Pemberlakuan kurikulum pendidikan di Indonesia
yang mendadak berubah
ketika terjadi pergantian pejabat Menteri Pendidikan, tentu saja menuai pro dan kontra dari para pendidik
dan pegiat ataupun dari pemerhati di bidang pendidikan. Hal ini disebabkan,
disaat kurikulum 2013 baru saja diberlakukan selama 3 (tiga) semester, secara
tiba-tiba harus diganti dengan kurikulum tahun 2006. Adanya pergantian
kurikulum ini, sontak membuat bingung para guru pendidik dan juga para siswa
didik disebabkan Menteri Pendidikan Dasar dan Menengah yaitu Bapak Anies
Bawesdan menghentikan secara tiba-tiba pemberlakukan atau penerapan atas kurikulum 2013 tersebut.
Adapun alasan Menteri Pendidikan Dasar dan
Menengah menghentikan penerapan kurikulum 2013 disebabkan menurut pendapat
beliau: “tidak ada kajian yang menyeluruh terhadap uji kurikulum 2013 setelah 1
(satu) tahun diberlakukan di berbagai sekolah yang ditunjuk”. Padahal,
pemberlakukan kurikulum 2013 yang merupakan produk dari Menteri Pendidikan
sebelumnya, yaitu Bapak M. Nuh masih dalam proses dan telah pula menghabiskan
anggaran negara lebih kurang Rp 6 triliun.
Dasar hukum adanya penghentian penerapan
kurikulum 2013 sebagaimana yang telah kami sebutkan diatas adalah didasarkan kepada
Surat Menteri Pendidikan dan Kebudayaan Nomor 179342/MPK/KR/2014 tertanggal 5
Desember 2014 tentang hal pelaksanaan kurikulum 2013 yang ditujukan kepada
Kepala Sekolah di seluruh Indonesia. Kalau kita cermati isi dari surat Menteri
Pendidikan dan Kebudayaan tersebut, menyatakan bahwasanya kurikulum 2013
mengandung masalah karena diproses secara cepat dan sudah ditetapkan untuk
dilaksanakan di seluruh Indonesia sebelum kurikulum itu dievaluasi secara
lengkap dan menyeluruh, maka harus dihentikan pelaksanaan kurikulum 2013
dimaksud di sekolah-sekolah yang baru menerapkannya 1 (satu) semester (periode
tahun pelajaran 2014/2015) dan kembali menggunakan kurikulum sebelumnya, yaitu
kurikulum tahun 2006.
Adanya perubahan kurikulum diatas, telah
memberikan gambaran bahwasanya telah terjadi inkonsistensi pemerintah (dalam hal ini Menteri Pendidikan), yaitu
sulit dalam menentukan arah pendidikan nasional sehingga harus berganti-ganti
kurikulum. Dengan kata lain, akibat adanya pergantian kurikulum dimaksud akan
berdampak nyata bahwa sebenarnya arah pendidikan nasional tidak jelas
konsepnya. Dimana masyarakat, guru pendidik, siswa dan bahkan orangtua murid
merasa bingung melihat dan atau mengikuti sistem pendidikan di Indonesia. Hal
ini tentu saja, menciptakan “pameo”
ganti menteri, ganti kurikulum (masalah benar atau tidaknya pameo tersebut
silahkan direnungkan sendiri).
Kalau kita melihat data dan fakta, bahwa ada
sekitar kurang lebih 6221 sekolah di Indonesia yang telah melaksanakan kurikulum 2013 selama tiga semester,
dimana kemudian oleh Menteri Pendidikan dan Kebudayaan, Anies Bawesdan kemudian
dievaluasi kembali karena sebelumnya belum dievaluasi tetapi telah dilaksanakan
atau diterapkan disekolah tersebut, sementara sebelumnya sudah ada Surat
Peraturan Menteri yang dikeluarkan oleh Menteri Pendidikan dan Kebudayaan
sebelumnya, yaitu Bapak M. Nuh Nomor 159 Tahun 2014 tanggal 14 Oktober 2014
tentang adanya evaluasi kurikulum 2013. Ke-2 (kedua) surat menteri ini sangat
bertolak belakang, sehingga menimbulkan pertanyaan: “mana yang benar?” atau
“kebijakan mana yang harus diterapkan sekolah?”.
Gambaran ini juga memberikan indikasi adanya inkonsistensi kebijakan antara pejabat
Menteri Pendidikan dan Kebudayaan yang lama dengan pejabat Menteri yang baru
menggantikan posisi jabatannya.
Memang profesi kami adalah sebagai Advokat atau
Pengacara Medan dan bukan berprofesi sebagai guru pendidik, namun menurut pendapat
kami bahwa merubah kurikulum pendidikan sangatlah tidak mudah, karena banyak
aspek yang harus dipersiapkan disamping dana besar yang dibutuhkan sebelumnya
ketika terjadi pergantian kurikulum 2006 ke kurikulum 2013 yang ditaksasi telah
menghabiskan uang negara sebesar kurang lebih Rp 6 triliun. Apakah tidak lebih
baik dan bijaksana apabila melakukan program-program implementasi dan juga penguatan pada Surat Peraturan Menteri
Pendidikan dan Kebudayaan sebelumnya, yaitu Bapak M. Nuh Nomor 159 Tahun 2014
tanggal 14 Oktober 2014 tentang adanya evaluasi kurikulum 2013.
Bila dalam pelaksanaan kurikulum 2013
ditemukan banyak permasalahan dan juga inkonsistensi dalam penerapannya dilapangan,
hal ini tentu saja merupakan masalah teknis yang bisa segera diatasi atau diperbaiki,
serta dicari solusi penyelesaian akar masalahnya. Permasalahan teknis yang
dimaksud, misalnya seperti masalah kondisi sekolah yang kurang memadai, masalah
kemampuan guru di Indonesia yang masih di bawah standar, dan lain sebagainya.
Dengan kata lain, segala masalah baik sarana dan prasarana pendukung yang belum
memadai untuk pelaksanaan atau penerapan diberlakukannya kurikulum 2013
sebaiknya segera dibenahi daripada sebaliknya kembali ke kurikulum 2006.
Kembali Memberlakukan Kurikulum 2013
Berdasarkan berita yang beredar dan dilansir
berbagai media, kurikulum 2013 telah disempurnakan oleh pemerintah melalui
Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan (Kemendikbud) dan telah berencana akam
menerapkan kembali kurikulum 2013 sebagai kurikulum pendidikan nasional.
Perkembangan terakhir direncanakan, pemerintah akan memakai kurikulum 2013
dalam tahun ini. Masyarakat (dalam hal ini rakyat) atau para siswa menjadi
bimbang dan sedikit ragu akan kebijakan pemerintah ini, meskipun versi
pemerintah mengatakan bahwa kurikulum 2013 telah direvisi atau disempurnakan
sehingga layak untuk diterapkan secara bertahap dan akan sepenuhnya menerapkan
kurikulum 2013 pada tahun ajaran baru 2016/2017 yang akan datang.
Kini regulati pemberlakuan kurikulum 2013
akan datang lagi untuk mendidik generasi bangsa Indonesia pada masa yang akan
datang, setelah penyempurnaan dilakukan disana-sini mulai dari proses evaluasi,
pelatihan instruktur dari tingkat nasional sampai tingkat daerah, dan juga
pengadaan atas buku-buku yang akan dipergunakan dalam proses belajar mengajar
di sekolah.
Secara umum, sesungguhnya program pendidikan
polanya harus dilaksanakan secara berkelanjutan, bukan disesuaikan dengan
selera para pejabat atau Menteri Pendidikan dan Kebudayaan yang sedang
menjabat. Dengan kata lain, pejabat boleh berganti-ganti tetapi kurikulum harus
jelas, tegas dan terarah. Sistem pendidikan yang dipergunakan harus terus
berkelanjutan, meskipun Menteri Pendidikan dan Kebudayaan yang berkuasa telah
berganti. Sering mengganti kurikulum tentu saja sangat merugikan dunia
pendidikan, siswa, orangtua siswa dan juga pemerintah selaku pengelolah
anggaran. Program pendidikan nasional
tidak mengenal siapa pejabat pemerintah yang sedang berkuasa, tetapi program
pendidikan harus sejalan dengan kondisi nyata yang terjadi pada tiap-tiap
sekolah, dengan dasar pemikiran dan target utama berkenaan dengan kualitas pendidikan secara umum.
Sebenarnya, kurikulum yang diterapkan adalah
sebagai sarana untuk meningkatkan kualitas pendidikan di Indonesia, oleh karena
itu bila masih terdapat berbagai masalah seperti infrastruktur pendidikan (baik sarana dan prasarana) harus
sama-sama kita perbaiki dalam rangka untuk mewujudkan mutu pendidikan Indonesia
menjadi lebih baik lagi. Kurikulum yang dipergunakan harus mampu menjawab
tantangan jaman dan teknologi, sebab itu kurikulum merupakan salah satu faktor
penentu keberhasilan pendidikan di Indonesia. Memang, fakta yang kita lihat
bahwa kondisi sekolah yang ada di Indonesia belum memiliki standar dan kualitas
yang merata di setiap daerah. Demikian pula dengan sarana dan prasarana yang
dimiliki juga masih jauh dari harapan, karena wujud memajukan pendidikan salah
satunya adalah didasarkan pada ketersediaan sarana dan prasarana yang standar
di setiap daerah.
Tidak tersedianya sarana dan prasarana
pendukung sebagaimana yang kami kemukakan diatas, dapat kita lihat secara jelas
dan nyata ketika dilaksanakan Ujian Nasional (UN), dimana Ujian Nasional (UN)
telah membuat masalah bagi para pendidik dan juga anak didik itu sendiri. Apalagi sekarang ini, ujian nasional telah ditingkatkan menjadi Ujian Nasional Berbasis Komputer (UNBK) yang secara keseluruhan sekolah-sekolah di Indonesia belum bisa melaksanakannya. Tentu
saja hal ini terjadi diakibatkan sarana dan prasarana yang dimiliki setiap
sekolah belum memenuhi “standar minimal” yang diterapkan dalam sistem
pendidikan melalui kebijakan penerapan kurikulum yang ada. Proses belajar dan
mengajar disekolah akan berjalan dengan baik apabila faktor-faktor pendukungnya
telah tersedia, baik itu sarana fisik
sekolah seperti fasilitas sekolah yang baik dan juga kondisi “sosial ekonomi” para anak didik. Dengan
kata lain, memperbaiki kualitas guru, kualitas sarana fisik dan juga sosial
ekonomi dari anak didik merupakan penentu untuk keberhasilan kurikulum yang
akan diterapkan dalam dunia pendidikan. Dasar untuk membuat kurikulum juga
harus mempertimbangkan secara matang tentang kondisi obyektif dari sarana dan prasarana pendidikan yang ada disetiap
daerah. Semoga adanya rencana penerapan kurikulum 2013 merupakan keputusan yang
bijak setelah terlebih dahulu mempertimbangkan kondisi nyata (realitas) sekolah yang kita miliki,
sehingga arah dari setiap program pembangunan dunia pendidikan Indonesia dapat
lebih baik dari tahun ke tahun.
Satu lagi yang harus dipersiapkan dalam
penerapan kurikulum 2013 tersebut secara nasional adalah pembuatan dasar hukum
atau peraturan yang tegas tentang pemberlakuan kurikulum yang akan diterapkan
sekolah-sekolah yang ada disetiap daerah, sehingga dengan demikian dapat
mencegah terjadinya dualisme penerapan kurikulum dimaksud di daerah.
Lalu bagaimana dengan
kurikulum pendidikan khusus profesi advokat (PKPA) apakah ada kurikulum standar
minimal yang diterapkan oleh organisasi advokat yang ada di Indonesia? Inilah
pertanyaan dan sekaligus tantangan kedepannya, agar nantinya ada standar
minimal yang serentak dibuat oleh organisasi advokat dalam melahirkan
advokat-advokat baru yang hadal di Indonesia. Semoga.
Sekian dan terima kasih.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
No Link Aktif, Harap Maklum BOSS.....