seperti gara-gara tidak dilantik dan disumpah jadi sulit mencari nafkah untuk membiayai kebutuhan keluarga, dan lain sebagainya).

Terbitnya Surat Ketua Mahkamah Agung Nomor 73/KMA/HK.01/IX/2015 tanggal 25 September 2015 yang telah mengeluarkan aturan bahwa: “setiap ketua pengadilan tinggi memiliki kewenangan untuk melakukan penyumpahan terhadap para advokat yang telah memenuhi syarat, baik yang diajukan oleh organisasi advokat yang mengatasnamakan PERADI maupun pengurus organisasi advokat lainnya, hingga terbentuknya Undang-Undang Advokat yang baru”. Nah, Surat Nomor 73/KMA/HK.01/IX/2015 tanggal 25 September 2015 ini juga membatalkan Surat Ketua MA Nomor 089/KMA/VI/2010 tanggal 25 Juni 2010 perihal Penyumpahan Advokat dan Surat Ketua MA Nomor 52/KMA/HK.01/III/2011 tanggal 23 Maret 2011 perihal Penjelasan Surat Ketua Mahkamah Agung Nomor 089/KMA/VI/2010. Seperti kita ketahui bersama bahwa dalam Surat Nomor 089/KMA/VI/2010 diatur bahwa Para Ketua Pengadilan Tinggi dapat mengambil sumpah para calon advokat yang telah memenuhi syarat dengan ketentuan bahwa usul penyumpahan tersebut harus diajukan oleh pengurus Peradi, sesuai dengan adanya isi kesepakatan bersama tanggal 24 Juni 2010. Dengan terbitnya SKMA baru tersebut, maka rezim mempertanyakan keabsahan izin beracara seorang advokat yang beracara di pengadilan telah berakhir.

Di Indonesia, dari sekian banyaknya profesi yang ada, Advokat atau pengacara adalah salah satu profesi yang disandang seseorang sampai mati. Mungkin karena hal tersebutlah yang mengakibatkan, profesi ini tetap menjadi skala prioritas tidak saja dari kaum muda tetapi juga telah dilirik oleh para “kaum pensiunan” yang berlatarbelakangkan pendidikan sarjana hukum. Tentu saja, berbagai cara dan upaya yang penuh dengan perjuangan akan dilakukan untuk bisa mendapatkan keabsahan status sebagai advokat (pengacara atau lawyer), baik secara ”de facto” maupun ”de jure”. Kejadian yang terjadi sekarang ini adalah salah satu implementasinya untuk mendapatkan pengakuan secara de facto dan de jure, di mana semua organisasi advokat keblinger beramai-ramai mewisuda, melantik dan mengambil sumpah para advokatnya, dan sudah barang tentu sebanyak mungkin pula jumlahnya.

Pertanyaan yang sangat sederhana, pernahkah organisasi advokat tersebut menanyakan atau memikirkan akan ke mana para advokat yang baru saja mereka lantik tersebut? Ataukah para advokat yang bersangkutan menanyakan kepada organisasi advokatnya tentang kemana tujuan mereka setelah ini? Pertanyaan ini mungkin tidak pernah terlintas dalam alam pikiran kita bersama, dan munculnya pertanyaan yang kami kemukakan diatas bukanlah merupakan kedengkian akibat semakin membanjirnya advokat atau pengacara yang akan membuat hiruk pikuk persaingan lahan untuk mendapatkan perkara atau klien menjadi lebih sempit. Pertanyaan ini didasari kepedulian kami profesi advokat itu sendiri, dimana fakta telah berbicara bahwa terlalu mudah seorang sarjana hukum dilantik menjadi advokat tanpa ada suatu patokan yang jelas tentang standar sertifikasi keahlian, atau ambang batas syarat yang jelas dan mengikat untuk seseorang dilantik menjadi advokat. Dengan kata lain, seakan-akan organisasi advokat lebih mementingkan segi kuantitas ketimbang kualitas yang dimiliki oleh para advokat baru tersebut.

Munculnya pendapat kami diatas, bukan isu tong kosong yang nyaring bunyinya, karena banyak sahabat saya menggunakan berbagai cara dan upaya untuk ”mengakali” ketentuan-ketentuan untuk dapat disahkan menjadi advokat. Salah satu contohnya, ketika sahabat saya tersebut tidak lulus ujian advokat yang diselenggarakan oleh Peradi, maka dianya dengan mudah beralih mengikuti ujian pada organisasi advokat lain, dan dinyatakan lulus. Kalau sudah begini ceritanya, siapa yang harus dimintai pertanggungjawaban ketika suatu hari nanti ada pencari keadilan yang merasa dirugikan oleh ulah-ulah oknum “advokat nakal” yang sebenarnya belum berkompeten untuk menjadi dan menjalankan profesi advokat. Mereka ini bisa menjadi advokat karena ada organisasi advokat yang ingin memenuhi target ”setoran” kuantitas anggota di organisasinya.

Tidak hanya itu saja, ketika ada seorang advokat yang telah dijatuhi sanksi disiplin melanggar Kode Etik Advokat Indonesia oleh organisasi advokat yang satu, maka sang advokat tetap saja bisa menjalankan profesi advokatnya, dengan cara cukup pindah saja ke organisasi advokat milik ”tetangga sebelah” dan hal ini telah dicontohkan langsung oleh para “senior advokat” dan atau “dedengkot advokat” itu sendiri (tak perlu kami menunjukkan langsung siapa nama advokat tersebut). Hal ini tentu akan menurunkan kredibilitas, citra dan kualitas advokat Indonesia (dan ini tidak perlu untuk ditiru). Apalagi, dimasa invasi para advokat atau lawyer asing di Indonesia serta pemberlakukan pasar bebas global (MEA), maka tidak tertutup kemungkinan para advokat lokal hanya akan menjadi ”kurir” advokat asing untuk mengantarkan surat ke pengadilan dan atau instansi/organisasi lain. Jadi, sedikit banyaknya kualitas dan integritas advokat Indonesia akan menjadi pertaruhannya. Terjadinya satu atau dua kekeliruan yang dilakukan oleh oknum advokat akan berdampak massif pada diri profesi advokat secara menyeluruh. Karena, cara pandang masyarakat terkadang hanya didasarkan pada adanya perbuatan negatif yang dilakukan oleh segelintir para advokat nakal, yang akhirnya advokat yang tidak berbuatpun akan terkena getahnya.

Sebenarnya salah satu fungsi dan peran yang cukup strategis bisa dimainkan oleh organisasi advokat yang melantik para advokat barunya adalah haruslah terlebih dahulu memastikan tentang keberadaan kualitas advokat yang bersangkutan, apakah memang telah sesuai dengan prosedur dan standar mulianya profesi ini. Dengan kata lain, para calon advokat harus telah melewati standarisasi dan jenjang karier, tahap kualifikasi yang benar, sehingga advokat yang akan dilantik tersebut adalah benar-benar sudah matang dan siap terjun untuk melayani permasalahan hukum yang dialami oleh para pencari keadilan, dengan kata lain pula para advokat atau pengacara tersebut telah memiliki bekal untuk bisa menjadi seorang pengacara yang hebat dan sukses dalam karir advokatnya.

Meskipun kami tidak setuju atas terbitnya Surat Ketua Mahkamah Agung Nomor 73/KMA/HK.01/IX/2015, namun kami memandang bahwa adanya surat Ketua Mahkamah Agung tersebut telah membuka adanya lapangan kerja bagi para alumni fakultas hukum (yang katanya sulit mencari pekerjaan dan nafkah), serta para pengurus organisasi advokat dan juga para advokat senior akan lebih mudah membuat “master plan” mengenai pokok-pokok pikiran tentang hal perencanaan kaderisasi advokat secara berjenjang, serta memiliki banyak pilihan dalam merekrut para advokat yang siap pakai (associate) untuk bergabung dalam kantor firma hukumnya (law firm). Disamping itu, masyarakat pencari keadilan juga akan semakin terlayani secara kuantitas dengan banyaknya pilihan advokat atau pengacara yang berpraktek. Dengan kata lain, fungsi-fungsi sosial yang melekat dan diemban oleh profesi advokat sesuai dengan Kode Etik Advokat Indonesia (KEAI) berupa pemberian layanan jasa bantuan hukum ataupun konsultasi hukum secara gratis atau cuma-cuma (pro bono) juga menjadi lebih luas lagi, kuantitas (penambahan jumlah) advokat di Indonesia juga akan bermuara pada membanjirnya lembaga-lembaga bantuan hukum (LBH) yang sangat bermanfaat bagi masyarakat yang kurang mampu (miskin).

Apakah setelah musim panen jumlah advokat ini, euforia akan terus berlanjut tanpa pernah bercita-cita bagi seluruh stakeholder profesi advokat Indonesia untuk bisa bersatu dan duduk bersama dalam mencari, memikirkan dan untuk memutuskan bagaimana pola dan teknik manajemen mendapatkan advokat Indonesia yang baik dan berkualitas. Kami rasa, bila masing-masing dari kita menanggalkan ego dan juga kepentingan sesaat, tentu akan mampu mencari formula yang efektif untuk membuat kualitas dan kompetensi yang dimiliki oleh advokat Indonesia menjadi lebih tinggi dan terhormat lagi dari sekarang ini, sehingga kemuliaan profesi advokat sebagai profesi terhormat (officum nobile) dapat selalu kita jaga dan miliki. Pemikiran diatas juga harus didukung oleh adanya suatu produk legislasi, berupa adanya produk peraturan perundang-undangan yang secara khusus mengatur tentang profesi advokat. Mendorong harus adanya UU Advokat yang benar-benar bisa menjadi payung hukum yang jelas dan kuat untuk mempersatukan semua advokat Indonesia yang selama ini terpecah belah oleh kepentingan sesaat. Siapapun yang menjadi pemimpin di organisasi advokat haruslah memikiki sikap kenegarawanan selaku pimpinan, dan juga para senior-senior advokat mempunyai visi dan misi yang sama agar advokat Indonesia bisa tampil menjadi tuan rumah di negerinya sendiri, khususnya dalam menghadapi para advokat atau lawyer asing di pasar global.

Sebelum kami akhiri tulisan ini, kami dari Kantor Advokat Silaen & Associates di Medan mengucapkan selamat dan sukses buat para rekan-rekan sejawat advokat Indonesia yang baru dilantik dan diambil sumpahnya. Semoga sumbangsih dan kontribusi yang rekan-rekan advokat berikan dapat berguna bagi kemajuan bangsa dan negara, khususnya untuk nama besar advokat Indonesia. Sekian dari terima kasih.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

No Link Aktif, Harap Maklum BOSS.....