Hubungan Industrial Pancasila dan Penyelesaian Sengketa Hukumnya # Sejak bergulirnya era reformasi tahun 1998 terjadi berbagai perubahan-perubahan
sistem politik dan pemerintahan baik secara struktural maupun fungsional, salah satunya adalah dibidang ketenagakerjaan dengan diterbitkannya
Undang Undang (UU) Nomor 13 Tahun 2003 Tentang Ketenagakerjaan dan Undang Undang
No. 2 tahun 2004 Tentang Penyelesaian Perselisihan Hubungan Industrial atau yang lazim disebut dengan Hubungan Industrial Pancasila (HIP).
Dari adanya Undang Undang (UU) Nomor 13 Tahun 2003 dan Undang Undang No. 2 tahun
2004, kita dapat melihat
adanya transformasi kebijakan dari suatu
sistem yang bersifat monolitik bagi tumbuh dan kembangnya serikat pekerja (single
union) ke sistem pluralitik yang berdampak bagi pelaku
produksi barang dan/atau jasa.
Khusus untuk kaum pekerja (buruh) menyebabkan bertumbuh dan atau berkembangnya serikat buruh atau serikat pekerja yang bersifat multi union.
Adanya proses transformasi pada hubungan industrial Pancasila (HIP) adalah sebagai salah
satu jawaban atas krisis yang terjadi di Indonesia, dimana ketika itu banyak lembagaan perbankan yang tidak sehat, termasuk struktur ekonomi yang
rentan terhadap gejolak dan belum adanya keterbukaan masyarakat untuk
menyampaikan aspirasinya.
Bila kita bolak balik lembaran sejarah perkembangan hubungan industrial Pancasila (HIP) dan juga penyelesaian sengketa dibidang ketenagakerjaan (perburuhan), telah mengalami berbagai perubahan sejalan dengan perubahan
politik yang terjadi Indonesia. Pada awal kemerdekaan sampai tahun tujuh
puluhan diwarnai dengan sistem hubungan industrial yang liberalistis. Pada
kurun waktu tersebut kaum pekerja (tenaga kerja) memperoleh kebebasan
berserikat yang seluas-luasnya dan bahkan sebagian besar serikat pekerja
merupakan bahagian dari partai politik yang sah dan ada di Indonesia.
Aspek Dan Ruang Lingkup Hubungan Industrial Pancasila (HIP)
Aspek-aspek yang termasuk dalam ruang lingkup hubungan
industrial Pancasila (HIP) adalah => hak normatif salah satunya tentang upah atau
pengupahan, syarat-syarat kerja, jam kerja, lembur, jaminan sosial, serikat
pekerja, sikap dan perilaku serta tindakan pekerja dan pengusaha, penyelesaian
sengketa atau perselisihan HIP dan lain-lain. Secara sederhana hubungan
industrial Pancasila (HIP) dan sengketa atau perselihan HIP dapat diartikan
sebagai suatu corak atau sistem proses sosial atau interaksi sosial atau
pergaulan, perilaku, sikap dan tindakan yang terbentuk diantara para pelaku
proses produksi barang dan/atau jasa yaitu pekerja (kaum tenaga kerja), pengusaha
(pemodal, manajemen perusahaan), pemerintah yang terkait dengan ketenagakerjaan
dan masyarakat sebagai konsumen yang menikmati atau mempergunakan hasil
produksi.
Proses sosial atau interaksi sosial atau pergaulan
tersebut diatas dapat berdampak positif dan berdampak negatif. Dampak positif, yaitu => mendapat manfaat daya
guna yang menguntungkan bagi para pelaku proses produksi barang dan/atau jasa, sedangkan dampak negatif, yaitu => dapat menimbulkan
perselisihan atau sengketa bagi pelaku proses produksi barang dan/atau jasa yang dapat mengganggu jalannya proses produksi HIP tersebut.
Dalam konteks hubungan industrial Pancasila (HIP) adanya
perubahan-perubahan sekarang ini, telah mempengaruhi nilai-nilai hubungan
antara pekerja (buruh) dan pengusaha (pemilik usaha/modal) yang dalam implementasinya mempunyai berbagai dampak
baik dampak positif maupun dampak negatif, hal mana tergantung keberhasilan
dalam beradaptasi terhadap proses perubahan yang dilakukannya. Proses hubungan
industrial Pancasila (HIP) yang pada hakekatnya menyangkut interaksi nilai yang
berbeda kepentingan memerlukan dukungan sikap, perilaku dan tindakan yang
beretika untuk mempertemukan perbedaan-perbedaan yang ada sedemikian rupa, sehingga terhindar terjadinya perselisihan/sengketa, serta cenderung memaksakan kehendak kepada pihak lainnya yang
sangat kuat berdampak menjadi konflik kepentingan dan
selanjutnya berkembang menjadi perselisihan/sengketa atau bentuk antagonis
lainnya kaitannya dengan HIP.
Banyak faktor yang dapat mempengaruhi hubungan industrial
Pancasila (HIP) dalam melakukan proses produksi barang dan/atau
jasa, peralatan dan teknologi, jumlah kaum tenaga kerja dan organisasi
manajemen perusahaan, lingkungan hidup dimana perusahaan itu berada dan
faktor-faktor lainnya yang kesemuanya dapat memberikan bentuk dan corak kepada
hubungan industrial Pancasila (HIP). Bahkan kondisi politik, perekonomian
seperti inflasi dan pertumbuhan ekonomi juga turut mempengaruhinya.
Berdasarkan pandangan atas kondisi yang demikian,
maka hubungan industrial Pancasila (HIP) yang harmonis pada dasarnya menyangkut
kemampuan mempertemukan nilai-nilai yang berkembang, yaitu
=> nilai-nilai reformasi yang bernuansa
Pancasila (HIP) pada prinsip kebebasan, keadilan social dan menjunjung tinggi,
penghargaan dan pelaksanaan Hak Asasi Manusia (HAM) dengan nilai-nilai Hubungan
Industrial Pancasila (HIP) yang telah ada sebelumnya yang bernuansa pada jati
diri bangsa Indonesia.
Perkembangan HIP dan Penyelesaian Sengketanya
Dalam lingkup hubungan industrial Pancasila (HIP) dan lembaga-lembaga bidang ketenagakerjaan (perburuhan) di Indonesia, telah berubah secara dramatis pada beberapa tahun belakang
ini. Perubahan menyangkut perangkat peraturan
perundang-undangan tersebut antara lain:
- Undang-Undang No. 21 Tahun 2000 Tentang Serikat Pekerja;
- Undang-Undang No. 13 Tahun 2003 Tentang Ketenagakerjaan;
- Undang-Undang No. 2 Tahun 2004 Tentang Penyelesaian Perselisihan Hubungan Industrial Pancasila (HIP);
Langkah signifikan dalam pembaharuan prangkat hukum dan atau peraturan perundang-undangan ketenegakerjaan mengikuti
pengesahan terhadap Konvensi International Labour Organization (ILO) mengenai hak-hak dan prinsip
mendasar di tempat kerja, termasuk Konvensi ILO No. 87 Tahun 1948 Tentang
Kebebasan Berserikat dan Perlindungan Hak Berorganisasi Bagi Pekerja dan
Pengusaha yang telah diratifikasi dan disahkan pada bulan Juni 1998 melalui
Keppres No. 83 Tahun 1998.
Hal-hal diataslah yang menjadi salah
satu faktor alasan mendasar, sehingga dibuat undang-undang ketenagakerjaan (Undang Undang Nomor 13 Tahun 2003), disamping faktor ekonomi
dan politik. Dalam catatan terakhir
kami, perkembangan Serikat Pekerja yang tercatat telah melebih angka 11.000 Serikat Pekerja/Buruh di tingkat perusahaan yang beranggotakan kurang lebih 10 juta
pekerja, disamping itu tercatat sebanyak 59 Serikat Pekerja
setingkat federasi dan 150 Serikat Pekerja Nasional serta 2 Konfederasi Serikat
Pekerja/Buruh.
Terjadinya perubahan kebijakan yang memperbolehkan terbentuknya banyak serikat pekerja, akan berimplikasi
pada:
- terbentuknya Serikat Pekerja (SP) lebih dari satu di satu perusahaan;
- perselisihan antar pengurus Serikat Pekerja (SP);
- komplikasi dalam pembentukan Kesepakatan Kerja Bersama (KKB);
- permasalahan perwakilan dalam kelembagaan ketenagakerjaan;
- permasalahan penyelesaian perselisihan/sengketa hubungan industrial;
- permasalahan-permasalahan lain yang berdampak pada proses hubungan industrial;
Disamping itu, dengan adanya
perubahan pola hubungan kerja dari waktu ke waktu cenderung mengarah ke sistem
sub kontrak dan pola putting out atau out sourching, dimana tendensi tersebut dapat mengakibatkan semakin hilangnya perlindungan atas hak-hak
pekerja (tenaga kerja). Pola demikian secara umum menimbulkan
praktek-praktek hubungan kerja yang tidak fair (unfair labour relation), sementara peratuan perundang-undangan yang ada belum secara
representatif dan maksimal mengatur keseluruhan permasalahan yang berkembang di bidang perburuhan yang
ada. Sementara itu dari sisi pelaksanaan
peraturan perundang-undangan masih banyak kasus-kasus pelanggaran hak normatif
disamping belum intensifnya pelaksanaan sarana-sarana Hubungan Industrial
Pancasila (HIP) lainnya seperti pembuatan Kesepakatan Kerja Bersama (KKB),
Peraturan Perusahaan dan lembaga Biparti.
Apabila dilihat HIP dari sisi konsep dan dilaksanakan
secara konsekuen oleh semua insan para pelaku HIP, maka diyakini tidak ada masalah
yang berarti di dalam HIP. Semua insan pelaku yang terlibat di dalam proses
produksi dapat menarik manfaat yang cukup berarti. Namun kenyataan dalam
praktek ketenagakerjaan pelaksanaan konsepsi HIP masih jauh dari apa yang
diharapkan oleh konsepsi tersebut, sehingga akhirnya menimbulkan apriori
terhadap system HIP. Dengan demikian timbul kesan bahwa HIP dirumuskan untuk
memberikan perlindungan bagi pengusaha dan tidak turut perlindungan bagi insan
kaum pekerja. Oleh karena itu, perlu adanya strategi untuk pelaksanaan konsepsi
HIP.
Permasalahan dalam bidang ketenagakerjaan/HIP sampai saat
ini tetap berkisar tentang kesempatan kerja atau mengentaskan pengangguran,
tingkat pendidikan tenaga kerja, keterampilan dan produktivitas tenaga kerja
yang rendah serta situasi hubungan industrial Pancasila (HIP) yang tidak
kondusif untuk menciptakan hubungan kerja yang aman, dinamis dan memperoleh
keuntungan yang maksimal bagi pekerja dan pengusaha/perusahaan. Disisi lain menurunnya kemampuan perusahaan secara ekonomi, mengakibatkan
menciutnya kesempatan kerja yang juga menimbulkan masalah dalam bidang HIP, seperti adanya pemutusan hubungan kerja (PHK). Perkembangan
politik dimana lebih memberikan tempat kepada pelaksanaan hak asasi manusia
(HAM) termasuk kebebasan berserikat dan demokratisasi membawa pengaruh langsung
bagi kebijakan ketenagakerjaan/HIP termasuk perkembangan sosial kemasyarakatan.
Apabila kita
kaji secara mendalam hakekat dan prinsip-prinsip dasar Serikat Pekerja/Buruh adalah sebagai organisasi pekerja/buruh yang dibentuk secara demokratis dari oleh dan
untuk kelompok kaum pekerja/buruh dalam rangka memberikan perlindungan menyeluruh kepada insan pekerja, khususnya perlindungan sosial ekonomi pekerja. Perlindungan tersebut, disamping termuat
dalam perangkat peraturan perundang-undangan yang berlaku, secara mendasar juga dilakukan pengaturan melalui perlindungan (collective bargaining) untuk merumuskan perjanjian kerja bersama (Collective
Labour Agreement). Pembuatan KKB adalah merupakan fungsi pokok
serikat pekerja sebagaimana termuat dalam Konvensi ILO No. 98 Tahun 1949
Tentang Hak Berorganisasi dan Perlindungan Bersama yang telah diratifikasi dan
disahkan dengan Undang Undang No. 18 Tahun 1956 Tentang Hak Berorganisasi dan
Perlindungan Bersama. Mengacu pada prinsip dasar tersebut semestinya Serikat
Pekerja/Buruh tumbuh dan berkembang dari bawah di tingkat perusahaan. Di
tingkat perusahaan inilah Serikat Pekerja/Buruh dan pihak manajemen
perusahaan/pengusaha melakukan perundingan untuk menyusun KKB, walaupun tidak
tertutup kemungkinan perundingan KKB di tingkat yang lebih tinggi atau di
tingkat kelompok perusahaan.
Sebagaimana kami jelaskan sebelunya, dengan berlakunya Undang Undang Nomor 21 Tahun 2000 Tentang Serikat Pekerja/Buruh memungkinkan
disuatu perusahaan berdiri lebih dari satu Serikat Pekerja/Buruh, bahkan
Serikat Pekerja/Serikat Buruh yang berdiri tidak harus mencerminkan sektor
usaha saja melainkan juga suatu jenis pekerjaaan seperti supir, tukang las,
tukang ketik surat/dokumen, sekretaris dan lain-lain. Di sisi lain fungsi utama
Serikat Pekerja/Serikat Buruh adalah merundingkan pembuatan KKB. Bahkan sesuai
dengan Undang Undang tersebut, di satu pihak perusahaan dapat berdiri federasi
Serikat Pekerja/Buruh dan/atau konfederasi Serikat Pekerja/Buruh. Menurut Undang Undang No. 13 Tahun 2003 Tentang
Ketenagakerjaan dalam Bagian Paragraf 1, Pasal 136 mengatur tentang Lembaga
Penyelesaian Perselisihan/Sengketa Hubungan Industrial Pancasila (HIP). Pasal
136 ayat 1 mengatur tentang Penyelesaian Perselisihan/Sengketa Hubungan Industrial wajib dilaksanakan oleh pengusaha dan pekerja/buruh atau serikat
pekerja/serikat buruh secara musyawarah untuk mufakat. Selanjutnya Pasal 136
ayat 2 menegaskan dalam hal penyelesaian secara musyawarah dan mufakat
sebagaimana dimaksud pada ayat 1 tidak tercapai, maka pengusaha dan
pekerja/buruh atau serikat pekerja/serikat buruh menyelesaikan perselisihan
hubungan industrial melalui prosedur penyelesaian perselisihan hubungan
industrial yang diatur dengan Undang Undang.
Penyelesaian perselisihan/sengketa ketenagakerjaan/HIP
umumnya dan penyelesaian perselisihan/sengketa yang menyangkut pemutusan hubungan kerja (PHK) pada khususnya, sebelumnya
senantiasa diselesaikan oleh suatu lembaga publik yaitu Panitia Penyelesaian
Perselisihan Perburuhan (P-4), jika perselisihan/sengketa diselesaikan
di wilayah suatu daerah ditangani oleh P4D dan/atau diselesaikan diwilayah
hukum pusat ditanganni oleh P4P. landasan yuridis formal lembaga publik P4D dan
P4P ketika itu diatur berdasarkan Undang Undang No.22 Tahun 1957 Tentang
Perselisihan Hubungan Industrial (PHI) dan khusus menyangkut Pemutusan Hubungan
Kerja (PHK) diatur berdasarkan Undang Undang No.12 Tahun 1964 Tentang PHK.
Berdasarkan ketentuan hukum yang berlaku tentang PHK,
maka penyelesaian perselisihan sengketa hubungan industrial penanganan perselisihan sengketanya melalui lembaga
publik Pengadilan Negeri setempat diatur secara tegas batasan waktunya
paling lama 120 hari mulai dari tingkat mediasi/konsiliasi/arbitrase
(salah satu diantaranya) hingga sampai ke tingkat Pengadilan Negeri dan tingkat
kasasi di Mahkamah Agung (MA) Jakarta.
Sekian dan terima kasih.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
No Link Aktif, Harap Maklum BOSS.....