Halaman

01 Juli 2016

Polemik Lembaga Sertifikasi Profesi Pengacara Indonesia

Pasca terbitnya Surat Keputusan Ketua Badan Nasional Sertifikasi Profesi Nomor KEP.0562/BNSP/V/2016 tentang Lisensi Kepada Lembaga Sertifikasi Profesi Pengacara Indonesia (disingkat LSPPI) tertanggal 24 Mei 2016, telah menimbulkan polemik dan kontroversial di kalangan para pengemban tugas profesi advokat di Indonesia.

Peradi Organisasi Advokat Indonesia Lembaga Pemegang Sertifikasi Advokat - Pengacara Indonesia

Kita lihat saja, pembincangan mengenai Lembaga Sertifikasi Profesi Pengacara Indonesia telah mulai ramai dan hangat, serta telah menjadi salah satu trending topik yang riuh dibahas di media massa cetak dan elektronik, serta di jejaring media sosial, seperti facebook dan twitter Indonesia.

Polemik atas pembahasan ini juga telah hangat dikupas oleh para advokat daerah, misalnya para advokat yang terhimpun dalam organisasi advokat Peradi di Dewan Pimpinan Cabang Peradi Medan (organisasi advokat tempat penulis tercatat), tentu saja pembahasan ini dengan mengemukakan berbagai alasan, argumen dan opini tentang kehadiran Lembaga Sertifikasi Profesi Pengacara Indonesia tersebut. Dari hasil pembincangan tersebut, kami menarik suatu kesimpulan, bahwa sebenarnya Lembaga Sertifikasi Profesi Pengacara Indonesia tidak perlu karena bertentangan dengan Undang-Undang Nomor 18 Tahun 2003 tentang Advokat.

Jika kita telaah secara cermat dan teliti tentang kehadiran Lembaga Badan Nasional Sertifikasi Profesi (BNSP) adalah didirikan berdasarkan amanah yang tertuang dalam Peraturan Pemerintah Nomor 23 Tahun 2004 tentang Badan Nasional Lembaga Profesi, dimana tugas pokok dari BNSP diatur dalam ketentuan Pasal 3 PP No. 23/2004, yaitu => “BNSP mempunyai tugas untuk melaksanakan sertifikasi kompetensi kerja”.

Nah, seandainya “mungkin” dalam hal melaksanakan tugas BNSP sebagaimana tersebut dalam Pasal 3 PP No. 23/2004 tersebut, sontak muncul Surat Keputusan dari Ketua BNSP No. 0562/BNSP/V/2016 tentang Lisensi Kepada Lembaga Sertifikasi Profesi Pengacara Indonesia (LSPPI), yang mana didalam SK Ketua BNSP tersebut menyatakan dengan tegas kata-kata => “memutuskan dan menetapkan LSPPI sebagai Lembaga Sertifikasi Profesi Pihak Ketiga”.

Kalau kita bedah dan cermati Surat Ketua Ketua BNSP yang diterbitkan, secara nyata tidak ada menyertakan atau menyebutkan UU No. 18/2003 tentang Advokat didalam mukadimah pembukaan pada bahagian “mengingat” melainkan hanya mencantumkan UU Nomor 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan. Tentu saja, hal ini menurut kami sangat bertentangan hirarki peraturan perundang-undangan yang berlaku dan mengatur tentang profesi Advokat sebagaimana yang tertuang dan diatur dalam UU No. 18 Tahun 2003.

Dalam ketentuan Pasal 32 Ayat (1) Undang-Undang No. 18/2003 telah sangat jelas diatur dan atau menyatakan bahwa => “Advokat, penasihat hukum, pengacara praktik dan konsultan hukum yang diangkat pada saat undang-undang ini mulai berlaku, dinyatakan sebagai Advokat sebagaimana diatur dalam undang-undang ini”. Dengan lahir dan diberlakukannya UU No. 18/2003 ini, maka secara formil tidak mengenal lagi sebutan pengacara, melainkan adalah advokat sebagaimana diatur dan disebutkan dalam undang-undang.

Jika kita cermati isi Undang-Undang Nomor 18 Tahun 2003 tentang Advokat, khususnya yang mengatur tentang “sertifikasi advokat” telah pula diatur dalam ketentuan Pasal 2 dan Pasal 3 UU No. 18/2003. Jadi menurut kami, tidak ada alasan yang urgent untuk mengeluarkan program sertifikasi bagi “Profesi Advokat Indonesia”, terkecuali ada revisi atau amandemen terhadap UU No. 18 Tahun 2003.

Disamping tidak dicantumkannya UU No. 18 Tahun 2003 dalam mukadimah pembukaan pada bahagian “mengingat” sebagaimana kami uraikan diatas, SK Ketua BNSP juga tidak ada menyertakan atau mencantumkan UU No. 16 Tahun 2011 tentang Bantuan Hukum yang juga merupakan bahagian yang tidak terpisahkan dalam diri profesi advokat itu sendiri.

Timbulnya kebijakan atas program sertifikasi advokat yang sangat kontroversi, apakah merupakan “penggerogotan” atas marwah profesi advokat yang “officium nobile” (profesi terhormat)? Atau saat ini telah banyak muncul kepentingan pribadi diatas kepentingan Organisasi Advokat Indonesia? Mudah-mudahan hal ini menjadi renungan kita bersama para advokat Indonesia, karena kedudukan advokat adalah sebagai penegak hukum yang sejajar dengan para penegakan hukum yang lain, yaitu profesi hakim, profesi jaksa dan profesi polisi. Kalau hal ini tetap dibiarkan, tentu saja marwah advokat yang “officium nobile” akan berada pada titik nadir, ditengah-tengah adanya perpecahan ditubuh organisasi advokat peradi dan sepak terjang para “advokat hitam” yang turut andil menurunkan kredibilitas profesi advokat yang merupakan profesi yang terhormat.

Ayo bangkitlah ORGANISASI ADVOKAT PERADI, jangan terus berkutat dalam tren topik suksesi Ketua dan atau Pengurus Dewan Pimpinan Nasional (DPN PERADI) dan ujian penerimaan advokat baru, segera tuntaskan polemik dan kontroversi tentang kehadiran lembaga sertifikasi profesi advokat/pengacara Indonesia, kami para anggota siap mendukung.

Sekian dan terima kasih.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

No Link Aktif, Harap Maklum BOSS.....