Pasca
terbitnya Surat Keputusan Ketua Badan Nasional Sertifikasi Profesi Nomor
KEP.0562/BNSP/V/2016 tentang Lisensi Kepada Lembaga Sertifikasi Profesi Pengacara
Indonesia (disingkat LSPPI) tertanggal 24 Mei 2016, telah menimbulkan polemik
dan kontroversial di kalangan para pengemban tugas profesi advokat di Indonesia.
Kita
lihat saja, pembincangan mengenai Lembaga Sertifikasi Profesi Pengacara
Indonesia telah mulai ramai dan hangat, serta telah menjadi salah satu trending
topik yang riuh dibahas di media massa cetak dan elektronik, serta di jejaring
media sosial, seperti facebook dan twitter Indonesia.
Polemik
atas pembahasan ini juga telah hangat dikupas oleh para advokat daerah,
misalnya para advokat yang terhimpun dalam organisasi advokat Peradi di Dewan
Pimpinan Cabang Peradi Medan (organisasi advokat tempat penulis tercatat),
tentu saja pembahasan ini dengan mengemukakan berbagai alasan, argumen dan
opini tentang kehadiran Lembaga Sertifikasi Profesi Pengacara Indonesia
tersebut. Dari hasil pembincangan tersebut, kami menarik suatu kesimpulan,
bahwa sebenarnya Lembaga Sertifikasi Profesi Pengacara Indonesia tidak perlu
karena bertentangan dengan Undang-Undang Nomor 18 Tahun 2003 tentang Advokat.
Jika
kita telaah secara cermat dan teliti tentang kehadiran Lembaga Badan Nasional
Sertifikasi Profesi (BNSP) adalah didirikan berdasarkan amanah yang tertuang
dalam Peraturan Pemerintah Nomor 23 Tahun 2004 tentang Badan Nasional Lembaga
Profesi, dimana tugas pokok dari BNSP diatur dalam ketentuan Pasal 3 PP No.
23/2004, yaitu => “BNSP mempunyai tugas untuk melaksanakan sertifikasi
kompetensi kerja”.
Nah,
seandainya “mungkin” dalam hal melaksanakan tugas BNSP sebagaimana tersebut
dalam Pasal 3 PP No. 23/2004 tersebut, sontak muncul Surat Keputusan dari Ketua
BNSP No. 0562/BNSP/V/2016 tentang Lisensi Kepada Lembaga Sertifikasi Profesi
Pengacara Indonesia (LSPPI), yang mana didalam SK Ketua BNSP tersebut
menyatakan dengan tegas kata-kata => “memutuskan dan menetapkan LSPPI
sebagai Lembaga Sertifikasi Profesi Pihak Ketiga”.
Kalau
kita bedah dan cermati Surat Ketua Ketua BNSP yang diterbitkan, secara nyata
tidak ada menyertakan atau menyebutkan UU No. 18/2003 tentang Advokat didalam
mukadimah pembukaan pada bahagian “mengingat” melainkan hanya mencantumkan UU
Nomor 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan. Tentu saja, hal ini menurut kami
sangat bertentangan hirarki peraturan perundang-undangan yang berlaku dan
mengatur tentang profesi Advokat sebagaimana yang tertuang dan diatur dalam UU
No. 18 Tahun 2003.
Dalam
ketentuan Pasal 32 Ayat (1) Undang-Undang No. 18/2003 telah sangat jelas diatur
dan atau menyatakan bahwa => “Advokat, penasihat hukum, pengacara praktik
dan konsultan hukum yang diangkat pada saat undang-undang ini mulai berlaku,
dinyatakan sebagai Advokat sebagaimana diatur dalam undang-undang ini”. Dengan
lahir dan diberlakukannya UU No. 18/2003 ini, maka secara formil tidak mengenal
lagi sebutan pengacara, melainkan adalah advokat sebagaimana diatur dan
disebutkan dalam undang-undang.
Jika
kita cermati isi Undang-Undang Nomor 18 Tahun 2003 tentang Advokat, khususnya
yang mengatur tentang “sertifikasi advokat” telah pula diatur dalam ketentuan
Pasal 2 dan Pasal 3 UU No. 18/2003. Jadi menurut kami, tidak ada alasan yang
urgent untuk mengeluarkan program sertifikasi bagi “Profesi Advokat Indonesia”,
terkecuali ada revisi atau amandemen terhadap UU No. 18 Tahun 2003.
Disamping
tidak dicantumkannya UU No. 18 Tahun 2003 dalam mukadimah pembukaan pada
bahagian “mengingat” sebagaimana kami uraikan diatas, SK Ketua BNSP juga tidak
ada menyertakan atau mencantumkan UU No. 16 Tahun 2011 tentang Bantuan Hukum yang
juga merupakan bahagian yang tidak terpisahkan dalam diri profesi advokat itu
sendiri.
Timbulnya
kebijakan atas program sertifikasi advokat yang sangat kontroversi, apakah merupakan
“penggerogotan” atas marwah profesi advokat yang “officium nobile” (profesi
terhormat)? Atau saat ini telah banyak muncul kepentingan pribadi diatas
kepentingan Organisasi Advokat Indonesia? Mudah-mudahan hal ini menjadi
renungan kita bersama para advokat Indonesia, karena kedudukan advokat adalah
sebagai penegak hukum yang sejajar dengan para penegakan hukum yang lain, yaitu
profesi hakim, profesi jaksa dan profesi polisi. Kalau hal ini tetap dibiarkan,
tentu saja marwah advokat yang “officium
nobile” akan berada pada titik nadir, ditengah-tengah adanya perpecahan
ditubuh organisasi advokat peradi dan sepak terjang para “advokat hitam” yang
turut andil menurunkan kredibilitas profesi advokat yang merupakan profesi yang
terhormat.
Ayo
bangkitlah ORGANISASI ADVOKAT PERADI, jangan terus berkutat dalam tren topik
suksesi Ketua dan atau Pengurus Dewan Pimpinan Nasional (DPN PERADI) dan ujian
penerimaan advokat baru, segera tuntaskan polemik dan kontroversi tentang kehadiran
lembaga sertifikasi profesi advokat/pengacara Indonesia, kami para anggota siap
mendukung.
Sekian
dan terima kasih.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
No Link Aktif, Harap Maklum BOSS.....