Perlindungan hukum terhadap orang-orang yang telah
melaporkan terjadi pelanggaran pilkada/pemilu termasuk didalamnya “money politics” masih menyisakan
persoalan, dimana meskipun Undang-Undang Pilkada telah direvisi menjadi UU Nomor 10 Tahun 2016 tentang
pemilihan Gubernur/Wakil Gubernur, pemilihan Bupati/Wakil Bupati dan pemilihan
Walikota/Wakil Walikota, tetap saja masih belum melindungi para pelapor
pelanggaran dalam pemilu.
Adanya kekuatiran atas pentingnya pengaturan secara tegas dan khusus dalam Pasal-Pasal UU No. 10/2016 untuk melindungi para pelapor ketika membuat pengaduan dan/atau melaporkan para peserta pilkada/pemilu telah melakukan pelanggaran pemilu adalah disebabkan adanya pengalaman pahit yang terjadi terhadap sang pelapor yang melaporkan adanya pelanggaran pemilu ketika terjadi berlangsung pemilihan umum legislatif (pileg) tahun 2014 yang lalu. Dalam kejadian di pileg 2014, dimana saat itu ada seorang yang bertindak secara individu melaporkan secara pidana salah seorang calon anggota legislatif yang terpilih atas dugaan telah terjadinya pelanggaran pemilu berupa telah melakukan money politics pada pileg 2014. Nah, dalam perkembangan kasus tersebut, calon anggota legislatif tersebut melaporkan balik orang yang telah melaporkannya tersebut ke polisi, dan selanjutnya kasus tersebut diproses dan disidik.
Kalau kita cermati isi dari Pasal-Pasal yang terdapat
dalam UU Pilkada hasil revisi kedua
yang berubah menjadi UU No. 10 Tahun 2016, termaktub hanya baru memperjelas dan
atau mempertegas terhadap adanya sanksi pidana dan atau denda yang diberikan
kepada para pelaku money politics, yakni sebagaimana tercantum dan diatur dalam
Pasal 187 A Ayat 1 dan Ayat 2. Dalam Pasal tersebut dengan jelas ada
menyebutkan bahwa => “pelaku dan penerima money politics sama-sama terancam
sanksi pidana dan denda bila terbukti secara hukum”.
Nah, memang amat disayangkan ketika terjadi pembahasan
melakukan revisi kedua atas UU Pilkada tersebut, melewatkan upaya betapa
pentingnya memasukan Pasal yang mengatur tentang adanya perlindungan hukum kepada
para pelapor pelanggaran pemilu (dalam hal ini baik pelapor yang dimaksud adalah
dalam kapasitasnya sebagai lembaga maupun individual). Atas tidak adanaya
pengaturan ini, bila masih tidak disikapi dengan bijak untuk mempertegas akan
pentingnya perlindungan hukum terhadap pelapor, maka hal ini dikuatirkan bisa
saja akan merepotkan kinerja para penyelenggara pemilu (dalam hal ini dimaksud adalah
KPU dan BAWASLU) untuk mewujudkan pemilu yang jurdil, berintegritas dan minim
pelanggaran pemilu. Kebijakan yang komprehensif adalah dengan mencari formula
dan strategi yang tepat untuk mengawal tahapan-tahapan yang dianggap merupakan titik rawan pelanggaran pemilu dari
tahun ke tahun penyelenggaraan pemilu/pilkada.
Tentu saja, dengan tidak adanya jaminan atas
perlindungan hukum terhadap para pelapor ini, kekuatiran dan rasa takut maupun
was-was dari masyarakat untuk melaporkan bahwasanya telah terjadi pelanggaran
pemilu money politics akan timbul, dikarenakan komponen masyarakat takut akan
dilaporkan balik (misalnya pengaduan dengan pasal pencemaran nama baik,
menista, penghinaan, dituduh telah membuat laporan palsu, membuat perasaan
tidak menyenangkan, dan lain sebagainya) ke polisi. Tidak hanya itu saja, tidak
tertutup juga orang yang dilaporkan tersebut (dituduh telah melakukan money
politics) kemungkinan akan melakukan tuntutan hukum ganti rugi secara perdata
ke pengadilan negeri. Rasa kekuatiran ini timbul adalah belajar dari apa yang terjadi
dalam pemilihan umum legislatif (pileg) 2014 yang lalu. Mudah-mudahan trauma
ini tidak terjadi lagi dipelaksanaan pilkada 2017 yang akan datang.
Demikian catatan ringan kami tentang betapa penting
sebenarnya perlindungan hukum terhadap pelapor atau pengadu yang akan
melaporkan atau mengadukan telah terjadi pelanggaran pemilu/pilkada (misalnya
politik uang), dan mudah-mudahan dalam pelaksanaan pilkada tahun 2017 yang akan
datang (khususnya untuk daerah di Kabupaten Tapanuli Tengah (Tapteng) yang akan
melakukan pilkada untuk memilih Bupati/Wakil Bupati Tapteng dan Kota Tebing
Tinggi untuk memilih Walikota/Wakil Walikota Tebingtinggi periode 2017 - 2022
yang kesemuanya berada di Provinsi Sumatera Utara (Sumut)). Dengan demikian kekuatiran
atas akan terjadi pelanggaran pilkada money politics dapat dihindari. Oleh
karena itu, sangat diharapkan adanya peran masyarakat untuk mengawasi, yakni
dengan melakukan pengawasan intensif dilapangan agar pesta demokrasi rakyat 5 (lima)
tahunan untuk memilih kepala daerah dapat berlangsung dengan damai dan sukses,
serta dapat memilih pemimpin yang amanah. Bila menemukannya silahkan untuk
membuat pengaduannya ke BAWASLU, karena hakekat dari penyelenggaraan pilkada
tidak hanya untuk sekedar menyampaikan hak suara di bilik suara, melainkan juga
keikutsertaan kita sebagai warga negara Indonesia untuk turut mengawasi seluruh
proses dari pelaksanaan tahapan yang ada dalam pemilu/pilkada, teramat khusus
untuk mengawasi penyelenggara pemilu agar terhindar dari perbuatan berupa
adanya pelanggaran pilkada oleh penyelenggara pemilu, baik yang dilakukan oleh KPU beserta dengan seluruh
jajarannya di daerah dan juga BAWASLU beserta dengan seluruh jajarannya di
daerah. Awasi dan laporkan.
Bila anda mau tahu tentang siapa kami, silahkan baca
sinopsis lengkap curiculum vitae kami dalam tajuk berisi profil => “tentang kami”. Sekian dan terima kasih. Salam Advokat –
Pengacara – Lawyers – Attorney - Konsultan Hukum Indonesia. (by NH Silaen, SH – Advokat dan Konsultan
Hukum Anggota Peradi asal Kota Medan, Indonesia).
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
No Link Aktif, Harap Maklum BOSS.....