Halaman

18 Mei 2016

Advokat Sebagai Sentra Penegakan Hukum Bagi Masyarakat Pencari Keadilan

Adanya pelantikan advokat baru menimbulkan harapan adanya sentra layanan hukum yang benar-benar dijalankan secara mahir dan mumpuni bagi masyarakat pencari keadilan. Tentu saja, adanya layanan hukum dimaksud adalah benar diperoleh dari orang-orang yang terlatih secara khusus dan baik sebagai punggawa-punggawa penegakan hukum di Indonesia.

Kantor Advokat Dan Pengacara Medan Siap Menjadi Sentra Layanan Hukum Bagi Pencari Keadilan Di Indonesia

Dalam konteks layanan hukum bagi masyarakat yang sedang mencari keadilan, dapat dilakukan dalam bentuk bantuan hukum litigasi maupun bantuan non litigasi. Nah, secara khusus kami akan menyoroti layanan hukum litigasi (menggunakan lembaga peradilan).

Sebagaimana diketahui bersama, bahwa penggunaan sistem peradilan khususnya yang bersifat modern, telah digunakan sebagai sarana pendistribusi keadilan bagi semua pihak. Memang, sistem peradilan yang digunakan di Indonesia masih dijumpai banyak hambatan. Namun, bukan berarti hal tersebut menimbulkan “apatis” terciptanya rasa keadilan hukum di tengah-tengah masyarakat.

Sebagai catatan kami selaku salah seorang Advokat atau Pengacara yang berkantor di Kota Medan, Provinsi Sumatera Utara, faktor-faktor yang menjadi penyebab timbulnya hambatan dalam sistem peradilan modern disebabkan:
  • sarat dengan beban formalitas;
  • prosedur yang berbelit-belit;
  • birokrasi dari badan peradilan;
  • dan metodologi yang ketat;
Kondisi diataslah yang menurut kami menyebabkan keadilan yang akan didistribusikan melalui keputusan birokrasi lembaga peradilan bagi kepentingan umum cenderung masih jauh dari sifat keadilan yang rasional. Maka, keadilan yang diperoleh masyarakat modern adalah merupakan keadilan birokratis. Terlebih-lebih dalam penyelesaian sengketa di pengadilan telah terbukti banyak menimbulkan ketidakpuasan bagi pihak-pihak yang bersengketa maupun bagi masyarakat itu sendiri. Ketidakpuasan masyarakat dilontarkan dalam bentuk pandangan negatif, seperti: sinis, mencemooh, dan menghujat terhadap kinerja pengadilan yang dianggap tidak memanusiakan pihak-pihak yang sedang bersengketa, menjauhkan pihak-pihak yang bersengketa dari rasa keadilan, dan bahkan pengadilan telah dicap sebagai tempat terjadinya jual beli atau perdagangan putusan hukum dari hakim, dan lain-lain hujatan yang ditujukan kepada lembaga peradilan.

Sehubungan dengan kegiatan bisnis, para pelaku bisnis yang sangat memerlukan kepastian hukum serta keamanan di dalam investasi maupun aktivitas perdagangannya, khususnya disaat terjadi sengketa yang menyangkut dalam hubungan bisnis mereka dapat menggunakan penerapan hukum bisnis yang jauh dari keberpihakan, ditambah dengan kondisi badan peradilan Indonesia yang dianggap telah carut marut. Kondisi semacam itulah, memuncul keinginan dari komunitas pelaku bisnis, untuk memilih model lain dalam penyelesaian sengketa, misalnya melalui badan arbitrase. Meskipun bentuk penyelesaian yang dipilih itu tergolong masih serumpun dengan mekanisme badan peradilan yang ada, namun mereka yakin dengan memilih forum alternatif penyelesaian sengketa dapat memberikan ruang kebebasan dalam meyelesaikan sengketa bisnis yang sedang dialaminya.

Dengan kata lain, model alternatif yang dipilih tersebut diharapkan lebih memberikan peluang untuk mendapatkan rasa keadilan yang lebih manusiawi, bermartabat dan memberikan kepastian hukum.

Peran Strategis Advokat Dalam Penegakan Hukum dan Keadilan
Dalam ketentuan Pasal 24 Ayat (1) Undang-Undang Dasar (UUD) 1945 menyatakan bahwa => “kekuasaan kehakiman merupakan kekuasaan yang merdeka untuk menyelenggarakan peradilan guna menegakkan hukum dan keadilan”. Berkaitan dengan pasal tersebut, dapat kita maknai bahwa selain pelaku kekuasaan kehakiman, yaitu Mahkamah Agung (MA) dan juga Mahkamah Konstitusi (MK), badan-ban lain yang fungsinya berhubungan dengan adanya pelaksanaan kekuasaan kehakiman juga harus mendukung terlaksananya kekuasaan kehakiman yang merdeka. Dalam hal ini salah satunya adalah profesi advokat yang bebas, mandiri, dan bertanggungjawab, sebagaimana diatur dalam Undang-Undang Nomor 18 Tahun 2003 tentang Advokat.

Dalam ketentuan Pasal 5 Ayat (1) UU Advokat, telah memberikan status kepada Advokat sebagai penegak hukum yang mempunyai kedudukan setara dengan penegak hukum lainnya (Kepolisian, Kejaksaan dan Kehakiman) dalam menegakkan hukum dan keadilan di tengah-tengah masyarakat Indonesia. Tentu saja, adanya kesetaraan sebagai penegak hukum tersebut memerlukan suatu organisasi yang kuat organ negara dalam arti luas yang bersifat mandiri (independent state organ) yang juga melaksanakan fungsi Negara (vide Pasal 28 Ayat (1) UU Advokat) dalam rangka menciptakan atau melahirkan advokat-advokat baru yang berkualitas untuk bisa menangani permasalah-permasalahan hukum yang sedang dialami oleh masyarakat pencari keadilan. Dengan kata lain, profesi advokat memiliki peran penting sebagai salah satu pusat (sentral) dalam upaya penegakan hukum. Setiap proses hukum, baik itu pidana, perdata, tata usaha negara, bahkan tata negara, tidak lepas dari turut sertanya melibatkan profesi advokat yang kedudukannya setara dengan penegak hukum lainnya. Khusus dalam upaya pemberantasan yang menyangkut tindak pidana korupsi, terutama praktik mafia peradilan, advokat dapat berperan besar dengan memutus mata rantai praktik mafia peradilan yang terjadi. Peran tersebut dijalankan atau tidak bergantung kepada profesi advokat dan organisasi advokat yang telah dijamin kemerdekaan dan kebebasannya dalam UU Advokat dimaksud. Sebagai salah satu sentra penegakan hukum di Indonesia, adanya kemandirian dan kebebasan yang dimiliki oleh profesi advokat, sangat wajar harus diikuti oleh adanya tanggungjawab masing-masing advokat dan/atau Organisasi Profesi yang menaunginya. Ketentuan UU Advokat telah memberikan rambu-rambu yang sangat jelas agar profesi advokat dijalankan sesuai dengan tujuan untuk menegakkan hukum dan keadilan ditengah-tengah. Hal yang paling gamblang dapat kita lihat dari adanya sumpah atau janji advokat yang dilakukan sebelum menjalankan profesinya, yang lapasnya berbunyi sebagai berikut:

Demi Allah saya bersumpah/saya berjanji:
  • bahwa saya akan memegang teguh dan mengamalkan Pancasila sebagai dasar negara dan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia;
  • bahwa saya untuk memperoleh profesi ini, langsung atau tidak langsung dengan menggunakan nama atau cara apapun juga, tidak memberikan atau menjanjikan barang sesuatu kepada siapapun juga;
  • bahwa saya dalam melaksanakan tugas profesi sebagai pemberi jasa hukum akan bertindak jujur, adil, dan bertanggung jawab berdasarkan hukum dan keadilan;
  • bahwa saya dalam melaksanakan tugas profesi di dalam atau di luar pengadilan tidak akan memberikan atau menjanjikan sesuatu kepada hakim, pejabat pengadilan atau pejabat lainnya agar memenangkan atau menguntungkan bagi perkara Klien yang sedang atau akan saya tangani;
  • bahwa saya akan menjaga tingkah laku saya dan akan menjalankan kewajiban saya sesuai dengan kehormatan, martabat, dan tanggung jawab saya sebagai Advokat;
  • bahwa saya tidak akan menolak untuk melakukan pembelaan atau memberi jasa hukum di dalam suatu perkara yang menurut hemat saya merupakan bagian daripada tanggung jawab profesi saya sebagai seorang Advokat;
Adanya Sumpah/Janji tersebut diatas, pada hakikatnya adalah sumpah atau janji seorang yang akan menjalani profesi sebagai advokat, kepada Tuhan Yang Maha Esa, diri sendiri, dan masyarakat. Seandainya setiap advokat tidak hanya pandai mengucapkannya saja sebagai formalitas, tetapi meneguhi, meresapi, dan bahkan menjalankannya dalam memberikan layanan bantuan hukum, maka niscaya kondisi penegakan hukum dan pemberian jasa bantuan hukum kepada masyarakat (khususnya yang tidak mampu) akan senantiasa meningkat dan lebih baik. Kekuasaan kehakiman akan benar-benar dapat menegakkan hukum dan keadilan bagi siapa saja yang mencari keadilan.

Selain dari itu, untuk mewujudkan profesi advokat yang benar-benar berfungsi sebagai penegak hukum dan keadilan juga ditentukan oleh peran Organisasi Advokat. UU Advokat telah memberikan aturan tentang pengawasan, tindakan-tindakan terhadap pelanggaran, dan pemberhentian advokat yang pelaksanaannya dijalankan oleh Organisasi Advokat. Dalam ketentuan Pasal 6 UU Advokat, telah jelas dan tegas ditentukan bahwa advokat dapat dikenai tindakan atau sanksi dengan adanya alasan:
  • mengabaikan atau menelantarkan kepentingan kliennya;
  • berbuat atau bertingkah laku yang tidak patut terhadap lawan atau rekan seprofesinya;
  • bersikap, bertingkah laku, bertutur kata, atau mengeluarkan pernyataan yang menunjukkan sikap tidak hormat terhadap hukum, peraturan perundang-undangan, atau pengadilan;
  • berbuat hal-hal yang bertentangan dengan kewajiban, kehormatan, atau harkat dan martabat profesinya;
  • melakukan pelanggaran terhadap peraturan perundangundangan dan atau perbuatan tercela;
  • melanggar sumpah/janji Advokat dan/atau kode etik profesi Advokat;
Kode Etik Menjaga Kewibawaan Profesi Advokat
Dalam rangka menunjang agar ber­fungsi secara efektif sistem hukum di Indonesia, diperlukan suatu penggunaan sistem etika yang ditegakkan secara positif berupa kode etika di sektor pelayanan publik. Pada setiap sektor kenegaraan dan pemerintahan selalu terda­pat beberapa peraturan tata tertib serta pedoman berorganisasi dan/atau tata kerja yang bersifat internal. Dalam konteks organisasi-organi­sasi masyarakat (ormas) juga terdapat Anggaran Dasar (AD) atau Pedoman Dasar Rumah Tangga organi­sasi, beberapa diantaranya bahkan ada yang telah memiliki perang­kat Kode Etika yang disertai oleh penyediaan infra struktur kelembagaan Dewan Kehormatan ataupun Komisi Etika yang secara khusus bertugas menegakkan kode etika dimaksud.

Meskipun pedoman atau anggaran dasar dan rumah tangga tersebut sudah ada, dokumen-dokumen tersebut terkadang hanya “lips service” yang ada di atas kertas semata. Artinya, tidak sungguh-sungguh di­jadikan sebagai pedoman perilaku berorganisasi yang baik dan benar. Pada umumnya, dokumen-dokumen per­aturan, pedoman atau anggaran dasar dan rumah tangga terse­but hanya dibuka dan dibaca pada saat diadakan kong­res, muktamar atau musyawarah nasional organisasi yang ber­sangkutan. Selebihnya, dokumen-dokumen tersebut ha­nya biasa untuk dilupakan.

Tanpa bermaksud “suudzon”, sebenarnya UU Advokat telah secara jelas menentukan para advokat untuk menjaga martabat dan kehormatan profesi advokat yang dituangkan dalam kode etik profesi para advokat Indonesia (KEAI) oleh Organisasi Advokat, dimana seharusnya setiap advokat wajib tunduk dan mematuhi kode etik profesi advokat dan ketentuan tentang Dewan Kehormatan Organisasi Advokat. Namun kenyataannya, banyak para advokat yang melanggarnya dan parahnya Organisasi Advokat seakan-akan melakukan pembiaran dengan tidak memberikan sanksi yang tegas kepada para pelaku pelanggaran kode etik advokat. Advokat. Untuk itulah, kami menganggap sangat penting dibangun pondasi infrastruktur yang kuat agar kode etik yang dibuat dapat ditegakkan. Infrastruktur tersebut tentu saja membutuhkan budaya taat aturan di lingkungan advokat itu sendiri, baik aturan hukum negara maupun aturan berorganisasi termasuk anggaran dasar dan rumah tangga serta kode etik profesi yang diberlakukan secara universal (misalnya anda dapat melihat contoh anggaran dasar koperasi yang ada kami buatkan draftnya). Tradisi taat aturan inilah yang masih harus dibudayakan secara luas ditengah-tengah para advokat. Selain itu, sistem dan mekanisme penegakan kode etik juga harus dilembagakan melalui pembentukan Dewan Kehormatan yang credible diikuti dengan mekanisme pengawasan yang tegas dan efektif.

Dengan demikian sebagai organisasi profesi yang memberikan jasa bantuan dan layanan hukum kepada masyarakat yang sangat membutuh keadilan, mekanisme pengawasannya sedikit banyak harus pula membuka ruang bagi partisipasi publik dan menjalankan prinsip transparansi. Tanpa adanya transparansi dan partisipasi publik, Organisasi Advokat tidak akan dapat menjalankan fungsinya meningkatkan kualitas advokat demi tegaknya hukum dan keadilan sesuai dengan amanat UU Advokat (bukan hanya sekedar mengejar segi kuantitas advokat), serta menciptakan para advokat sebagai sentra penegakan hukum yang sangat dibutuhkan oleh masyarakat pencari keadilan.

Peran strategis lain yang dapat dilaksanakan oleh seorang advokat adalah dengan memberikan bantuan hukum ataupun sekedar konsultasi hukum gratis atau cuma-cuma, yang mana hal ini adalah merupakan tanggung jawab kita bersama untuk membantu masyarakat yang tidak mampu untuk membayar honor pengacara.

Sekian dan terima kasih.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

No Link Aktif, Harap Maklum BOSS.....