Halaman

04 Maret 2016

Hubungan Industrial Pancasila dan Penyelesaian Sengketa Hukumnya

Hubungan Industrial Pancasila dan Penyelesaian Sengketa Hukumnya # Sejak bergulirnya era reformasi tahun 1998 terjadi berbagai perubahan-perubahan sistem politik dan pemerintahan baik secara struktural maupun fungsional, salah satunya adalah dibidang ketenagakerjaan dengan diterbitkannya Undang Undang (UU) Nomor 13 Tahun 2003 Tentang Ketenagakerjaan dan Undang Undang No. 2 tahun 2004 Tentang Penyelesaian Perselisihan Hubungan Industrial atau yang lazim disebut dengan Hubungan Industrial Pancasila (HIP).

Hukum Ketenagakerjaan Hubungan Industrial Pancasila

Dari adanya Undang Undang (UU) Nomor 13 Tahun 2003 dan Undang Undang No. 2 tahun 2004, kita dapat melihat adanya transformasi kebijakan dari suatu sistem yang bersifat monolitik bagi tumbuh dan kembangnya serikat pekerja (single union) ke sistem pluralitik yang berdampak bagi pelaku produksi barang dan/atau jasa. Khusus untuk kaum pekerja (buruh) menyebabkan bertumbuh dan atau berkembangnya serikat buruh atau serikat pekerja yang bersifat multi union.

Adanya proses transformasi pada hubungan industrial Pancasila (HIP) adalah sebagai salah satu jawaban atas krisis yang terjadi di Indonesia, dimana ketika itu banyak lembagaan perbankan yang tidak sehat, termasuk struktur ekonomi yang rentan terhadap gejolak dan belum adanya keterbukaan masyarakat untuk menyampaikan aspirasinya.

Bila kita bolak balik lembaran sejarah perkembangan hubungan industrial Pancasila (HIP) dan juga penyelesaian sengketa dibidang ketenagakerjaan (perburuhan), telah mengalami berbagai perubahan sejalan dengan perubahan politik yang terjadi Indonesia. Pada awal kemerdekaan sampai tahun tujuh puluhan diwarnai dengan sistem hubungan industrial yang liberalistis. Pada kurun waktu tersebut kaum pekerja (tenaga kerja) memperoleh kebebasan berserikat yang seluas-luasnya dan bahkan sebagian besar serikat pekerja merupakan bahagian dari partai politik yang sah dan ada di Indonesia.

Aspek Dan Ruang Lingkup Hubungan Industrial Pancasila (HIP)
Aspek-aspek yang termasuk dalam ruang lingkup hubungan industrial Pancasila (HIP) adalah => hak normatif salah satunya tentang upah atau pengupahan, syarat-syarat kerja, jam kerja, lembur, jaminan sosial, serikat pekerja, sikap dan perilaku serta tindakan pekerja dan pengusaha, penyelesaian sengketa atau perselisihan HIP dan lain-lain. Secara sederhana hubungan industrial Pancasila (HIP) dan sengketa atau perselihan HIP dapat diartikan sebagai suatu corak atau sistem proses sosial atau interaksi sosial atau pergaulan, perilaku, sikap dan tindakan yang terbentuk diantara para pelaku proses produksi barang dan/atau jasa yaitu pekerja (kaum tenaga kerja), pengusaha (pemodal, manajemen perusahaan), pemerintah yang terkait dengan ketenagakerjaan dan masyarakat sebagai konsumen yang menikmati atau mempergunakan hasil produksi.

Proses sosial atau interaksi sosial atau pergaulan tersebut diatas dapat berdampak positif dan berdampak negatif. Dampak positif, yaitu => mendapat manfaat daya guna yang menguntungkan bagi para pelaku proses produksi barang dan/atau jasa, sedangkan dampak negatif, yaitu => dapat menimbulkan perselisihan atau sengketa bagi pelaku proses produksi barang dan/atau jasa yang dapat mengganggu jalannya proses produksi HIP tersebut.

Hukum Perburuhan Dan Serikat Pekerja Indonesia

Dalam konteks hubungan industrial Pancasila (HIP) adanya perubahan-perubahan sekarang ini, telah mempengaruhi nilai-nilai hubungan antara pekerja (buruh) dan pengusaha (pemilik usaha/modal) yang dalam implementasinya mempunyai berbagai dampak baik dampak positif maupun dampak negatif, hal mana tergantung keberhasilan dalam beradaptasi terhadap proses perubahan yang dilakukannya. Proses hubungan industrial Pancasila (HIP) yang pada hakekatnya menyangkut interaksi nilai yang berbeda kepentingan memerlukan dukungan sikap, perilaku dan tindakan yang beretika untuk mempertemukan perbedaan-perbedaan yang ada sedemikian rupa, sehingga terhindar terjadinya perselisihan/sengketa, serta cenderung memaksakan kehendak kepada pihak lainnya yang sangat kuat berdampak menjadi konflik kepentingan dan selanjutnya berkembang menjadi perselisihan/sengketa atau bentuk antagonis lainnya kaitannya dengan HIP.

Banyak faktor yang dapat mempengaruhi hubungan industrial Pancasila (HIP) dalam melakukan proses produksi barang dan/atau jasa, peralatan dan teknologi, jumlah kaum tenaga kerja dan organisasi manajemen perusahaan, lingkungan hidup dimana perusahaan itu berada dan faktor-faktor lainnya yang kesemuanya dapat memberikan bentuk dan corak kepada hubungan industrial Pancasila (HIP). Bahkan kondisi politik, perekonomian seperti inflasi dan pertumbuhan ekonomi juga turut mempengaruhinya.

Berdasarkan pandangan atas kondisi yang demikian, maka hubungan industrial Pancasila (HIP) yang harmonis pada dasarnya menyangkut kemampuan mempertemukan nilai-nilai yang berkembang, yaitu => nilai-nilai reformasi yang bernuansa Pancasila (HIP) pada prinsip kebebasan, keadilan social dan menjunjung tinggi, penghargaan dan pelaksanaan Hak Asasi Manusia (HAM) dengan nilai-nilai Hubungan Industrial Pancasila (HIP) yang telah ada sebelumnya yang bernuansa pada jati diri bangsa Indonesia.

Perkembangan HIP dan Penyelesaian Sengketanya
Dalam lingkup hubungan industrial Pancasila (HIP) dan lembaga-lembaga bidang ketenagakerjaan (perburuhan) di Indonesia, telah berubah secara dramatis pada beberapa tahun belakang ini. Perubahan menyangkut perangkat peraturan perundang-undangan tersebut antara lain:
  • Undang-Undang No. 21 Tahun 2000 Tentang Serikat Pekerja;
  • Undang-Undang No. 13 Tahun 2003 Tentang Ketenagakerjaan;
  • Undang-Undang No. 2 Tahun 2004 Tentang Penyelesaian Perselisihan Hubungan Industrial Pancasila (HIP);
Langkah signifikan dalam pembaharuan prangkat hukum dan atau peraturan perundang-undangan ketenegakerjaan mengikuti pengesahan terhadap Konvensi International Labour Organization (ILO) mengenai hak-hak dan prinsip mendasar di tempat kerja, termasuk Konvensi ILO No. 87 Tahun 1948 Tentang Kebebasan Berserikat dan Perlindungan Hak Berorganisasi Bagi Pekerja dan Pengusaha yang telah diratifikasi dan disahkan pada bulan Juni 1998 melalui Keppres No. 83 Tahun 1998.

Hal-hal diataslah yang menjadi salah satu faktor alasan mendasar, sehingga dibuat undang-undang ketenagakerjaan (Undang Undang Nomor 13 Tahun 2003), disamping faktor ekonomi dan politik. Dalam catatan terakhir kami, perkembangan Serikat Pekerja yang tercatat telah melebih angka 11.000 Serikat Pekerja/Buruh di tingkat perusahaan yang beranggotakan kurang lebih 10 juta pekerja, disamping itu tercatat sebanyak 59 Serikat Pekerja setingkat federasi dan 150 Serikat Pekerja Nasional serta 2 Konfederasi Serikat Pekerja/Buruh.

Terjadinya perubahan kebijakan yang memperbolehkan terbentuknya banyak serikat pekerja, akan berimplikasi pada:
  • terbentuknya Serikat Pekerja (SP) lebih dari satu di satu perusahaan;
  • perselisihan antar pengurus Serikat Pekerja (SP);
  • komplikasi dalam pembentukan Kesepakatan Kerja Bersama (KKB);
  • permasalahan perwakilan dalam kelembagaan ketenagakerjaan;
  • permasalahan penyelesaian perselisihan/sengketa hubungan industrial;
  • permasalahan-permasalahan lain yang berdampak pada proses hubungan industrial;
Disamping itu, dengan adanya perubahan pola hubungan kerja dari waktu ke waktu cenderung mengarah ke sistem sub kontrak dan pola putting out atau out sourching, dimana tendensi tersebut dapat mengakibatkan semakin hilangnya perlindungan atas hak-hak pekerja (tenaga kerja). Pola demikian secara umum menimbulkan praktek-praktek hubungan kerja yang tidak fair (unfair labour relation), sementara peratuan perundang-undangan yang ada belum secara representatif dan maksimal mengatur keseluruhan permasalahan yang berkembang di bidang perburuhan yang ada. Sementara itu dari sisi pelaksanaan peraturan perundang-undangan masih banyak kasus-kasus pelanggaran hak normatif disamping belum intensifnya pelaksanaan sarana-sarana Hubungan Industrial Pancasila (HIP) lainnya seperti pembuatan Kesepakatan Kerja Bersama (KKB), Peraturan Perusahaan dan lembaga Biparti.

Apabila dilihat HIP dari sisi konsep dan dilaksanakan secara konsekuen oleh semua insan para pelaku HIP, maka diyakini tidak ada masalah yang berarti di dalam HIP. Semua insan pelaku yang terlibat di dalam proses produksi dapat menarik manfaat yang cukup berarti. Namun kenyataan dalam praktek ketenagakerjaan pelaksanaan konsepsi HIP masih jauh dari apa yang diharapkan oleh konsepsi tersebut, sehingga akhirnya menimbulkan apriori terhadap system HIP. Dengan demikian timbul kesan bahwa HIP dirumuskan untuk memberikan perlindungan bagi pengusaha dan tidak turut perlindungan bagi insan kaum pekerja. Oleh karena itu, perlu adanya strategi untuk pelaksanaan konsepsi HIP.

Permasalahan dalam bidang ketenagakerjaan/HIP sampai saat ini tetap berkisar tentang kesempatan kerja atau mengentaskan pengangguran, tingkat pendidikan tenaga kerja, keterampilan dan produktivitas tenaga kerja yang rendah serta situasi hubungan industrial Pancasila (HIP) yang tidak kondusif untuk menciptakan hubungan kerja yang aman, dinamis dan memperoleh keuntungan yang maksimal bagi pekerja dan pengusaha/perusahaan. Disisi lain menurunnya kemampuan perusahaan secara ekonomi, mengakibatkan menciutnya kesempatan kerja yang juga menimbulkan masalah dalam bidang HIP, seperti adanya pemutusan hubungan kerja (PHK). Perkembangan politik dimana lebih memberikan tempat kepada pelaksanaan hak asasi manusia (HAM) termasuk kebebasan berserikat dan demokratisasi membawa pengaruh langsung bagi kebijakan ketenagakerjaan/HIP termasuk perkembangan sosial kemasyarakatan.

Apabila kita kaji secara mendalam hakekat dan prinsip-prinsip dasar Serikat Pekerja/Buruh adalah sebagai organisasi pekerja/buruh yang dibentuk secara demokratis dari oleh dan untuk kelompok kaum pekerja/buruh dalam rangka memberikan perlindungan menyeluruh kepada insan pekerja, khususnya perlindungan sosial ekonomi pekerja. Perlindungan tersebut, disamping termuat dalam perangkat peraturan perundang-undangan yang berlaku, secara mendasar juga dilakukan pengaturan melalui perlindungan (collective bargaining) untuk merumuskan perjanjian kerja bersama (Collective Labour Agreement). Pembuatan KKB adalah merupakan fungsi pokok serikat pekerja sebagaimana termuat dalam Konvensi ILO No. 98 Tahun 1949 Tentang Hak Berorganisasi dan Perlindungan Bersama yang telah diratifikasi dan disahkan dengan Undang Undang No. 18 Tahun 1956 Tentang Hak Berorganisasi dan Perlindungan Bersama. Mengacu pada prinsip dasar tersebut semestinya Serikat Pekerja/Buruh tumbuh dan berkembang dari bawah di tingkat perusahaan. Di tingkat perusahaan inilah Serikat Pekerja/Buruh dan pihak manajemen perusahaan/pengusaha melakukan perundingan untuk menyusun KKB, walaupun tidak tertutup kemungkinan perundingan KKB di tingkat yang lebih tinggi atau di tingkat kelompok perusahaan.

Sebagaimana kami jelaskan sebelunya, dengan berlakunya Undang Undang Nomor 21 Tahun 2000 Tentang Serikat Pekerja/Buruh memungkinkan disuatu perusahaan berdiri lebih dari satu Serikat Pekerja/Buruh, bahkan Serikat Pekerja/Serikat Buruh yang berdiri tidak harus mencerminkan sektor usaha saja melainkan juga suatu jenis pekerjaaan seperti supir, tukang las, tukang ketik surat/dokumen, sekretaris dan lain-lain. Di sisi lain fungsi utama Serikat Pekerja/Serikat Buruh adalah merundingkan pembuatan KKB. Bahkan sesuai dengan Undang Undang tersebut, di satu pihak perusahaan dapat berdiri federasi Serikat Pekerja/Buruh dan/atau konfederasi Serikat Pekerja/Buruh. Menurut Undang Undang No. 13 Tahun 2003 Tentang Ketenagakerjaan dalam Bagian Paragraf 1, Pasal 136 mengatur tentang Lembaga Penyelesaian Perselisihan/Sengketa Hubungan Industrial Pancasila (HIP). Pasal 136 ayat 1 mengatur tentang Penyelesaian Perselisihan/Sengketa Hubungan Industrial wajib dilaksanakan oleh pengusaha dan pekerja/buruh atau serikat pekerja/serikat buruh secara musyawarah untuk mufakat. Selanjutnya Pasal 136 ayat 2 menegaskan dalam hal penyelesaian secara musyawarah dan mufakat sebagaimana dimaksud pada ayat 1 tidak tercapai, maka pengusaha dan pekerja/buruh atau serikat pekerja/serikat buruh menyelesaikan perselisihan hubungan industrial melalui prosedur penyelesaian perselisihan hubungan industrial yang diatur dengan Undang Undang.

Penyelesaian perselisihan/sengketa ketenagakerjaan/HIP umumnya dan penyelesaian perselisihan/sengketa yang menyangkut pemutusan hubungan kerja (PHK) pada khususnya, sebelumnya senantiasa diselesaikan oleh suatu lembaga publik yaitu Panitia Penyelesaian Perselisihan Perburuhan (P-4), jika perselisihan/sengketa diselesaikan di wilayah suatu daerah ditangani oleh P4D dan/atau diselesaikan diwilayah hukum pusat ditanganni oleh P4P. landasan yuridis formal lembaga publik P4D dan P4P ketika itu diatur berdasarkan Undang Undang No.22 Tahun 1957 Tentang Perselisihan Hubungan Industrial (PHI) dan khusus menyangkut Pemutusan Hubungan Kerja (PHK) diatur berdasarkan Undang Undang No.12 Tahun 1964 Tentang PHK.

Berdasarkan ketentuan hukum yang berlaku tentang PHK, maka penyelesaian perselisihan sengketa hubungan industrial penanganan  perselisihan sengketanya melalui lembaga publik Pengadilan Negeri setempat diatur secara tegas batasan waktunya paling lama 120 hari mulai dari tingkat mediasi/konsiliasi/arbitrase (salah satu diantaranya) hingga sampai ke tingkat Pengadilan Negeri dan tingkat kasasi di Mahkamah Agung (MA) Jakarta.

Sekian dan terima kasih.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

No Link Aktif, Harap Maklum BOSS.....