Setiap
perusahaan berkala Internasional, sudah barang tentu diwajibkan memiliki
sertifikat RSPO (Roundtable Sustainbable Palm Oil). Jika tidak, perusahaan
tersebut terancam akan black list oleh para pelaku pasar global. Untuk menjadi
anggota dan memiliki sertifikasi RSPO ini tidaklah mudah, dimana perusahaan tersebut
harus taat dan patuh pada prinsip yang telah ditetapkan dalam RSPO tersebut.
Salah satu prinsip yang harus ditaati, yakni adanya pengakuan dan penghormatan
atas hak-hak adat serta tidak memiliki konflik sosial dengan masyarakat
setempat dan ramah lingkungan. Dengan kata lain, RSPO merupakan salah satu
jalan untuk bisa menyelesaikan adanya persoalan antara masyarakat dengan
perusahaan anggota RSPO. Oleh karena itu, dengan kehadiran lembaga RSPO ini kita
akan menjadi tahu kelemahan dan kelebihan dari perusahaan kelapa sawit di
seluruh dunia. Apalagi RSPO ini terkait dengan isu global mengenai perkebunan
sawit, mulai dari pasar, hingga persoalan sosial ekonomi yang disorotnya
(misalnya isu tentang sejauh mana perlindungan hukum buruh sawit, upah yang ditetapkan atas penggunaan tenaga kerja di
perusahaan perkebunan kelapa sawit, isu gender, problematika yang ada dalam serikat buruh sawit, dsb), sehingga jika ada
persoalan sosial antara masyarakat dengan perusahaan, maka perusahaan tersebut
tidak bisa mendapatkan sertifikasi RSPO dan produk sawitnya tidak akan laku
dipasar global.
Latar Belakang Berdirinya RSPO
Crude Palm Oil (CPO) adalah produk setengah jadi dalam bentuk minyak kelapa sawit adalah merupakan satu komoditi perkebunan
terbesar di dunia, khususnya di Indonesia. Terjadinya krisis ekonomi
dunia di tahun 2008 telah menyebabkan terimbasnya harga CPO yang ambuk
dikisaran harga Rp 5.300 per kilo gram mengikuti sentimen penurunan harga minyak mentah dunia.
Seiring dengan semakin membaiknya perkembangan harga CPO dunia, memunculkan harapan baru bagi perusahaan-perusahaan perkebunan
kelapa sawit untuk mengembangkan sayapnya dan kembali berproduksi. Perkembangan
industri kelapa sawit, tentu saja tidak terlepas strategi dan cara tentang bagaimana pengelolaan minyak sawit yang
berkelanjutan, lestari dan mengikuti permintaan tren pasar internasional.
Tak ayal lagi, disaat industri kelapa sawit melakukan
invasi besar-besaran, industri kelapa sawit juga telah dituding sebagai salah satu penyebab rusaknya lingkungan dan hutan-hutan
tropis, serta hilangnya keanekaragaman hayati yang ada. Mau tidak mau, untuk
mengatasi masalah tersebut, industri kelapa sawit harus
mencari moda pengembangan industri minyak
sawit yang dilakukan secara lestari dan berkelanjutan. Karena industri minyak sawit banyak diterpa isu di pasar internasional mengenai permasalahan lingkungan yang ditimbulkan oleh
perkebunan kelapa sawit. Misalnya banyaknya pernyataan yang mengatakan bahwa perkebunan kelapa sawit
dianggap sebagai produk yang tidak berkelanjutan dan tidak ramah lingkungan, dimana tanah untuk eksploitasi pembukaan perkebunan kelapa sawit adalah berasal dari tanah hasil konversi
hutan. Dengan demikian tudingan bahwa kerusakan lingkungan terjadi dikarenakan berkurangnya daerah tangkapan
air dan pencemaran pengairan dan lingkungan akibat penggunaan pupuk. Untuk mengantisipasi hal tersebut disepakatilah sebuah komitment bahwa agar bisa diterima di pasar
internasional minyak sawit, maka yang diproduksi haruslah produk-produk yang berkelanjutan
(sustainable) serta harus ramah lingkungan.
Atas adanya tuntutan dari pasar global terhadap pengelolaan perkebunan dan pengolahan
kelapa sawit yang lebih bertanggung jawab dengan memperhatikan aspek-aspek lingkungan, sosial, dan
ekonomi yang berkembang saat ini, kemudian melahirkan suatu
konsep minyak sawit lestari oleh suatu badan yang disebut dengan Roundtable On
Sustainable Palm Oil (RSPO). Namun, untuk terciptanya pengelolaan sawit
yang berkelanjutan dan lestari serta melaksanakan komitmen dalam rangka mencapai
dan mendukung perkebunan dan pengelolaan kelapa sawit yang bertanggung jawab, tak ayal lagi perusahaan
perkebunan dan pengolah kelapa sawit dituntut untuk dapat menunjukkan
kinerjanya sesuai dengan standar yang ditetapkan
oleh RSPO itu sendiri.
Sehingga, isu-isu yang mengangkat masalah kerusakan lingkungan seperti: global warming, produk
yang tidak ramah lingkungan, kerusakan hutan, dan hilangnya keanekaragaman
hayati akibat usaha perkebunan kelapa sawit dapat diatasi.
Meningkatnya permintaan minyak sawit mentah (CPO) untuk memenuhi kebutuhan
minyak makan, oleokimia dan biodiesel membuat prospek industri kelapa sawit ke
depan tetap menjanjikan yang diprediksikan hingga tahun 2020 yang akan datang
akan mencapai 236 juta ton. Pemenuhan kebutuhan minyak sawit dunia tersebut, sebagian besar disuplai
oleh dua negara produsen CPO yakni Indonesia dan Malaysia. Dimana kontribusi
CPO Indonesia mulai bulan Januari sampai dengan Mei 2016 (lima bulan
pertama) telah mencapai angka 9,9 juta ton.
Melihat masih terbukanya peluang pasar minyak sawit
dunia, telah memantapkan posisi Indonesia
sebagai produsen minyak sawit nomor satu di dunia dengan
target ekspor sampai tahun 2020 pemerintah menargetkan produksi CPO melewati angka 40 juta ton. Tentu saja untuk mencapai target tersebut
dibutuhkan kerja keras dari semua pihak, apalagi saat ini industri kelapa sawit
Indonesia menghadapi gempuran isu negatif yang mengancam keberlangsungan bisnis
industri sawit nasional di masa depan. Maka diperlukan tindakan-tindakan konkrit dalam rangka untuk
mengantisipasi isu negatif yang kian gencar dilakukan.
Dalam perjalanannya, RSPO sebagai organisasi sukarela memiliki
dua mekanisme untuk memastikan para anggotanya agar
senantiasa mematuhi komitmen bersama, yaitu: 1). kode etik tindakan; dan 2). kerangka sertifikasi. Aplikasi implementasi dari komitmen ini adalah para produsen minyak kelapa
sawit diminta untuk berkomitmen dengan mengupayakan sertifikasi
operasional mereka sesuai standar RSPO dan para konsumen kelapa sawit diminta
berkomitmen dengan membeli dan mempergunakan kepala sawit yang sudah
disertifikasi. RSPO juga memonitoring proses pengelolaan kebun dan pabrik kelapa sawit
untuk mencapai satu atau lebih tujuan yang ditetapkan guna produksi barang dan
jasa secara terus-menerus dengan tidak mengurangi nilai inheren dan
produktivitas masa depannya, serta tanpa menimbulkan dampak yang tidak
diinginkan terhadap lingkungan biologi, fisik, dan sosial.
Singkatnya, RSPO (Roundtable on Sustainable Palm Oil) didirikan dengan spirit
mewujudkan dan mengembangkan Sustainable Palm Oil. Artinya, pemangku
kepentingan RSPO sepakat bahwa industri kelapa sawit harus berkembang dengan
kaidah-kaidah sustainable (keberlanjutan). Nah, dalam rangka
untuk itulah RSPO menyusun aturan dan system, berupa prinsip dan kriteria yang harus dipenuhi oleh industri sawit apabila
ingin mendapatkan predikat sustainable. Bahkan di awal RSPO berjalan, produsen
dijanjikan dapat menghasilkan sustainable palm oil dan akan diberikan insentif berupa
harga premium untuk setiap ton minyak sawit lestari (sustainable palm oil) yang
diproduksi mereka. Munculnya ide dan program RSPO ini adalah disebabkan proses implementasi dan
sertifikasi sustainable palm oil membutuhkan ekstra usaha dan biaya, sehingga alasan
perusahaan perkebunan sawit menjadi anggota RSPO diyakini merupakan bahagian dari sebuah solusi bagi pertentangan tiada henti terhadap industri kelapa sawit, khususnya grower, dimana para anggota roundtable yang
terdiri dari produsen kelapa sawit, prosesor dan trader minyak sawit, consumer
good manufacturers, retail, perbankan, investor, lembaga LSM atau NGO Lingkungan dan social, telah dianggap mewakili semua
kepentingan dalam mewujudkan pembangunan industri kelapa sawit yang
berkelanjutan.
Dengan semangat roundtable dan equality semestinya akan dengan mudah
didiskusikan dan disepakati jalan keluar serta komitmen untuk saling mendukung
satu sama lainnya. Tujuan memperoleh premium price, kelihatannya bukan merupakan tujuan
utama (primary goal) lagi.
Prinsip dan Kriteria RSPO
Prinsip
dan kriteria yang dimiliki oleh lembaga RSPO untuk produksi minyak sawit berkelanjutan disahkan pada bulan Nopember
2005, dan diterapkan melalui tahap percobaan selama periode 2 (dua) tahun dari tanggal pengesahan dan
akan ditinjau ulang setelah akhir periode tersebut.
Produksi
minyak sawit berkelanjutan terdiri dari operasi dan pengelolaan yang secara hukum
sah, layak ekonomi, pantas lingkungan dan bermanfaat social. Hal ini
disampaikan melalui penerapan prinsip dan criteria RSPO untuk produksi minyak
sawit berkelanjutan, dan disertai indicator dan panduan (secara keseluruhan
dalam dokumen ini disebut sebagai “criteria RSPO”). Semua criteria RSPO tersebut berlaku terhadap
pengelolaan kelapa sawit, juga terhadap pabrik.
Penafsiran
nasional (national interpretations) terhadap indikator dan panduan internasional juga akan dibuat,
agar terjaga control atas kualitas setiap dan panduan yang dinyatakan sebagai
penafsiran resmi, khususnya dalam konteks hukum, penafsiran nasional akan
memerlukan pengesahan atau pengakuan oleh RSPO.
Ada
delapan prinsip dan 39 Kriteria RSPO yaitu :
1. TRANSPARANSI
Kriteria 1.1 Para produsen (growers) kelapa sawit memberikan
informasi lengkap kepada para pengambil keputusan dalam bahasa dan bentuk yang
sesuai, dan secara tepat waktu, agar dapat berperan serta dengan baik dalam pengambilan keputusan;
Kriteria 1.2 Dokumen-dokumen manajemen dapat diperoleh oleh masyarakat umum
kecuali jika dilindungi oleh kerahasiaan komersial atau jika publikasi
informasi tersebut akan menimbulkan dampak negatif pada lingkungan hidup dan
masyarakat;
2. MEMENUHI HUKUM DAN PERATURAN
YANG BERLAKU
Kriteria 2.1 Patuh terhadap hukum dan peraturan setempat,
nasional maupun internasional yang telah diratifikasi;
Kriteria 2.2 Hak penggunaan lahan jelas dan tidak dalam status sengketa;
Kriteria 2.3 Penggunaan lahan untuk kelapa sawit tidak mengganggu
hak-hahukum atau adat pengguna lain, tanpa persetujuan sukarela
mereka yang diberitahukan sebelumnya;
3. KOMITMEN TERHADAP KELAYAKAN EKONOMI DAN KEUANGAN
Kriteria 3.1 Produktivitas dan
kualitas jangka panjang optimal hasil panen dan produk-produk dicapai melalui
praktik-praktik agronomi, pengolahan dan manajemen;
Kriteria 3.2 Praktek-praktek produsen dan pabrik pengolah
cukup optimal untuk mempertahankan produksi minyak sawit yang bermutu tinggi;
4. PENGGUNAAN LAHAN DAN
PABRIK SECARA TEPAT
Kriteria 4.1 Tata cara operasi terdokumentasikan dengan baik dan diimpelemtasikan serta
dipantau secara taat asas (konsisten);
Kriteria 4.2 Praktek-praktik
mempertahankan, dan jika memungkinkan meningkatkan, kesuburan tanah berada pada
tingkat yang dapat menjamin hasil yang banyak dan berkelanjutan;
Kriteria 4.3 Praktek-praktik yang
meminimalisasi dan mengendalikan erosi serta degradasi tanah;
Kriteria 4.4 Praktek-praktik ditujukan pada penjagaan mutu dan ketersediaan air permukaan dan air tanah;
Kriteria 4.5 Hama, penyakit, gulma, dan spesies pengganggu lain dapat
dikendalikan dengan baik dan penggunaanbahan kimia dilakukan secara optimal
atas dasar teknik Manajemen Hama Terpadu (IPM);
Kriteria 4.6 Bahan kimia (Obat) digunakan dengan cara yang tidak
membahayakan kesehatan atau lingkungan hidup;
Kriteria 4.7 Aturan keselamatan dan kesehatan kerja dilaksanakan;
Kriteria 4.8 Semua staf, pekerja, petani dan kontraktor dilatih dengan baik;
5. TANGGUNG JAWAB LINGKUNGAN
DAN KONSERVASI KEKAYAAN ALAM DAN KEANEKA RAGAMAN HAYATI
Kriteria 5.1 Dilakukan penilaian mengenai dampak lingkungan kelapa sawit
yang ditanam, baik positif maupun negatif, dan hasilnya dimasukkan ke dalam
perencanaan manajemen serta dilaksanakan dalam prosedur operasional;
Kriteria 5.2 Membangun pemahaman tentang spesies dan habitat tumbuhan dan
hewan yang berada di dalam dan di sekitar areal penanaman;
Kriteria 5.3 Rencana dikembangkan,
diimplementasikan dan dipantau untuk menangani keragaman biota di dalam dan di
sekitar areal penanaman;
Kriteria 5.4 Limbah dimusnahkan,
didaur ulang, dimanfaatkan kembali dan dibuang dengan cara yang ramah
lingkungan dan ramah social;
Kriteria 5.5 Memaksimalkan efisiensi
penggunaan energi dan penggunaan energi yang terbaharukan;
Kriteria 5.6 Menghindari pembakaran
untuk memusnahkan limbah dan mempersiapkan lahan penanaman kembali kecuali
dalam situasi khusus;
Kriteria 5.7 Mengembangkan,
melaksanakan dan memantau rencana pengurangan polusi dan emisi, termasuk gas
rumah kaca;
6. BERTANGGUNG JAWAB ATAS
BURUH, INDIVIDU, KOMUNITAS YANG TERKENA DAMPAK PERKEBUNAN DAN PABRIK
Kriteria 6.1 Menilai dampak sosial, baik positif maupun
negatif, dari kelapa sawit yang ditanam dan diolah, dan memasukkan hasilnya ke
dalam perencanaan manajemen dan dilaksanakan dalam tatacara operasional;
Kriteria 6.2 Terdapat metoda yang
terbuka dan transparan untuk melakukan komunikasi dan konsultasi antara
produsen (growers) dan/atau pabrik pengolah, masyarakat setempat dan
pihak-pihak lain yang terkena dampak atau berkepentingan;
Kriteria 6.3 Terdapat sistem yang disepakati bersama dan terdokumentasi
untuk menangani keluhan dan ketidaksetujuan, yang dilaksanakan dan diterima oleh
semua pihak;
Kriteria 6.4 Setiap negosiasi mengenai
kompensasi atas hilangnya hak hukum atau adat ditangani melalui sebuah sistem
yang terdokumentasi yang memungkinkan penduduk pribumi, masyarakat setempat dan
para pengambil keputusan dapat menyatakan pandangan mereka melalui lembaga
perwakilan mereka sendiri;
Kriteria 6.5 Majikan memastikan agar upah dan syarat kerja memenuhi paling
tidak standar hukum atau standar industri minimum serta cukup untuk memenuhi kebutuhan
dasar pekerja dan memperoleh penghasilan wajar;
Kriteria 6.6 Majikan menghargai hak semua pekerja untuk mendirikan dan ikut
dalam serikat pekerja yang mereka pilih dan untuk menentukan posisi tawar (bargain)
mereka secara kolektif. Jika undangundang melarang hak kebebasan berserikat
dan menentukan posisi tawar mereka secara kolektif, majikan memfaslitasi sarana
berserikat secara mandiri dan bebas dan penentuan posisi tawar semua pekerja;
Kriteria 6.7 Dilarang mempekerjakan
anak-anak. Anak-anak tidak dihadapkan pada suasana kerja yang berisiko.
Anak-anak hanya boleh bekerja pada perkebunan keluarga, dengan pengawasan orang
dewasa, dan selama tidak mengganggu program pendidikannya;
Kriteria 6.8 Majikan tidak boleh
terlibat dalam atau mendukung diskriminasi berdasarkan ras, kasta, asal negara,
agama, cacat tubuh, jenis kelamin, orientasi seksual, keanggotaan serikat
pekerja, afiliasi politik atau usia;
Kriteria 6.9 Para produsen dan pabrik pengolahan berhubungan secara baik
dan terbuka dengan para petani kecil dan pengusaha setempat;
Kriteria 6.10 Para produsen (growers) dan pabrik
pengolahan memberikan sumbangsih terhadap pembangunan wilayah jika memungkinkan;
7. PENGEMBANGAN PERKEBUNAN
BARU YANG BERTANGGUNG JAWAB
Kriteria 7.1 Melakukan penilaian dampak sosial dan lingkungan yang
menyeluruh dan melibatkan semua pihak sebelum melakukan penanaman atau operasi
baru, atau memperluas perkebunan yang sudah ada, dan hasilnya dimasukkan ke
dalam perencanaan, manajemen dan operasi;
Kriteria 7.2 Menggunakan informasi
survei tanah dan topografi untuk perencanaan lokasi penanaman baru, dan
hasilnya dimasukkan ke dalam rencana dan operasi;
Kriteria 7.3 Penanaman baru sejak tanggal diterapkannya kriteria RSPO belum menggantikan hutan primer atau setiap daerah yang mengandung satu
atau lebih Nilai-Nilai Tinggi Pelestarian (sisipkan tanggal jika Kriteria
RSPO diterapkan);
Kriteria 7.4 Dilarang mengembangkan
perkebunan di dataran yang curam, dan/atau di pinggir serta tanah yang rapuh;
Kriteria 7.5 Tidak boleh melakukan penanaman baru di atas tanah rakyat
setempat tanpa persetujuan sukarela yang diberitahukan sebelumnya, yang
ditangani dengan sistem terdokumentasi yang memungkinkan penduduk pribumi,
masyarakat setempat dan para pengambil keputusan mengungkapkan pandanganpandangan
mereka melalui lembaga-lembaga perwakilan mereka sendiri;
Kriteria 7.6 Masyarakat setempat diberi kompensasi atas setiap
pengambilalihan lahan dan pengalihan hak yang disepakati, sesuai dengan
persetujuan sukarela yang diberitahukan sebelumnya dan kesepakatan yang telah
dirundingkan;
Kriteria 7.7 Dilarang melakukan pembakaran untuk menyiapkan penanaman baru
kecuali dalam situasi khusus;
8. KOMITMEN TERHADAP
PERBAIKAN TERUS MENERUS PADA WILAYAH WILAYAH UTAMA AKTIVITAS
Kriteria 8.1 Produsen (grower) secara
rutin memantau dan mengkaji ulang kegiatan-kegiatan mereka dan mengembangkan
serta melaksanakan program kerja yang memungkinkan peningkatan nyata dan
sinambung dalam operasi-operasi utama;
Manfaat Kehadiran Lembaga RSPO
Keanggotaan
RSPO adalah sukarela. Artinya, RSPO tidak memiliki kewenangan eksekusi (memaksa)
agar suatu perusahaan PKS menjadi atau mematuhi prinsip, kriteria dan indikator
RSPO. Dengan kata lain perusahaan bebas memilih (ikut atau tidak) menjadi bagian dari RSPO. Namun, menjadi anggota RSPO, penerima
manfaat pertama adalah perusahaan itu sendiri. Dengan sertifikasi yang
diperoleh dari RSPO, maka PKS tersebut akan bebas dari penolakan, kritik dan
boikot pasar internasional yang mengakui RSPO, misalnya negara-negara Eropa, sedangkan negara seperti India, China, Amerika Latin tidak
mengakui adanya RSPO. Dengan demikian bagi perusahaan yang tidak ikut atau menolak menjadi anggota RSPO
masih memiliki alternatif pasar yang mau menerima CPO nya.
Namun pertimbangannya, negara-negara Eropa adalah pasar yang sangat strategis dan potensial bagi CPO.
Sehingga sangat baik bagi Pabrik Kelapa Sawit (PKS) untuk menjadi anggota RSPO. Tanpa RSPO perusahaan-perusahaan tersebut tidak
akan bisa bebas memasuki pasar Eropa.
Syarat dan Prosedur Dapat Sertifikat RSPO
Agar mendapat sertifikat RSPO, tentu ada syarat dan prosedur yaitu harus
dipenuhi prinsip, kriteria,
indikator dan mekanisme yang telah ditetapkan oleh RSPO. Penilaian sertifikasi ini mencakup
pengumpulan bukti dari para pihak terkait, termasuk lembaga resmi, masyarakat
adat, masyarakat lokal, organisasi pekerja, petani kecil lokal dan NGO Nasional
yang didesain untuk memastikan bahwa semua persoalan terkait pemenuhan kriteria
RSPO teridentifikasi.
Pada
intinya RSPO ini berkepentingan terhadap peningkatan hasil produksi sawit yang
berkelanjutan dan mengkontrol seluruh proses produksi minyak sawit sesuai dengan
standar kesehatan dan hukum international. RSPO pertama kali dibentuk di
Malaysia pada bulan Agustus 2003 dan konferensi kedua dilakukan di Jakarta pada
tahun 2005. Sampai saat ini keanggotaan RSPO sudah mencapai jumlah anggota RSPO
ada di 10 negara yakni Inggris (360), Jerman (333), Belanda (177),
Amerika Serikat (169), Italia (145), Prancis (135), Malaysia (127), Indonesia
(110), Belgia (104), Australia (192). yang mewakili pedagang, perusahaan perkebunan, pabrik
pengolahan, dan organisasi LSM atau NGO (Non
Government Organization) yang perduli terhadap dampak kehadiran Perkebunan kelapa sawit.
Khusus untuk daerah Provinsi Sumatera Utara (Sumut) terdiri dari : 1). PTPN IV, 2). PTPN III, 3). PT. Socfindo group,
4). PP. London Sumatra Indonesia ( LONSUM), 5). PT. Smart, 6). PT.Sawit
mas Group, 7). PT. Inti Indo Sawit Industri, 8). PT. BSP (Bakrie Sumatra
Plantation), 9). PT. SIPEF, 10). PT. Flora Sawita Chemindo, 11). PT. Musim Mas, 12). PT. First Mujur
Plantation and Industry, 13). PT. Oleon dan lain sebagainya. Dan RSPO masih menerima anggota
terutama mereka yang sudah terkena dampak dari kehadiran perkebunan atau perusahaan kelapa sawit. Baik
dari buruh, petani dan masyarakat sekitarnya. Maka sangat relevan jika stakeholder PKS
berkepentingan untuk mengawasi seluruh prilaku-prilaku PKS yang tidak memenuhi prinsip, kriteria dan indikator sebagaimana yang telah ditetapkan oleh RSPO. Pengawasan ini akan mendorong PKS menghargai, menghormati masyarakat yang
hidup disekitar perkebunan (buruh, petani, masyarakat lokal dan masyarakat
adat). Dengan RSPO, PKS tidak bisa lagi menentukan sepihak jalannya perkebunan
tetapi harus membangun kemitraan dengan stakeholholder khususnya di sekitar
perkebunan.
Jika RSPO
berjalan dengan baik, maka setidak-tidaknya
akan mendorong adanya peningkatan kesejahteraan buruh dan masyarakat komunitas di sekitar PKS. Tapi perlu diingat, manipulasi data dan informasi
dalam proses sertifikasi sangat mungkin terjadi. Karena itu, penguatan kesadaran masyarakat komunitas PKS tentang RSPO adalah sangat penting dan menjadi target utama. Praktek CSR di berbagai tempat memberikan pelajaran tanpa kesadaran
rakyat, rakyat kemudian akan ditipu. CSR cenderung hanya dinikmati oleh
segelintir orang yang mengaku-ngaku tokoh masyarakat. Maka untuk menghadapi hal ini, masyarakat sekitar perkebunan harus bangkit dan bebas dari feodalisme
perkebunan supaya bisa melakukan kontrol/pengawasan terhadap PKS.
Tujuan Berdirinya RSPO
Mempromosikan produksi dan penggunaan minyak
sawit berkelanjutan melalui kerjasama disepanjang rantai pasok (supply chain)
dan dialog terbuka dengan para pemangku kepentingan;
Menjamin bahan baku CPO yang berasal dari
perkebunan kelapa sawit yang dikelola secara lestari dan memenuhi ketentuan
yang ditetapkan oleh RSPO diantaranya ramah terhadap lingkungan, menjaga
biodiversity, menjaga nilai-nilai konservasi dan keanekaagaman hayati, serta
sosial dan budaya di lingkungan dimana perkebunan atau pabrik pengolahan CPO
tersebut berdiri;
Proses Mendapatkan Sertifikasi RSPO
The RSPO Verification Working Group (VWG) dibentuk agar menyediakan rekomendasi
lengkap tentang pengaturan sertifikasi untuk pertimbangan oleh Badan Pengurus
RSPO (EB RSPO). Tujuan dari persyaratan lengkap tersebut adalah untuk => memastikan bahwa penilaian RSPO
dilaksanakan dengan objektifitas dan konsistensi, bersamaan dengan kebutuhan
tingkat kecermatan teknis dan kredibilitas stakeholder.
Jangka waktu sistem sertifikasi ini akan ditinjau ulang oleh
RSPO setelah 2 tahun. Badan Pengurus RSPO dapat juga memutuskan untuk meninjau
setiap aspek dari sistem ini kapan saja sesuai dengan kemampuannya. Lembaga
sertifikasi akan diminta untuk melaksanakan pertemuan tahunan untuk meninjau
praktek terbaik dan menyampaikan umpan-balik kepada RSPO.
Beberapa skema sertifikasi RSPO pada umumnya terdiri dari tiga
unsur kata kunci, yaitu:
Adanya Standar Sertifikasi, hal ini merupakan sejumlah persyaratan yang harus dicapai dan terhadap persyaratan
tersebut penilaian sertifikasi dibuat. Sistem RSPO diuraikan secara lengkap
pada bagian 2, dibawah ini;
Adanya Persyaratan Akreditasi, hal ini adalah mekanisme pengesahan
untuk memastikan bahwa organisasi yang melaksanakan sertifikasi berkompeten dan
membuat hasil yang dapat dipercaya serta konsisten.
Adanya Persyaratan Proses Sertifikasi, hal ini adalah proses membangun apakah peryaratan-persyaratan (misalnya syarat standar) telah dicapai atau
tidak, umumnya dilakukan oleh sebuah lembaga sertifikasi.
Adapun yang menjadi persyaratan proses sertifikasi RSPO, yakni:
Kompetensi khusus tim penilaian;
Proses penilaian;
Mengumpulkan bukti dari parapihak selama penilaian
sertifikasi;
Ketersediaan publik dokumentasi, termasuk hasil sertifikasi;
Konflik kepentingan;
Mekanisme untuk keluhan dan ketidakpuasan;
Kontrol terhadap klaim;
Semoga telaah kami tentang
lembaga sertifikasi RSPO bagi perusahaan perkebunan kelapa sawit ini bisa bermanfaat,
sekian dan terima kasih.
Faktor Kelemahan RSPO
Beberapa
waktu yang lalu, ada laporan berjudul “Who Watches The Watchmen?
Auditors and the Breakdown of Oversight in the RSPO”, dalam
hal menampilkan beberapa studi kasus yang terjadi di perusahaan perkebunan
kelapa sawit di Indonesia.
Kalau
dicermati isi laporan tersebut, telihat banyak kelemahan dalam pelaksanaan
standar RSPO. Antara lain, adanya kegagalan sistemik auditor. Dimana auditor
dinilai kurang mampu dan secara umum niat mengidentifikasi kekurangan
minim serta mempertahankan perusahaan tetap dalam standar RSPO. Lembaga
Sertifikasi dalam merespon adanya bukti pelanggaran diatas tidak direspon
secara baik, apalagi memahami bagaimana kegagalan prosedural internal terjadi.
Accreditation
Services International (ASI) melakukan penilaian tahunan untuk mengecek
kemampuan lembaga sertifikasi dan dimandatkan menangguhkan mereka jika
diperlukan. Penilaian ASI kepada lembaga sertifikasi ini, belum diungkap ke
publik hingga transparansi soal ini dipertanyakan. Juga ada conflict of interest. Di mana,
lembaga sertifikasi menyediakan jasa sertifikasi kepada anggota yang sedang
diamati karena ada keluhan kepada perusahaan itu. Konsultasi saat proses NPP
juga lemah. Kelemahan juga terjadi dalam penilaian high conservation value (HCV).
Kedua
organisasi ini merekomendasikan beberapa hal kepada RSPO, yaitu => mengembangkan
pedoman wajib penilaian kualitas minimum HCV yang dapat diterima, Social and
Enviromental Impact Assessments (SEIAs) dan penilaian Free, Prior and Infrmend
Consent ( FPIC) pada Prosedur Penanaman Baru (New Planting Procedure/NPP). RSPO
juga diminta memastikan berkonsultasi aktif dengan ahli dan masyarakat
dilakukan dalam periode NPP. Guna meningkatkan akuntabilitas auditor, perlu
mempublikasikan penilaian ASI tahunan lembaga sertifikasi.
Khusus
kepada para pembeli, pedagang dan lembaga keuangan, diminta melakukan uji
kelayakan di level konsesi sampai mereka bisa mengatasi kelemahan sistem
seperti dalam laporan tersebut.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
No Link Aktif, Harap Maklum BOSS.....