12 Juli 2016

Potret Kehidupan Buruh Kebun Sawit Indonesia

Perluasan pembangunan lahan perkebunan kelapa sawit di Indonesia, cenderung dijadikan sebagai sarana dan prasarana dasar pembukaan lowongan atau lapangan pekerjaan di sektor agrobisnis. Memang, selama ini sektor industri perkebunan kelapa sawit telah diinvestigasi mampu menyerap berjuta-juta tenaga kerja formal maupun informal yang juga turut menjadi bagian dari peningkatan produksi CPO (Crude Palm Oil) di dalam negeri. Oleh karena itu, tidak ada salahnya bila industri perkebunan kelapa sawit, melihat para keberadaan buruh/karyawan/pekerja mereka sebagai salah satu bahagian yang terpenting dari mesin pencipta lajunya pertumbuhan ekonomi dalam negeri, khususnya dalam potret keberhasilan optimalisasi produksi CPO dari perkebunan kelapa sawit Indonesia yang telah menjadi nomor 1 (satu) di dunia.

Potret Realitas Minimnya Perlindungan Hukum Terhadap Kehidupan Tenaga Kerja Buruh Perkebunan Sawit di Indonesia

Dinamika Proses Perekrutan Buruh
Potret buruh di perkebunan kelapa sawit memiliki 3 (tiga) jenis status, yaitu buruh tetap (sering disebut dengan karyawan tetap), buruh dengan perjanjian kerja waktu tertentu (PKWT) dan buruh harian lepas (BHL). Buruh tetap adalah => buruh yang terikat hubungannya dengan perusahaan dan proses perekrutannya sangat jelas. Dalam proses layananpun, perusahaan lebih memfokuskan melayani buruh tetap. Untuk buruh yang berstatus PWKT, perekrutannya adalah melalui biro-biro “alih tenaga kerja” (outsourcing).

Sedangkan, dalam proses dan dinamika perekrutan buruh harian lepas (BHL) tidak dilakukan secara formal dan tanpa adanya surat perjanjian kerja harian lepas, namun dicarikan sendiri oleh mandor kebun sawit yang bersangkutan. Ketentuan mengenai pekerjaan dan informasi terkait dengan upah pun tidak terdapat relasi khusus dengan pihak perusahaan, namun memperolehnya dari mandor yang akan memimpin dan mengarahkan buruh ketika akan dilakukan kerja pada areal kebun. Sementara buruh tetap dan PKWT, dilakukan secara formal dan berhubungan langsung dengan pihak perusahaan masing-masing. Misalnya, melalui persyaratan lamaran pekerjaan dan melakukan test wawancara. Biasanya, perusahaan akan menggunakan standar persyaratan yang telah memiliki pengalaman, batas pendidikan minimal, dan bahkan terkadang karena adanya hubungan kekerabatan dengan karyawan yang terlebih dahulu bekerja (rekomendasi dan referensi).

Kebijakan Pemerintah tentang BHL dan Buruh SKUPT
Eksistensi adanya pemberlakukan sistem praktek kerja sistem BHL dan SKUPT yang diterapkan pada sektor perkebunan kelapa sawit di Indonesia sudah “mendarah daging”, jauh sebelum terbitnya Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan, dimana secara turun temurun praktek hubungan kerja bernuanasa majikan-buruh ini telah berlangsung sejak jaman kolonialisme. Kebijakan kolonialisme pada saat itu di seluruh perkebunan kelapa sawit di Indonesia lebih berpihak pada para pemodal, hal mana dapat kita lihat juga sekarang ini dengan adanya kebijakan pemerintah tentang pemberlakuan sistem konsesi tanah murah, pengakuan kepemilikan tanah bagi pengusaha asing melalui HGU, dan legitimasi hubungan kerja berbasis melalui adanya kebijakan dalam sistem hukum yang dikenal dalam sistem hukum perburuhan Indonesia yang lebih ditujukan untuk menjerat buruh menjadi “-abdi tuan kebun-” (disinyalir mirip penerapannya dalam sistem perbudakan jaman dulu). Akibat kuatnya keberadaan roh dan aura kolonialis yang berkuasa beratus-ratus tahun lamanya, kemudian terinternalisasi kedalam struktur yang diaplikasinya dalam hubungan industrial perkebunan modern saat sekarang ini.

Namun penting kita koreksi kembali bahwa setelah Indonesia merdeka, para pejuang pendiri lahirnya Bangsa Indonesia yang kita cinta ini sadar betul bahwasanya hubungan kerja eksploitatif bercorak liberalisme tadi harus dihapuskan. Itulah yang mendasari dimuatnya Pasal 27 ayat (2) UUD 1945 mengenai "pekerjaan" dan "penghidupan yang layak" dan terkait sangat erat dengan Pasal 28 mengenai hak setiap warga negara untuk berorganisasi dan berkumpul sebagai dasar konstitusional munculnya serikat buruh kita.

Memang benar sejak dari dulu, ada niatan pemerintah kita yang secara konsisten memperjuangkan hubungan kerja majikan-buruh yang bersifat kolektif berbasis kesejahteraan. Hal ini, dapat kita lihat setidak-tidaknya dari terbitnya 3 (tiga) buah undang-undang, yaitu Undang-Undang Nomor 33 Tahun 1947 tentang Kecelakaan, Undang-undang Nomor 12 Tahun 1948 tentang Kerja dan Undang-undang Nomor 23 Tahun 1948 tentang Pengawasan Perburuhan, yang oleh banyak ahli mengatakan sebagai salah satu undang-undang yang paling progresif dan protektif terhadap buruh/pekerja pada masanya dan jauh lebih bagus dari UU No. 13/2003 yang diberlakukan saat ini.

Dalam perkembangan peraturan pemerintah tentang buruh, di tahun 2000 terdapat kebijakan tentang “serikat pekerja” atau "serikat buruh" yakni UU No. 21 Tahun 2000 dan pada tahun 2004 pemerintah kembali mengeluarkan UU No. 24 Tahun 2004 Tentang Perselisihan Hubungan Industrial (PHI) bersamaan dengan lahirnya UU No 18/2004 tentang Perkebunan. Namun dari seluruh peraturan yang diberlakukan tersebut, tidak terdapat perubahan yang signifikan di sektor kehidupan sosial ekonomi, terutama tentang nasib dan kesejahteraan buruh kebun sawit di masa yang akan datang.

Problematika Kehidupan Buruh
Banyak muncul persoalan menyelemuti kehidupan buruh, khususnya yang kasat mata terlihat dan sangat penting di sektor perburuhan adalah melingkupi masalah layanan (public service) yang diberikan oleh pihak perusahaan. Masalah layanan ini, mencakup semua hal mulai dari perlakuan terhadap upah yang diberikan kepada buruh, jaminan kesehatan, layanan perumahan, layanan sosial dan layanan untuk jaminan hidup ke depan (BPJS). Perlu di ingat bahwasanya buruh tidak memiliki alat produksi, seperti kebun kelapa sawit yang lazim di miliki oleh petani sawit pada umumnya. Buruh kebun kelapa sawit hanya menjual tenaga kerjanya saja untuk sekedar memperoleh upah dan jaminan hari tua, tidak lebih dari itu.

Ada beberapa problematika yang terjadi menyelimuti kehidupan buruh kebun, yaitu:
  • Upah yang diberikan atau diterima oleh buruh sangat tidak sesuai dengan kondisi realitas ekonomi makro yang sedang berkembang saat ini, di mana harga bahan pokok dan seluruh fasilitas yang ada tidak sesuai dengan upah yang diperoleh, apalagi jika sang buruh memiliki anak yang sedang bersekolah, tentu sangat miris kondisinya. Upah yang diperoleh buruh, bahkan tidak sesuai dengan UMK yang ditetapkan oleh pemerintah kabupaten atau kota yang ada di Provinsi Sumatera Utara. Bahkan perusahaan memiliki aturan sendiri untuk menentukan besaran upah yang akan diberikan kepada para buruh-nya. Untuk buruh harian tetap, biasanya di peroleh pada akhir bulan dengan upah gaji pokok yang diterima buruh tetap sebesar Rp 1.952.640, sementara UMK adalah sebesar Rp 2.015.000 per-bulan. Sedangkan untuk buruh harian lepas (BHL), mereka memperoleh upah harian hanya mendapatkan paling besar Rp 78.600 per-hari. Upah buruan harian lepas biasanya di peroleh setiap minggu karena upah yang diberikan adalah upah harian. Sementara tunjangan untuk BHL tidak ada. Dalam pengupahan ini juga memberlakukan sistem borongan. Jika borongan tidak dapat dipenuhi oleh buruh, maka perusahaan dapat melakukan secara sepihak memotong upah buruh. Sedangkan untuk buruh kernet dewasa diberikan upah lebih rendah lagi, yaitu Rp 35.000 per-hari dan dibayar langsung oleh dan dari gaji buruh pemanen berdasarkan sistem kerja borongan. Waktu kerja BHL diperkerjakan dibawah 21 hari kerja. Baik BHL dan atau buruh kernet tidak pernah mendapatkan perjanjian kerja maupun slip gaji tertulis, serta standar upah yang diberlakukan adalah merupakan hasil perundingan Perjanjian Kerja Bersama (PKB) antara Badan Kerja Sama Perusahaan Perkebunan Sumatera (BKSPPS) dan “serikat buruh kuning” yang mengklaim dirinya mewakili kepentingan seluruh buruh kebun sawit.
  • Perusahaan tidak memberikan layanan kesehatan yang memadai bagi buruh harian lepas. Memang, di masing-masing perusahaan ada disediakan fasilitas klinik pengobatan khusus untuk buruh, namun yang dapat menikmati atau memiliki akses berobat ke klinik tersebut adalah buruh tetap dan atau karyawan perusahaan. Buruh harian lepas khususnya yang melakukan pekerjaan penyemprotan, sebenarnya harus mendapatkan atau diberikan layanan penuh bidang kesehatan karena buruh penyemprot memiliki tingkat resiko pekerjaan yang sangat tinggi disebabkan bersentuhan langsung dengan pestisida, pupuk, borax, dan bahan kimia beracun lainnya. Dengan kata lain, sang buruh menghadapi risiko kesehatan dan keselamatan yang tinggi – kerentanan dengan karakteristik yang sering disebut dengan istilah “precarious work”. BHL harus berusaha sendiri mencari layanan kesehatan dan di biayai sendiri jika mengalami sakit atau mendapat kecelakaan di saat kerja. Layanan yang semestinya diberikan perusahaan kepada buruh adalah rumah, listrik, air, kesehatan, fasilitas kerohanian atau keagamaan, sekolah dan lain sebagai. Jika layanan tersebut tidak di sediakan perusahaan, maka buruh berusaha sendiri untuk mendapatkan fasilitas tersebut tanpa adanya bantuan dari pihak perusahaan perkebunan.
  • Sistem kerja yang diberlakukan terhadap buruh adalah berhubungan langsung dengan mandor kebun sebagai pimpinan dan pengawas di lapangan di saat buruh bekerja setiap harinya. Dalam sistem kerjanya menggunakan 2 (dua) sistem, yakni sistem waktu kerja yakni selama 7 (tujuh) jam kerja dan sistem borongan. Selama 7 jam kerja, buruh diberikan patokan untuk menyelesaikan pekerjaannya yang telah ditentukan oleh perusahaan. Walaupun jam kerja selama 7 jam sudah selesai, namun jika seandainya borongan tersebut belum selesai maka buruh belum diperkenankan untuk kembali kerumahnya. Sistem kerja ini pun ditentukan sendiri oleh perusahaan sawit tanpa melibatkan buruh dalam merumuskan kerja. Yang paling memprihatinkan adalah jika borongan tersebut belum selesai atau tidak dapat di penuhi oleh buruh walaupun telah bekerja selama 7 jam, maka perusahaan akan menjatuhkan hukuman berupa potongan gaji/upah terhadap buruh yang bersangkutan.
  • Problematik hubungan kerja. Dalam hubungan kerja buruh tidak terdapat perbedaan golongan antara buruh yang telah lama bekerja dan yang baru bekerja. Begitupun dalam hal gaji. Tidak ada perbedaan gaji antara buruh yang telah bekerja lama dan yang baru. Terkait dengan masalah status buruh harian lepas, tidak memiliki informasi yang diberikan perusahaan untuk menjadi buruh tetap, sehingga nasib buruh BHL yang bisa bekerja mencapai puluhan tahun terus terkatung-katung nasibnya hingga saat ini karena statusnya yang tidak di perjelas oleh perusahaan atau tanpa diangkat menjadi buruh tetap.
  • Fasilitas kerja terkadang di persiapkan oleh buruh sendiri, karena terkadang fasilitas alat-alat kerja yang disediakan oleh perusahaan sangat terbatas. Oleh karenanya, mau tidak mau buruh BHL menyediakan fasilitas kerja sendiri tanpa diberikan imbalan pengganti oleh perusahaan, misalnya masker, sarung tangan untuk buruh pemupuk. Khusus terkait dengan fasilitas transportasi pengangkutan buruh untuk bekerja dan pulang setelah kerja disediakan oleh perusahaan walaupun kondisinya kurang baik dan layak.
  • Penggunaan tenaga kerja buruh anak. Kondisi ketenagakerjaan yang ada di perkebunan kelapa sawit adalah masih terdapat yang menggunakan tenaga kerja di bawah umur, yaitu antara umur 12 tahun sampai dengan 17 tahun yang cenderung ditempatkan bekerja sebagai kernet membantu pekerjaan pemanenan, memungut berondolan sawit yang jatuh di tanah, dan menyorong angkong berisi buah ke tempat pengumpulan hasil (TPH). Buruh anak ini tidak mempunyai hubungan kerja yang jelas, karena dibawa langsung oleh buruh pemanen yang memiliki beban target kerja borongan yang tinggi (hingga 2 ton per-hari) dan upah yang diberikan terhadap buruh anak ini adalah sangat rendah, yaitu dikisaran Rp 20.000 per-hari.
  • Minimnya perlindungan pemerintah khususnya Dinas Tenaga Kerja dan Transmigrasi (Disnakertrans) dalam persoalan perselisihan hubungan kerja. Disnaker tidak memiliki upaya yang progresif dalam mengambil kebijakan untuk secepat menyelesaikan persoalan buruh. Bahkan buruh, seringkali menilai bahwa disnaker telah dicap sebagai bagian perpanjangan tangan dari pihak pengusaha perusahaan perkebunan sawit, karena tidak mampu menyelesaikan setiap adanya persoalan kehidupan buruh pada pihak perusahaan, khususnya dalam rangka menyelesaikan bila terjadi kasus atau perkara perselisihan hubungan industrial pada tingkat perundingan tripatrit.
Solusi Penyelesaian Persoalan Kesejahteraan Buruh Sawit
Dalam rangka untuk menyelesaikan persoalan kesejahteraan buruh, kami melihat perlu dilakukan dalam 2 (dua) tahap, yaitu: 1). tahap minimal dan 2). tahap maksimal. Tahap yang paling minimal yang harus secepat dilakukan untuk mengupayakan adanya kesejahteraan buruh adalah dengan memperbaiki seluruh layanan yang diberikan oleh perusahaan perkebunan kelapa sawit, seperti dalam hal memberikan layanan kesehatan, layanan perumahan, perbaikan penggunaan sistem kerja yang saling menguntungkan terutama penghapusan sistem kerja borongan, pemberlakuan waktu kerja yang lebih bersandarkan pada prinsip saling menghargai dan saling menghormati (sekaligus menghilangkan adanya nuansa majikan – buruh). Selain itu juga, perusahaan perkebunan perlu kiranya meninjau ulang dan bahkan menghapus sistem Buruh Harian Lepas (BHL) dan dapat merubah statusnya menjadi buruh atau karyawan tetap. Kami juga melihat dalam tahap minimal ini, perlu kiranya ada penghormatan prestasi kerja terhadap status buruh yang telah bekerja lama dengan mengangkat atau menjadikannya sebagai karyawan tetap perusahaan ataupun bisa menduduki bagian struktur tertentu dalam perusahaan. Sementara, di level pemerintah sebagai pembuat dan pengambil kebijakan, minimal perlu kiranya memberikan perlindungan hukum terhadap buruh perkebunan sawit dalam menghadapi risiko yang khas atau risiko yang tinggi karena keberadaan mereka yang terisolasi secara geografis atau termarginalkan. Secara khusus, terhadap buruh perempuan dan buruh anak harus segera diperhatikan, karena merupakan buruh yang paling berisiko dan paling tidak terlindungi, serta paling menderita akibat penetapan target borongan yang sangat tinggi dan pemberian upah rendah yang tidak layak. Pemerintah juga harus meninjau kembali regulasi upah buruh yang sesuai dengan standar kehidupan ekonomi yang makro di Indonesia. Selain itu, komposisi yang duduk di dalam lembaga dewan pengupahan perlu terdapat representasi dari kelompok “serikat buruh independen”. Pemerintah juga perlu lebih progresif dalam menyelesaikan setiap adanya perselisihan dalam hubungan industrial dan perlu merumuskan arah kebijakan yang berpihak pada buruh perkebunan secara komprehensif.

Standar yang diterapkan pada tahap maksimal adalah segera menyelesaikan persoalan jaminan masa depan buruh sawit untuk dapat menghidupi diri buruh dan juga keluarganya lebih permanen dengan memiliki alat produksi sendiri (misalnya bisa menjadi petani sawit). Buruh harus di berikan penghormatan tersendiri dengan pemberian kebun sawit kepada buruh, baik dari pemerintah maupun dari perusahaan sawit itu sendiri, karena sebagaimana yang kita lihat bahwasanya buruh tidak memiliki alat produksinya dan hanya mengandalkan tenaganya semata. Dan jika sudah memasuki masa tua (umur pensiun), maka tidak ada penghasilan atas pekerjaannya sebagai buruh karena tidak memiliki tenaga yang cukup kuat untuk dapat bekerja di areal kebun sawit.

Konvensi Inti ILO
Dalam catatan kami, ada beberapa konvensi ILO yang wajib diberlakukan terhadap pelaksanaan dalam sistem hubungan kerja industrial Pancasila di perusahaan-perusahaan perkebunan kelapa sawit yang ada di Indonesia, khususnya di daerah kabupaten/kota yang ada di Sumatera Utara (Sumut), dan yang terkhusus lagi bagi perusahan perkebunan kelapa sawit yang berada dibawah naungan dan koordinasi Badan Kerja Sama Perusahaan Perkebunan Sumatera (BKSPPS), dimana Konvensi ILO yang kami maksud diantaranya:
  1. Konvensi ILO No. 29 Tentang Penghapusan Kerja Paksa.
  2. Konvensi ILO No. 87 Tentang Kebebasan Berserikat dan Perlindungan Hak Untuk Berorganisasi.
  3. Konvensi ILO No. 98 Tentang Hak Berorganisasi dan Melakukan Perundingan Bersama.
  4. Konvensi ILO No. 100 Tentang Pemberian Upah Yang Sama Bagi Para Pekerja Pria dan Wanita.
  5. Konvensi ILO No. 105 Tentang Penghapusan Semua Bentuk Kerja Paksa.
  6. Konvensi ILO No. 111 Tentang Diskriminasi Dalam Pekerjaan dan Jabatan.
  7. Konvensi ILO No. 138 Tentang Usia Minimum Untuk Diperbolehkan Bekerja.
  8. Konvensi ILO No. 182 Tentang Pelarangan dan Tindakan Segera Penghapusan Bentuk-Bentuk Pekerjaan Terburuk Untuk Anak.
Demikian tulisan kami tentang potret kehidupan buruh yang bekerja di perkebunan kelapa sawit, semoga bermanfaat bagi para pembaca dan pengunjung setia website blog advokat silaen & associates ini. Atas perhatiannya diucapkan terima kasih. Salam Advokat Indonesia.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

No Link Aktif, Harap Maklum BOSS.....