Perselisihan
Hasil Pemilihan Umum (PHPU) tidak asing didengar, dimana proses pemeriksaan
sengketa ini dilakukan pada Mahkamah Konstitusi (MK) di Jakarta. Sengketa PHPU
ini, cenderung sangat ramai disidangkan ketika berlangsung pemilu dan/atau
pilkada yang dilaksanakan daerah provinsi/kabupaten/kota di Indonesia.
Kalau dilihat
dari volume perkara atau sengketa PHPU yang masuk ke MK selama ini dan telah
diperiksa atau diputuskan oleh MK, tentu sedikit banyaknya menciptakan
keinginan para advokat atau pengacara baik yang berasal dari daerah maupun dari
Jakarta untuk turut andil menangani setiap permohonan yang dipersengketakan
dalam PHPU (baik selaku kuasa pemohon, termohon ataupun kuasa hukum pihak
terkait), sehingga memberikan honorarium advokat pilkada yang tidak sedikit bagi para advokat
yang mengkhususkan diri menjadi pengacara pemilukada di Indonesia.
Bila dicermati
dan sependek pengetahuan kami selaku pengacara medan, tata cara dan
prosedur pengajuan permohonan sengketa maupun mekanisme hukum acara yang
diberlakukan pada setiap tahap persidangan PHPU adalah tidak sama dengan hukum
acara yang diberlakukan di pengadilan negeri (peradilan umum). Oleh karenanya,
bagi para advokat atau pengacara yang hendak bersidang di Mahkamah Konstitusi
harus memahami hukum acara persidangan di MK, dimana spesifiknya telah diatur
secara khusus dalam Peraturan Mahkamah Konstitusi (PMK).
Di bawah ini
akan kami rangkum, apa-apa saja yang harus diketahui dan dipersiapkan oleh seorang
advokat atau lawyer yang bertindak selaku kuasa hukum pada persidangan Perselisihan
Hasil Pemilihan Umum (PHPU) di Mahkamah Konstitusi Jakarta, dimana
penjelasannya sebagai berikut:
A. Tentang Isi Permohonan PHPU
Dalam ketentuan Pasal 1 ayat (3) UU MK telah
sangat terang dan jelas disebutkan bahwa => permohonan PHPU adalah
permintaan yang diajukan secara tertulis kepada Mahkamah Konstitusi mengenai
perselisihan tentang hasil pemilihan umum. Lebih lanjut pengaturan mengenai hal
tersebut diatur dalam:
Peraturan Mahkamah Konstitusi (PMK)
Nomor 15 Tahun 2008 tentang Pedoman Beracara Dalam PHPU Kepala Daerah;
PMK Nomor 16 Tahun 2009 tentang Pedoman
Beracara Dalam PHPU Anggota DPR, DPD, dan DPRD;
dan PMK Nomor 17 Tahun 2009 tentang
Pedoman Beracara Dalam PHPU Presiden dan Wakil Presiden;
Berdasarkan PMK diatas, permohonan PHPU
adalah pengajukan keberatan oleh peserta Pemilihan Umum terhadap penetapan
hasil penghitungan suara oleh KPU dalam Pemilu Anggota DPR, DPD, DPRD, Pemilu
Presiden dan Wakil Presiden, serta Pemilu Kepala Daerah.
Lebih lanjut bila dicermati ketentuan
dalam Peraturan Mahkamah Konsitusi (PMK) diatas, setidak-tidaknya dalam
permohonan berperkara di Mahkamah Konstitusi terdapat 3 (tiga) elemen penting
yang wajib terdapat dalam permohonan. Dimana ketiga elemen pokok tersebut
merupakan syarat formil dan materil yang harus dipenuhi sebuah permohonan. Demikian
pula hanya pada perkara sengketa PHPU, permohonan PHPU juga harus mencantumkan 3
(tiga) sebagaimana termaktub dalam Pasal 31 ayat (1) UU MK, yakni:
a. adanya identitas Pemohon dan Termohon
yang dituju;
b. memuat adanya posita/pundamentum
petendi;
c. memuat
adanya Petitum;
Syarat formil tersebut harus juga memuat
identitas para pihak. Apabila terdapat kekeliruan nyata dalam mencantumkan pihak-pihak
yang bersengketa, maka hal ini dapat menyebabkan permohonan PHPU mengalami error
in persona. Timbulnya kekhilafan atas tidak jelasnya identitas para pihak dapat
menyebabkan permohonan tidak dapat diterima (niet ontvankelijk verklaard).
Permohonan Pemohon harus mencantumkan identitas dirinya, yakni nama,
tempat/tanggal lahir, agama, pekerjaan, alamat, nomor telepon/hp, alamat surat
elektronik (email).
Selanjutnya, apabila Pemohon memberikan
kuasa pada seseorang untuk bertindak di dalam dan di luar persidangan atas nama
Pemohon, maka pemberian kuasa tersebut harus dicantumkan dalam permohonan
dengan melampirkan surat kuasa tersebut dalam pendaftaraan permohonan PHPU di
MK. Istimewanya, dalam beracara di MK, kuasa hukum Pemohon tidak harus seorang
advokat atau pengacara. Dengan kata lain, Pemohon dapat saja memberikan kuasa
kepada seseorang yang bukan advokat atau lawyer yang menurut Pemohon mampu
membela kepentingannya dalam sengketa PHPU tersebut.
Ada hal lain yang perlu dicantumkan dalam
setiap permohonan PHPU oleh Pemohon, yaitu tentang penjelasan mengenai
identitas sebagai peserta Pemilu Anggota DPR dan DPRD, calon anggota DPD,
pasangan calon dalam Pemilu Kepala Daerah, atau pasangan calon dalam Pemilu
Presiden dan Wakil Presiden.
Sedangkan syarat materil mengharuskan
permohonan PHPU tersebut mencantumkan 2 (dua) hal yaitu: 1) mengenai pokok
persoalan (posita), dan 2) alasan-alasan keberatan terhadap penetapan
hasil Pemilu atau pilkada bersangkutan dan petitum (tuntutan)
yang diminta untuk diputuskan. Posita
dalam konsep gugatan pada hukum acara Perdata dan hukum acara tata usaha
negara (PTUN) terbagi ke dalam 2 (dua) bagian, yaitu: 1) pengungkapan
kejadian-kejadian empiris, dan 2) ketentuan-ketentuan mengenai hukum dan/atau
teori yang mendukung alasan-alasan permohonan diajukan.
Bila dicermati bentuk isi posita, maka
dalam perkara PHPU isi posita sebagaimana lazimnya dalam tata beracara
perdata dan tata usaha negara, juga menjadi bentuk yang lumrah dalam beracara
di Mahkamah Konstitusi termasuk dalam konteks beracara dalam perkara PHPU.
Hanya saja dalam acara perdata di Indonesia menganut konsep individualisering
theorie, di mana dalam posita dicantumkan hal-hal yang
relevan dengan permohonan. Dalam beracara di Mahkamah Konstitusi dianut konsep substantiering
theorie, di mana di dalam permohonan dikemukakan mengenai kronologis dari
awal hingga akhir terjadinya permasalahan yang dapat memengaruhi dan atau
meyakinkan hakim konstitusi dalam pertimbangan hukumnya.
Konsep substantiering theorie tersebut
diatas juga sering digunakan dalam perkara PHPU. Apabila Pemohon tidak lengkap
dalam mengemukakan runutan peristiwa dalam permohonannya, maka biasanya dalam
sidang panel, hakim panel akan memberikan masukan agar permohonan lebih
menjelaskan hal-hal atau permasalahan yang terjadi. Hal mana adalah didasarkan
pada ketentuan Pasal 75 UU MK. Adapun isi ketentuan Pasal 75 UU MK berbunyi
sebagai berikut => “dalam
permohonan yang diajukan, pemohon wajib menguraikan dengan jelas tentang: a) Kesalahan
hasil penghitungan suara yang diumumkan oleh Komisi Pemilihan Umum dan hasil
penghitungan yang benar menurut Pemohon; dan b) Permintaan untuk membatalkan
hasil penghitungan suara yang diumumkan oleh Komisi Pemilihan Umum dan
menetapkan hasil penghitungan suara yang benar menurut Pemohon.”
Oleh karena adanya ketentuan Pasal 75 UU
MK ditas, maka dalam permohonan harus dijelaskan secara mendetail awal proses
Pemilu hingga hasilnya. Itulah sebabnya dalam permohonan PHPU, Pemohon
menjelaskan kapan dia mendaftar selaku calon, penetapannya, masa kampanye, dan
segala hal yang dianggap terkait serta mampu meyakinkan majelis hakim MK untuk
memutuskan sesuai permohonan Pemohon.
Selanjutnya, dalam permohonan harus pula
dicantumkan mengenai petitum, yaitu berisi hal-hal yang diminta
untuk diputus oleh Mahkamah Konstitusi. Dalam sengketa PHPU petitum juga berisi
permintaan agar Mahkamah memerintahkan Termohon untuk melakukan suatu hal.
Sehingga dapat saja atas dasar permohonan, Mahkamah memerintahkan Termohon (KPU
dan jajarannya di daerah) untuk melaksanakan penghitungan suara ulang atau
bahkan pemungutan suara (Pemilu) ulang.
Adanya permohonan dimaksud, bila
didasarkan pada ketentuan Pasal 6 ayat (2) PMK Nomor 16 Tahun 2009, maka harus
diajukan dalam Bahasa Indonesia dan dibuat 12 (dua belas) rangkap setelah
ditandatangani oleh Pemohon, yaitu Ketua Umum dan Sekretaris Jenderal dari
Dewan Pimpinan Pusat atau nama sejenisnya dari partai politik peserta Pemilu
DPR dan DPRD atau kuasanya, atau partai politik lokal, atau calon anggota DPD
peserta Pemilu, dan atau kuasanya untuk Pemilu DPD, atau pasangan calon untuk
Pemilihan Presiden dan Wakil Presiden dan Pemilukada atau kuasanya.
Disamping itu, setiap posita dalam
permohonan PHPU harus mencantumkan peristiwa (materiele gebeuren) yang melandasi
diajukannya permohonan, kemudian penjelasan tentang kesalahan proses Pemilu
yang seperti apa yang dapat menyebabkan terjadinya kesalahan penghitungan suara
yang berakibat mempengaruhi hasil Pemilu. Termasuk pula yang dipersoalkan
adalah penetapan hasil Pemilu oleh KPU, dan/atau penetapan oleh KPU provinsi,
KPU kabupaten/kota, KIP provinsi, serta KIP kab/ kota.
Permohonan PHPU juga dapat
mempermasalahkan perbuatan melawan hukum (onrechmatige overheidsdaad) atau
PMH KPU sepanjang perbuatan tersebut dianggap Pemohon dapat memengaruhi hasil
penghitungan suara. Tentu saja terrkait dengan permohonan yang demikian, MK
secara tidak langsung dapat memasuki ranah administrasi pembuatan penetapan
oleh KPU tersebut. MK dapat menilai bahwa pejabat penyelenggara Pemilu telah menyalahgunakan
kewenangan (detorunament de pouvoir) yang diberikan UU dalam pelaksanaan
Pemilu. Penyalahgunaan tersebut oleh MK dianggap telah menyebabkan memengaruhi
hasil suara signifikan dalam Pemilu dan merupakan perbuatan yang sewenang-wenang
(abus de droit). MK dapat kemudian membatalkan hasil Pemilu diakibatkan
penyalahgunaan kewenangan tersebut sesuai dengan semangat perlindungan hak konstitusionalitas
penyelenggaraan Pemilu.
Dalam hukum acara perdata dan tata usaha
negara, alasan sebagaimana dikemukakan diatas, biasa disebut dalil-dalil
permohonan atau gugatan. Dalil-dalil tersebut haruslah memuat alasan (feiten)
layak dalam hal menuntut (onderwerp van den eis) yang
menjelaskan tentang terjadinya perselisihan suara yang menyebabkan perubahan
signifikan hasil Pemilu dan perolehan kursi (dalam hal Pemilu legislatif).
Petitum (eis) atau tuntutan harus sejalan dengan posita.
Terkait perkara PHPU, maka petitum berupa permintaan untuk
membatalkan hasil Pemilu dan/atau meminta pelaksanaan penghitungan suara ulang
atau Pemilu ulang. Pemohon juga dapat meminta untuk penetapan jumlah suara yang
sesuai dengan posita permohonan, sehingga dalam hal ini MK juga dapat menentukan
penghitungan suara yang benar (seharusnya) yang diperoleh oleh Pemohon atau
pihak-pihak terkait lainnya.
B. Tentang Para Pihak
- Pihak Pemohon
Terkait dengan para Pemohon dalam
persidangan MK (tidak hanya terbatas pada sengketa PHPU), tidak semua orang
dan/atau kelompok, serta lembaga negara tertentu dapat mengajukan diri selaku
Pemohon. Menurut mantan Hakim MK Maruarar Siahaan bahwa tidak cukup dengan
adanya kepentingan hukum saja seseorang dan/atau kelompok tertentu, serta
lembaga negara dapat menjadi Pemohon. Harus terdapat alasan dalam melakukan
permohonan. Alasan tersebut lazim disebut dengan istilah kedudukan hukum (legal
standing). Selanjutnya Maruarar Siahaan menyebutkan bahwasanya banyak
istilah yang mempunyai makna seragam dengan legal standing,
misalnya, personae standi in judicio, standing to sue, dan
hak atau kedudukan hukum untuk mengajukan gugatan atau permohonan. Hal mana
jelas terlihat pada putusan MK Nomor 029/PHPU.A-II/2004 yang merupakan
putusan PHPU pertama belum dipaparkan mengenai legal standing Pemohon.
Terkait legal standing tersebut MK hanya menyatakan: “Pemohon
telah memiliki kapasitas sebagaimana ditentukan oleh Pasal 74 ayat (1) huruf a
UU MK”. Sehingga pada mulanya dalam putusan PHPU, pemaparan yang jelas tentang legal
standing tidak terdapat di dalam amar putusan.
Adanya keberadaan atas ketentuan Pasal
74 ayat (1) UU MK tersebut membuat terjadinya perkembangan hukum dalam putusan
Mahkamah Konstitusi terkait PHPU, di mana terdapat pertimbangan tersendiri yang
menjelaskan mengenai legal standing Pemohon yakni dengan mengurai legal
standing Pemohon dalam putusannya, maka akan terlihat baik oleh para
pihak dalam perkara alasan yang melatarbelakangi Mahkamah Konstitusi menerima
atau tidak legal standing Pemohon.
Sebenarnya, konsep para pihak dalam
perkara permohonan PHPU menyerupai konsep yang dianut hukum acara perdata dalam
perselisihan keperdataan, yakni terdapat 2 (dua) pihak dalam sengketa
keperdataan sebagaimana diatur dalam ketentuan Pasal 123 Het Herziene
Indonesisch Reglement (HIR), yaitu: pertama, pihak materil adalah
orang yang langsung memiliki hak dan kepentingan. Kedua pihak
formil adalah pihak yang menghadap ke muka pengadilan dikarenakan kepentingan
orang lain. Pihak formil tidak termasuk advokat atau pengacara ataupun kuasa
hukum karena keberadaannya di dalam peradilan terjadi dikarenakan adanya sebuah
perjanjian yang diaplikasikan dalam sebuah surat kuasa khusus. Pihak materiil
dalam hukum acara perdata adalah para Penggugat, Tergugat, dan Turut Tergugat.
Penggugat adalah orang yang merasa bahwa haknya secara nyata-nyata dilanggar,
sedangkan Tergugat adalah orang yang ditarik ke muka pengadilan karena ia
dianggap melanggar hak seseorang atau beberapa orang, sedangkan pihak formil
dapat berupa saksi-saksi yang kehadirannya di muka pengadilan demi kepentingan
pihak-pihak.
Bila dikaitkan konsep para pihak dalam
konsep Hukum Acara Tata Usaha Negara, maka dapat diperhatikan dalam ketentuan
Pasal 53 UU Peradilan Tata Usaha Negara (PTUN). Pasal 53 a quo menyatakan
bahwa hanya seseorang atau badan hukum perdata yang merasa kepentingannya
dirugikan oleh suatu Keputusan Tata Usaha Negara dapat mengajukan gugatan
tertulis kepada Pengadilan Tata Usaha Negara. Sehingga Penggugat adalah orang
yang dirugikan akibat keberadaan putusan tata usaha negara, sedangkan Tergugat
adalah pihak yang mengeluarkan putusan tata usaha negara tersebut.
Memperhatikan penjelasan tentang konsep
pihak-pihak dalam hukum acara perdata dan hukum acara tata usaha negara
tersebut di atas, maka dapat diperbandingkan dengan pihak-pihak dalam hukum
acara perselisihan hasil Pemilu, maka pada dasarnya para pihak yang ada dalam
sengketa PHPU memiliki kesamaan dengan para pihak dalam sengketa keperdataan
dan juga sengketa tata usaha negara. Namun untuk memahami para pihak dalam PHPU
di MK, maka terlebih dahulu akan dibahas mengenai konsep legal standing.
Dalam hal perkara perselisihan hasil Pemilu, Mahkamah Konstitusi menggunakan
dasar hukum pada Pasal 22 E ayat (3) UUD 1945 dan Pasal 7 UU Nomor 10 Tahun 2008
tentang Pemilu Anggota DPR, DPD, dan DPRD, di mana dinyatakan dalam ketentuan
tersebut bahwa peserta Pemilu adalah partai politik. Kemudian Mahkamah
Konstitusi menjelaskan melalui ketentuan Pasal 3 ayat (1) huruf b PMK Nomor 16
Tahun 2009 bahwa yang menjadi pihak dalam perselisihan hasil Pemilu anggota DPR
adalah partai politik peserta Pemilu. Posisi para pihak untuk memperjuangkan
haknya (handelingsbekwaamheid) itu merupakan hal penting dalam
menentukan kedudukan hukumnya. Pihak-pihak yang dianggap tidak memiliki
kepentingan untuk bersengketa (personae miserabiles) dianggap tidak memiliki
kedudukan hukum dalam bersengketa. Lebih lanjut pendapat Maruarar menjelaskan bahwa
dalam konsep peradilan di Amerika terdapat 3 (tiga) syarat yang harus dipenuhi
agar sebuah permohonan memiliki legal standing. Tiga syarat
tersebut adalah: 1) Adanya kerugian yang timbul karena adanya pelanggaran
kepentingan pemohon yang dilindungi secara hukum yang memiliki 2 (dua) sifat,
yaitu; spesifik (khusus) dan aktual dalam menimbulkan kerugian (bukan
potensial); 2) Adanya hubungan sebab akibat atau hubungan kausalitas antara
kerugian dengan berlakunya satu undang-undang (hal ini terkait pengujian
konstitusionalitas undang-undang); 3) Adanya kemungkinan dengan diberikannya
keputusan yang diharapkan, maka kerugian akan dihindarkan atau dipulihkan.
Terkait tentang terdapatnya kepentingan
Pemohon yang dirugikan dalam PHPU, dalam konsep hukum acara tata usaha negara
juga dikenal dengan kepentingan Penggugat yang dirugikan. Sehubungan dengan
kata ”kepentingan yang dirugikan” tersebut, menurut Indroharto menjelaskan bahwa
”kepentingan” adalah => sesuatu yang memiliki nilai, baik material maupun
nonmaterial, yang merupakan milik individu atau organisasi yang harus
dilindungi hukum. Kepentingan tersebut menurut Indroharto harus pula bersifat
personal dan pribadi bagi pemiliknya dan nilainya dapat ditentukan secara
objektif.
- Pihak Pemohon
Perselisihan Hasil Pemilu DPR dan DPRD
Dalam ketentuan Pasal 74 ayat (1) UU MK telah
menjelaskan tentang siapa saja yang dapat menjadi Pemohon dalam perkara PHPU
DPR, DPD, dan DPRD. Dalam hal Pemilu DPR dan DPRD para Pemohon adalah partai
politik peserta pemilihan umum, sebagaimana diatur dalam Pasal 74 ayat (1)
huruf c UU MK. Permohonan yang diajukan didasari atas ketentuan Pasal 6 ayat
(2) PMK Nomor 16 Tahun 2009 tentang Pedoman Beracara Dalam Perselisihan Hasil
Pemilihan Umum Anggota Dewan Perwakilan Rakyat, Dewan Perwakilan Daerah, dan
Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (PHPU Legislatif), yang berbunyi sebagai
berikut: “Permohonan diajukan secara
tertulis dalam bahasa Indonesia oleh Pemohon atau kuasanya kepada Mahkamah
dalam 12 (dua belas) rangkap setelah ditandatangani oleh: 1) Ketua Umum dan
Sekretaris Jenderal dari dewan pimpinan pusat atau nama yang sejenisnya dari
partai politik peserta Pemilu atau kuasanya; 2) Ketua Umum dan Sekretaris
Jenderal dari dewan pimpinan atau nama yang sejenisnya dari partai politik
lokal atau kuasanya;
Dari ketentuan diatas, jelas bahwasanya para
Pemohon yang merupakan anggota partai politik atau pengurus daerah dari partai
politik tertentu tidak dapat secara langsung mengajukan permohonan tanpa
melalui pimpinan pusat partainya. Apabila hal tersebut tidak dipenuhi
maka legal standing Pemohon akan dipertanyakan dan MK dapat
memutuskan permohonan tidak dapat diterima, sebagaimana ditentukan oleh Pasal
77 ayat (1) UU MK.
Meskipun mengenai ketentuan permohonan
ditandatangani oleh pimpinan pusat partai politik tersebut tidak terdapat dalam
ketentuan Pasal 74 juncto Pasal 77 ayat (1) UU MK yang terkait
dengan sebab tidak diterimanya permohonan, namun ketentuan Pasal 6 ayat (2) PMK
Nomor 16 Tahun 2009 harus dianggap satu bagian tidak terpisah dari ketentuan
UU a quo. Sehingga apabila ketentuan yang diatur Pasal 6 ayat (2)
PMK Nomor 16 Tahun 2009 dalam hal tidak terdapat tanda tangan pimpinan partai
politik bersangkutan, maka MK akan memutuskan permohonan Pemohon tidak dapat
diterima.
Persyaratan yang tidak diatur dalam UU
MK tersebut perlu secara teknis diatur MK dikarenakan apabila seluruh anggota
partai dan/atau pimpinan partai politik di daerah diperbolehkan untuk
mendaftarkan permohonan, maka akan terjadi kerumitan perkara di MK. Bayangkan
apabila 3 orang anggota partai politik yang sama namun berbeda pendapat dalam
hal melihat hasil Pemilu, maka di MK terkesan akan menyelesaikan sengketa
internal partai politik dalam hasil Pemilu, sehingga terjadi penumpukan perkara
yang tidak perlu dibatasi dengan ketentuan Pasal 6 ayat (2) PMK Nomor 16 Tahun
2009. Namun apabila terdapat sesama anggota partai politik tertentu yang juga
mempertanyakan hasil Pemilu yang diperoleh rekan partainya, maka ia dapat masuk
sebagai Pihak Terkait sebagaimana diatur dalam Pasal 1 angka 16 PMK Nomor 16
Tahun 2009.
- Pihak Pemohon Perselisihan Hasil Pemilukada
Dalam Peraturan Mahkamah Konstitusi
Nomor 15 Tahun 2008 tentang Pedoman Beracara Dalam Perselisihan Hasil Pemilihan
Kepala Daerah (PMK 15/2008) merupakan regulasi yang mengatur tentang sengketa
hasil pemilihan kepala daerah (Pemilukada). Pasal 1 angka 9 PMK 15/2008
menyebutkan bahwa Pemohon adalah pasangan calon Kepala Daerah dan Wakil Kepala
Daerah peserta Pemilukada.
Selanjutnya dalam ketentuan Pasal 3
mengatur mengenai para pihak yang memiliki kepentingan langsung dalam hasil
perselisihan hasil Pemilukada. Salah satu yang memiliki kepentingan langsung
tersebut adalah para pihak yang mencalonkan diri sebagai pasangan calon
(paslon) dalam Pemilukada. Terkait dengan keberadaan Pemohon, hal itu diatur
dalam ketentuan Pasal 3 ayat (1) huruf a yang menyebutkan => bahwa pasangan
calon sebagai Pemohon. Pemohon dapat diwakilkan dan/atau didampingi oleh kuasa
hukumnya yang dibuktikan dengan surat kuasa khusus dari Pemohon.
- Pihak Termohon
dan Turut Termohon
Termohon Pada Perselisihan
Hasil Pemilukada
Perselisihan hasil Pemilukada yang
berlangsung di daerah menjadikan pihak-pihak yang bersengketa pada dasarnya
juga berada pada ranah lokal. Termasuk pula pihak Termohon. Pasal 1 angka
10 juncto Pasal 3 ayat (1) huruf a PMK 15/2008 menjelaskan
bahwa Termohon adalah KPU/KIP provinsi atau KPU/KIP kabupaten/kota sebagai
penyelenggara Pemilukada.
- Pihak Terkait
Pihak terkait yang dimaksudkan dalam
PHPU adalah orang yang berpendapat bahwa kepentingannya terkait dengan
permohonan Pemohon. Dalam hukum acara perdata dikenal istilah pihak ketiga yang
keikutsertaannya dalam persidangan disebut dengan intervensi. Apabila
keikutsertaan pihak ketiga tersebut menguatkan posisi pihak Penggugat (eiser, plaintiff)
atau Tergugat (gedaagde, defendant), maka intervensi itu
disebut voeging. Namun apabila pihak ketiga “hadir” dalam
persidangan dikarenakan untuk memperjuangkan kepentingannya sendiri, intervensi
itu disebut tussenkomst.
Adanya konsep yang sama juga diterapkan
dalam peradilan tata usaha negara, dimana pihak ketiga yang melakukan
intervensi dapat pula membela dirinya sendiri atau bergabung kepada salah satu
pihak yang bersengketa. Hakim dalam perkara sengketa tata usaha negara dapat
mengambil inisiatif untuk intervensi agar pihak ketiga turut dilibatkan dalam
persidangan.
Keterlibatan pihak lain dalam PHPU juga
terjadi, di mana Panitera atas perintah hakim akan memberitahukan pihak-pihak
yang akan terkait dengan perkara, sehingga pihak-pihak tersebut dapat
mempersiapkan diri untuk terlibat dalam sengketa. Hal itu juga dikenal dalam
acara perdata, dimana di dalam Reglement Rechtsvordering diatur
mengenai pemanggilan pihak ketiga dalam suatu proses untuk menanggung (vrijwaren)
apa yang digugat oleh Penggugat. Sehingga dalam perkara PHPU di MK, adanya pemanggilan
Pihak Terkait juga difungsikan agar pihak tersebut siap untuk menanggung
konsekuensi dari Putusan Mahkamah terhadap permohonan Pemohon yang dapat saja
merugikan hak Pihak Terkait.
Secara prinsip, ada 2 (dua) jenis
kepentingan hukum kehadiran pihak ketiga dalam hukum acara perdata dan hukum
acara tata usaha negara tersebut sesungguhnya juga sama dengan keikutsertaan
Pihak Terkait dalam perkara PHPU. Pihak Terkait dalam PHPU dapat terlibat dalam
sengketa dikarenakan untuk menguatkan permohonan Pemohon atau juga untuk menguatkan
putusan KPU, KPU provinsi, KPU kabupaten/Kota, KIP provinsi, KIP kabupaten/Kota.
Namun tidak tertutup kemungkinan dapat pula keterlibatan Pihak Terkait dalam
sengketa hanya untuk memperjuangkan kepentingannya sendiri.
- Pihak Terkait Perselisihan Hasil Pemilukada
Berdasarkan pada ketentuan Pasal 3 ayat
(2) PMK 15/2008, yang berhak menjadi Pihak Terkait adalah pasangan calon selain
Pemohon dapat menjadi pihak terkait. Sebagaimana juga dengan Pemohon, maka bila
mereka diwakilkan atau menguasakan diri atas penanganan kasusnya, maka wajib melampirkan
surat kuasa khusus.
B. Objek Permohonan (objectum
litis)
- Objek
Permohonan Perselisihan Hasil Pemilukada
Berdasarkan atas ketentuan Pasal 4 PMK
15/2008, objek permohonan dalam perkara Pemilukada adalah hasil penghitungan
suara yang ditetapkan oleh Termohon, yaitu KPU/KIP Provinsi atau KPU/KIP
kabupaten/kota sebagai penyelenggara Pemilukada. Hasil penghitungan suara yang
menjadi objek perselisihan tersebut berdasarkan ketentuan Pasal 4 PMK 15/2008
disebutkan, yang mempengaruhi: 1) penentuan Pasangan Calon yang dapat mengikuti
putaran kedua Pemilukada; atau 2) terpilihnya Pasangan Calon sebagai kepala
daerah dan wakil kepala daerah.
C. Pembuktian dan Alat Bukti
Dalam perkara PHPU, alat bukti sangat
penting dalam memberikan keyakinan bagi hakim mahkamah konstitusi untuk
menentukan putusan akhirnya. Berdasarkan ketentuan Pasal 10 PMK 16/2009 alat
bukti dalam perselisihan hasil Pemilu terdiri dari: a) surat atau tulisan; b) keterangan
saksi; c) keterangan ahli; d) keterangan para pihak; e) petunjuk; dan f) informasi
elektronik dan/atau dokumen elektronik.
Alat bukti surat atau tulisan
berdasarkan ketentuan Pasal 11 PMK 16/2009 adalah yang memiliki keterkaitan
langsung dengan objek perselisihan hasil Pemilu yang dimohonkan ke MK. Alat
bukti surat atau tulisan dimaksud terdiri dari: a) berita acara dan salinan
pengumuman hasil pemungutan suara partai politik peserta Pemilu dan calon
anggota DPR, DPD, dan DPRD di Tempat Pemungutan Suara (TPS); b) berita acara
dan salinan rekapitulasi jumlah suara partai politik peserta Pemilu dan calon
anggota DPR, DPD, dan DPRD dari Panitia Pemilihan Kecamatan (PPK); c) berita
acara dan salinan rekapitulasi hasil penghitungan suara partai politik peserta
Pemilu dan calon anggota DPR, DPD, dan DPRD dari KPU kabupaten/kota; d) berita
acara dan salinan penetapan hasil penghitungan suara anggota DPRD
kabupaten/kota; e) berita acara dan salinan rekapitulasi hasil penghitungan
suara dari KPU provinsi; f) berita acara dan salinan penetapan hasil
penghitungan suara anggota DPRD provinsi; g) berita acara dan salinan rekapitulasi
hasil penghitungan suara dari KPU; h) berita acara dan salinan penentapan hasil
penghitungan suara secara nasional anggota DPR, DPD, dan DPRD dari KPU; i) salinan
putusan pengadilan yang telah memperoleh kekuataan hukum tetap yang
mempengaruhi perolehan suara partai politik peserta Pemilu dan calon anggota
DPR, DPD, DPRD provinsi, dan DPRD kabupaten/ kota; dan j) dokument tertulis
lainnya.
Bukti surat atau tulisan tersebut diatas
harus diajukan sebanyak 12 (dua belas) rangkap yang aslinya dibubuhi materai
secukupnya sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku.
D. Tenggang Waktu Pengajuan
Permohonan dan Tenggang Waktu Putusan
Mengenai tenggang waktu (daluarsa) pengajuan
permohonan diatur pula dalam hukum acara peradilan tata usaha. Daluarsa tersebut
adalah batasan waktu dalam mengajukan permohonan. Ketentuan mengajukan
permohonan dalam perkara PHPU juga dibatasi, baik dalam PHPU legislatif, PHPU
Presiden maupun PHPU Kepala Daerah.
- Tenggang Waktu PHPU Kepala Daerah
Berdasarkan
ketentuan Pasal 5 ayat (1) PMK 5/2008, Permohonan pembatalan penetapan hasil
penghitungan suara Pemilukada harus diajukan ke Mahkamah Konstitusi paling
lambat 3 (tiga) hari kerja setelah KPU/KIP provinsi atau KPU/KIP kabupaten/kota
menetapkan hasil penghitungan suara Pemilukada di daerah bersangkutan.
Permohonan yang melewati batas waktu
tersebut tidak dapat diregistrasi dalam Buku Registrasi Perkara Konstitusi di
Mahkamah Konstitusi (vide ketentuan Pasal 5 ayat (2) PMK 5/2008). Apabila
permohonan sesuai tenggang waktu yang ditentukan, maka setelah teregistrasi dan
mengikuti proses persidangan, Mahkamah wajib memutus perkara tersebut paling
lambat 14 (empat belas) hari sejak permohonan terdaftar dalam Buku Registrasi
Perkara Konstitusi (vide ketentuan Pasal 13 ayat (1) PMK 5 Tahun 2008).
E. Proses Persidangan dan Pembuktian
Tahapan atau jadwal persidangan di
Mahkamah Konstitusi baru akan dimulai setelah permohonan Pemohon diterima di
Kepaniteraan Mahkamah Konstitusi, yang dibuktikan dengan diterbitkannya Akta
Penerimaan Berkas Permohonan (APBP), dan telah diregistrasi yang dibuktikan
dengan diterbitkannya Akta Registrasi Perkara.
Berdasarkan ketentuan Pasal 74 ayat (3)
UU MK, permohonan perselisihan hasil pemilihan umum hanya dapat diajukan dalam
jangka waktu paling lambat 3 x 24 (tiga kali dua puluh empat) jam sejak Komisi
Pemilihan Umum mengumumkan penetapan hasil pemilihan umum secara nasional.
Ketentuan ini diatur lebih lanjut dalam Pasal 5 ayat (1) PMK No. 16 Tahun 2009
tentang Pedoman Beracara dalam Perselisihan Hasil Pemilihan Umum Anggota Dewan
Perwakilan Rakyat, Dewan Perwakilan Daerah, dan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah
(PMK 16/2009) dan Pasal 5 ayat (1) PMK No. 17 Tahun 2009 tentang Pedoman
Beracara dalam Perselisihan Hasil Pemilihan Umum Presiden dan Wakil Presiden
(PMK 17/2009). Sedangkan untuk PHPU Kepala Daerah diatur lebih lanjut dalam
Pasal 5 ayat (1) PMK No. 15 Tahun 2008 tentang Pedoman Beracara dalam
Perselisihan Hasil Pemilihan Umum Kepala Daerah (PMK 15/2008), yaitu permohonan
diajukan ke Mahkamah Konstitusi paling lambat 3 (tiga) hari kerja setelah
KPU/KIP provinsi atau KPU/KIP kabupaten/kota menetapkan hasil penghitungan
suara Pemilukada di daerah yang bersangkutan. Apabila permohonan diajukan
melampaui tenggang waktu sebagaimana ditentukan ketentuan di atas, Panitera
Mahkamah Kontitusi akan menerbitkan Akta Tidak Diregistrasi.
Seandainya permohonan Pemohon dianggap
telah lengkap dan memenuhi persyaratan, maka Panitera Mahkamah Konstitusi akan
menerbitkan Akta Registrasi Perkara dan mencatatnya dalam Buku Registrasi
Perkara Konstitusi (BRPK), namun apabila permohonan Pemohon tidak lengkap dan
tidak memenuhi persyaratan, berdasarkan Pasal 7 ayat (2) PMK 16/2009 dan Pasal
6 ayat (3) PMK 17/2009, maka Pemohon diberikan kesempatan memperbaikinya dalam
tenggat waktu 1 x 24 (satu kali dua puluh empat) jam setelah tenggat waktu pengajuan
permohonan, sedangkan untuk PHPU Kepala Daerah, berdasarkan Pasal 7 ayat (3)
PMK 15/2008, Pemohon dapat melakukan perbaikan sepanjang masih dalam tenggat
mengajukan permohonan.
Adapun kelengkapan dan persyaratan yang
harus dipenuhi oleh pihak Pemohon dalam permohonan sengketanya adalah => Permohonan
diajukan secara tertulis dalam Bahasa Indonesia sebanyak 12 (dua belas) rangkap
yang ditandatangani oleh Pemohon atau kuasa hukumnya yang mendapatkan surat
kuasa khusus dari Pemohon (vide ketentuan Pasal 6 ayat (1) PMK 15/2008, Pasal 6
ayat (2) PMK 16/2009, dan Pasal 5 ayat (2) PMK 17/2009), dimana isi Permohonan
sekurang-kurangnya harus memuat: a. identitas Pemohon yang dilengkapi fotokopi
KTP dan bukti sebagai peserta pemilu; b. Uraian yang jelas mengenai kesalahan
hasil penghitungan suara yang ditetapkan oleh KPU/KIP dan hasil penghitungan
yang benar menurut Pemohon (posita); dan c. permintaan untuk membatalkan
hasil penghitungan suara yang ditetapkan oleh KPU/KIP dan menetapkan hasil
penghitungan suara yang benar menurut Pemohon (petitum) (baca ketentuan Pasal
6 ayat (2) PMK 15/2008, Pasal 6 ayat (4) PMK 16/2009, dan Pasal 5 ayat (3) PMK
17/2009]; permohonan yang diajukan disertai dengan bukti-bukti yang mendukung
[Pasal 6 ayat (3) PMK 15/2008, Pasal 6 ayat (5) PMK 16/2009, dan Pasal 5 ayat
(4) PMK 17/2009).
Setelah lengkap isi permohonan, Panitera
Mahkamah Konstitusi akan mengirimkan salinan permohonan yang sudah dicatat
dalam BRPK kepada KPU dalam jangka waktu paling lambat 3 (tiga) hari kerja
sejak permohonan dicatat dalam BRPK disertai dengan adanya permintaan jawaban
tertulis KPU dan bukti-bukti hasil penghitungan suara yang diperselisihkan
untuk PHPU Legislatif (vide ketentuan Pasal 7 ayat (3) PMK 16/2009) dan PHPU
Kepala Daerah [vide ketentuan Pasal 7 ayat (5) PMK 15/2008). Sedangkan untuk
PHPU Presiden, Panitera MK akan mengirimkan salinan permohonan yang sudah
diregistrasi kepada KPU dalam jangka waktu paling lambat 1 (satu) hari kerja
sejak permohonan dicatat dalam BRPK disertai permintaan jawaban tertulis KPU
dan bukti-bukti hasil penghitungan suara yang diperselisihkan (vide ketentuan Pasal
6 ayat (4) PMK 17/2009).
Selanjutnya, penentuan hari sidang
pertama dan pemberitahuan kepada pihak-pihak dilakukan paling lambat 3 (tiga)
hari kerja sejak registrasi untuk PHPU Kepala Daerah (vide ketentuan Pasal 7
ayat (5) PMK 15/2008), dan untuk PHPU Legislatif, Mahkamah menentukan hari
sidang pertama dalam jangka waktu 7 (tujuh) hari kerja sejak permohonan dicatat
dalam BRPK dan penetapan hari sidang pertama diberitahukan kepada Pemohon dan
KPU paling lambat 3 (tiga) hari sebelum hari persidangan (vide Pasal 7 ayat (5)
dan ayat (6) PMK 16/2009), sedangkan untuk PHPU Presiden, hari sidang pertama
diselenggarakan setelah 3 (tiga) hari terhitung sejak permohonan diregistrasi
dan pemberitahuan hari sidang pertama kepada Pemohon dan KPU paling lambat 1 x
24 (satu kali dua puluh empat) jam sebelum persidangan (vide ketentuan Pasal 6
ayat (5) dan ayat (6) PMK 17/2009).
Bahwa persidangan di MK terbuka untuk
umum, kecuali rapat permusyawaratan hakim. Persidangan MK selalu diawali dengan
pemeriksaan pendahuluan yang lazim disebut dengan sidang panel. Pasal 28 ayat
(4) UU MK memperbolehkan Mahkamah Konstitusi untuk membentuk hakim panel yang
terdiri sekurang-kurangnya 3 (tiga) orang hakim konstitusi. Adanya pembentukan
panel hakim ini bukanlah sebuah keharusan karena ketentuan Pasal 28 ayat (4)
tersebut hanya menyatakan bahwa Mahkamah “dapat membentuk panel hakim” sebelum
dilaksanakan Pleno. Apabila Mahkamah berpendapat untuk membentuk panel hakim
lebih dari tiga, maka hal itu dapat saja terjadi. Proses pemeriksaan pendahuluan
dilakukan dalam sidang terbuka untuk umum oleh Panel Hakim sekurang-kurangnya
dihadiri oleh tiga orang Hakim Konstitusi atau Pleno Hakim. Dalam pemeriksaan pendahuluan,
Panel Hakim atau Pleno Hakim memeriksa kelengkapan dan kejelasan materi
permohonan dan wajib memberi pendapat atau nasihat kepada Pemohon untuk
melengkapi dan/atau memperbaiki permohonan apabila terdapat kekurangan.
Perbaikan permohonan dapat dilakukan oleh Pemohon dalam jangka waktu paling
lambat 1 x 24 (satu kali dua puluh empat) jam untuk PHPU Legislatif (vide Pasal
8 ayat (3) PMK 16/2009) dan dalam persidangan hari pertama, baik atas kemauan
sendiri maupun atas nasihat hakim untuk PHPU Presiden (vide ketentuan Pasal 7
ayat (3) PMK 17/2009).
Dalam persidangan MK, setelah melakukan
sidang “perbaikan permohonan” yang mendengarkan masukan atau nasihat hakim, kembali
dilakukan persidangan panel yang terkait dengan permohonan tersebut. Sidang
panel lanjutan tersebut akan memperdengarkan apakah Pemohon telah menerima
nasihat dari Mahkamah pada sidang sebelumnya atau tetap bertahan dengan
permohonan awalnya. Keberadaan sidang panel lanjutan tersebut tidak diatur
dalam peraturan perundang-undangan manapun, sehingga dinamika proses
persidangan tersebut hanya merupakan kebiasaan (convention) yang
dilakukan Mahkamah Konstitusi. Pada sidang panel ini, Mahkamah juga mempertanyakan
daftar alat bukti yang turut dilampirkan Pemohon untuk kemudian disahkan
sebagai alat bukti. Terkait alat bukti, Pemohon dapat pula melakukan penambahan
alat bukti dalam persidangan pleno. Mengenai penambahan tersebut, biasanya
Mahkamah Konstitusi akan menanyakan mengenai kemungkinan penambahan alat bukti
tersebut.
Pada proses persidangan selanjutnya,
Hakim Mahkamah Konstitusi memperdengarkan permohonan Pemohon yang dibacakan
atau dapat pula Pemohon hanya menyampaikan hal-hal pokok (yakni berupa identitas, posita,
dan petitum) dari permohonannya di depan persidangan. Setelah
penyampaian tersebut, Mahkamah Konstitusi akan memberikan kesempatan kepada
Termohon untuk menyampaikan tanggapannya terhadap permohonan Pemohon. Apabila
Termohon meminta waktu untuk menjawab permohonan Pemohon dalam persidangan
berikutnya, maka Mahkamah Konstitusi akan menentukan jadwal sidang berikutnya.
Pada dasarnya proses pemeriksaan
persidangan dilakukan dengan tahapan sebagai berikut: 1) Mendengarkan
Permohonan; 2) Jawaban Termohon; 3) Keterangan Pihak Terkait; 4) Pembuktian
oleh Pemohon, Termohon, Pihak Terkait; dan 5) Masing-masing pihak di dalam
persidangan diminta untuk menghadirkan bukti-bukti terkait dengan perkara.
Dalam proses persidangan, Mahkamah
Konstitusi biasanya akan lebih mempertimbangkan pihak-pihak yang mampu
menghadirkan alat bukti yang sah dan meyakinkan. Dalam hal pada sengketa PHPU,
alat bukti sahih tersebut adalah berupa kertas penghitungan hasil suara, baik
berupa versi penyelenggara Pemilu, pengawas Pemilu, dan saksi-saksi. Apabila
masing-masing kertas penghitungan tersebut dapat dibuktikan keasliannya oleh
para pihak, maka Mahkamah Konstitusi akan mempertimbangkan fakta-fakta yang
terungkap di depan persidangan sebagai bahan dasar dalam merumuskan putusan.
Persidangan juga memberikan kesempatan
bagi semua pihak dan saksi-saksi untuk menyampaikan hal-hal terkait dengan pokok
sengketa atau perkara. Misalnya, para Pemohon, Termohon, dan Pihak Terkait juga
diperbolehkan untuk menghadirkan saksi ahli yang menguatkan permohonannya.
Apabila dianggap perlu oleh Mahkamah Konstitusi, maka Mahkamah dapat pula
menghadirkan ahli yang dianggap mampu memberikan keterangan terkait perkara
yang sedang dipersengketakan.
Jika Mahkamah Konstitusi menganggap
bahwa persidangan telah cukup untuk memberikan putusan, maka Mahkamah akan
menentukan jadwal pembacaan putusan. Setelah sidang pembacaan putusan, para
pihak akan mendapatkan copy putusan atau salinan putusan yang
diserahkan langsung oleh Panitera Mahkamah Konstitusi.
E. Putusan Mahkamah
Untuk menentukan sebuah putusan,
Mahkamah Konstitusi terlebih dahulu melakukan Rapat Permusyawaratan Hakim
(RPH). Rapat permusyawaratan tersebut dilakukan setelah pemeriksaan persidangan
dianggap cukup. RPH harus dihadiri oleh sekurang-kurangnya 7 (tujuh) hakim
konstitusi yang terlebih dahulu mendengarkan hasil rapat panel hakim. Putusan
yang diambil melalui RPH tersebut dilakukan secara musyawarah mufakat dengan
terlebih dahulu mendengarkan pendapat hukum para hakim konstitusi.
Apabila dalam musyawarah mufakat
tersebut tidak dapat diperoleh kesepakatan umum, maka akan dilakukan
pengambilan keputusan melalui suara terbanyak (voting). Namun apabila di
dalam voting tersebut tetap tidak diperoleh suara terbanyak,
suara terakhir Ketua Rapat Pleno Hakim Konstitusi menentukan putusan yang
dijatuhkan.
Putusan terkait perselisihan hasil
Pemilu tersebut kemudian akan dibacakan dalam rapat yang terbuka untuk umum
yang amarnya berdasarkan ketentuan Pasal 13 PMK Nomor 15 Tahun 2008 juncto Pasal
15 PMK Nomor 16 Tahun 2009 juncto Pasal 15 PMK Nomor 17 Tahun 2009,
dimana putusan tersebut dapat berupa: 1) Permohonan tidak dapat diterima (niet
otvankelijk verklaard) apabila pemohon dan atau permohonan tidak memenuhi
syarat; 2) Permohonan dikabulkan apabila permohonan terbukti beralasan dan
selanjutnya Mahkamah membatalkan (void an initio) hasil penghitungan
suara oleh KPU, serta menetapkan hasil penghitungan suara yang benar; 3) Permohonan
ditolak apabila permohonan terbukti tidak beralasan.
Namun apabila Pemohon dalam proses
persidangan, kemudian menarik permohonannya (vide ketentuan Pasal 35 UU MK),
maka Mahkamah akan mengeluarkan penetapan. Penetapan oleh peradilan adalah
tindakan Mahkamah yang diluar putusan, sebagaimana juga penetapan hari sidang dan
lain-lain di luar vonis (putusan). Penarikan permohonan oleh
Pemohon berakibat permohonan yang sama tidak dapat diajukan kembali (vide
ketentuan Pasal 35 ayat (2) UU MK).
Mengenai hakekat Putusan MK adalah bersifat
final dan mengikat, bahkan terhadap perkara PHPU juga tidak dikenal upaya lain
untuk membatalkan putusan MK tersebut. Dalam berperkara di MK juga tidak
dikenal dengan upaya perlawanan (verzet) terhadap ketetapan yang
diterbitkan oleh MK, baik terhadap ketetapan hari sidang, ketetapan penarikan
kembali permohonan, ketetapan Mahkamah tidak berwenang, dan lain-lainnya yang
diterbitkan Mahkamah terkait dengan perkara PHPU.
Dalam perkembangannya, bentuk-bentuk
putusan Mahkamah Konstitusi terkait perselisihan hasil Pemilu berdasarkan
ketentuan UU MK dan PMK, maka putusan MK tidak mengenal jenis putusan yang
bunyi amarnya menyatakan: “mengabulkan permohonan Pemohon untuk sebagian”,
serta terdapat pula Putusan Sela, yang terkait dengan adanya eksepsi permohonan
Pemohon yang meminta hakim menjatuhkan Putusan Sela apabila kerugian
konstitusional terjadi. Namun Hakim dapat saja menganggap bahwa alasan
permohonan Pemohon agar hakim menjatuhkan Putusan Sela dinyatakan tidak
beralasan hukum sehingga dapat saja ditolak oleh hakim.
Landasan adanya putusan sela diatur
dalam Pasal 8 ayat (4) PMK 5/2008, Pasal 1 angka 19 dan Pasal 9 ayat (5) PMK
16/2009 serta Pasal 1 angka 9 dan PMK 17/2009. Berdasarkan Putusan Sela
tersebut, maka Hakim Mahkamah Konstitusi akan menjatuhkan putusan akhir apabila
persidangan telah dianggap selesai. Putusan akhir tersebut dianggap merupakan
bagian tidak terpisah dari Putusan Sela, sehingga tenggang waktu dalam
memutuskan sengketa PHPU tidak terlampaui. Perkembangan lain terkait putusan
dalam perkara PHPU adalah pemungutan suara (Pemilu) ulang dan penghitungan
suara ulang. Putusan ini pertama kali dijatuhkan dalam perkara Pemilukada Jawa
Timur. Putusan Nomor 41/PHPU.D-VI/2008 memerintahkan Termohon (KPU
Provinsi Jatim) untuk melakukan pemungutan suara ulang di Kabupaten Bangkalan
dan Kabupaten Sampang dalam waktu 60 (enam puluh) hari sejak putusan diucapkan
dalam persidangan. Putusan tersebut juga memerintahkan Termohon untuk melakukan
penghitungan suara ulang di Kabupaten Pamengkasan dalam waktu 30 (tiga puluh)
hari sejak putusan diucapkan dalam persidangan. Sejak itu putusan-putusan
terkait PHPU banyak yang memerintahkan Termohon untuk melakukan Pemilu ulang
ataupun penghitungan suara ulang. Terkait dengan putusan tersebut Mahkamah
dalam konsiderannya berpendapat bahwa: “Dalam mengadili perkara ini,
Mahkamah tidak dapat dipasung hanya oleh ketentuan undang-undang yang
ditafsirkan secara sempit, yakni bahwa Mahkamah hanya boleh menilai hasil
Pemilukada dan melakukan penghitungan suara ulang dari berita acara atau
rekapitulasi yang dibuat secara resmi oleh KPU Provinsi Jawa Timur, sebab kalau
hanya berpedoman pada hasil penghitungan suara formal yang dibuat oleh Termohon
tidak mewujudkan kebenaran materiil sehingga akan sulit ditemukan keadilan.”
Dalam prakteknya banyak putusan MK yang
mencoba keluar dari penafsiran UU secara sempit. Konsep putusan tersebut
dikenal dengan putusan yang mengedepankan konsep keadilan substantif. Putusan
lain, perkara Nomor 47-81/PHPU.A/VII/2009, Mahkamah bahkan memperbolehkan
Pemilu perwakilan di Yahukimo, Papua, dimana pencontrengan kertas suara
diwakilkan kepada para kepala suku-kepala suku. Mahkamah memutuskan juga bahwa
kotak suara digantikan dengan Noken, tas masyarakat adat Papua. Sebagaimana
pengujian undang-undang, kewenangan PHPU juga mengedepankan perlindungan hak konstitusionalitas,
di mana penyelenggaraan asas-asas Pemilu dianggap nilai konstitusi yang patut
dilindungi. Hal itu menyebabkan putusan MK dalam perkara PHPU juga akan
mengalami perkembangan karena nilai-nilai konstitusionalitas Pemilu juga
mengalami perkembangan dari waktu ke waktu. Teori yang mendukung paham itu
dikenal dengan the living constitution.
Putusan MK dalam perkara PHPU,
sebagaimana juga dengan putusan peradilan perdata, dapat berbentuk declaratoir dan constitutief.
Putusan yang berbentuk declaratoir tersebut memberikan
kewajiban hukum kepada pihak-pihak. MK dalam perkara PHPU dapat pula memutuskan
agar Termohon (KPU) untuk menyelenggarakan penghitungan suara ulang dan/atau
pemungutan suara (Pemilu) ulang. Dalam hal tertentu putusan MK dapat berbentuk
pula putusan constitutief, di mana putusan MK dapat membentuk
keadaan hukum baru. Putusan PHPU pada umumnya menentukan hasil penghitungan
suara menurut fakta-fakta yang ditemukan MK dalam persidangan. Sehingga ketika
MK menentukan perubahan hasil penghitungan suara sesuai dengan penghitungan MK,
maka putusan tersebut telah membentuk keadaan hukum baru. Ketetapan KPU yang
menetukan hasil suara yang berhak memperoleh kursi telah diubah oleh putusan
MK.
Adapun asas-asas hukum acara Mahkamah
Konstitusi yang dijadikan dasar hukum dan pedoman dalam beracara antara lain:
1) Persidangan Terbuka untuk Umum =>
dalam Pasal 9 Undang-Undang Nomor 4 Tahun 2004 tentang Kekuasaan Kehakiman
menyatakan bahwa sidang pengadilan adalah terbuka untuk umum kecuali
undang-undang menentukan lain. Hal ini berlaku secara universal dan berlaku di
semua lingkungan peradilan. Dalam Pasal 40 ayat (1) Undang-Undang Nomor 24
Tahun 2003 tentang Mahkamah Konstitusi (UUMK) menentukan secara khusus bahwa
sidang Mahkamah Konstitusi terbuka untuk umum, kecuali Rapat Permusyawaratan
Hakim (RPH). Keterbukaan sidang ini merupakan salah satu bentuk social
control dan juga bentuk akuntabilitas Hakim. Transparansi dan akses
publik secara luas yang dilakukan MK dengan membuka, bukan hanya sidang tetapi
juga proses persidangan yang dapat dilihat atau dibaca melalui transkripsi,
berita acara dan putusan yang dipublikasikan lewat dunia maya. Tersedianya
salinan putusan dalam bentuk hard copy yang dapat diperoleh
pihak Pemohon dan Termohon setelah sidang pembacaan putusan yang dilakukan
dalam sidang yang terbuka untuk umum merupakan interpretasi MK terhadap
keterbukaan dan asas sidang terbuka untuk umum tersebut serta sebagai
pelaksanaan Pasal 14 UU MK.
2) Independen dan Imparsial => dalam
ketentuan Pasal 2 UUMK menyatakan bahwa MK merupakan salah satu lembaga negara
yang melakukan kekuasaan kehakiman yang merdeka untuk menyelenggarakan
peradilan guna menegakkan hukum dan keadilan. Pada Pasal 33 UU Kekuasaan
Kehakiman, menyatakan bahwa dalam menjalankan tugas dan fungsinya, Hakim wajib
menjaga kemandirian peradilan. Independensi atau kemandirian tersebut sangat
berkaitan erat dengan sikap imparsial atau tidak memihak hakim baik dalam
pemeriksaan maupun dalam pengambilan keputusan.Independensi hakim merupakan
jaminan bagi tegaknya hukum dan keadilan, dan prasyarat bagi terwujudnya
cita-cita negara hukum. Indenpendensi melekat sangat dalam dan harus tercermin
dalam proses pemeriksaan dan pengambilan keputusan atas setiap perkara, dan terkait
erat dengan independensi pengadilan dalam hal ini adalah MK sebagai institusi
yang berwibawa, bermartabat dan terpercaya. Independensi hakim dan pengadilan
terwujud dalam kemandirian dan kemerdekaan hakim, baik sendiri-sendiri maupun
sebagai institusi, dari berbagai pengaruh yang berasal dari luar diri hakim
berupa intervensi yang bersifat mempengaruhi dengan halus, dengan tekanan,
paksaan, kekerasan, atau balasan karena kepentingan politik atau ekonomi
tertentu dari pemerintah atau kekuatan politik yang berkausa, kelompok atau
golongan, dengan ancaman penderitaan atau kerugian tertentu, atau dengan
imbalan atau janji imbalan berupa keuntungan jabatan, keuntungan ekonomi, atau
bentuk lainnya (dikutip dari bukunya Profesor Jimly Asshidiqie “Sengketa Kewenangan
Konstitusional Lembaga Negara” (hal. 53). Hakim yang tidak independen atau
mandiri tidak dapat diharapkan bersikap netral atau imparsial dalam menjalankan
tugasnya. Demikian juga satu Mahkamah yang tergantung pada badan lain dalam
bidang-bidang tertentu dan tidak mampu mengatur dirinya secara mandiri juga
akan menyebabkan sikap yang tidak netral dalam menjalankan tugasnya.
Independensi dan imparsialitas merupakan konsep yang mengalir dari
doktrin separation of powers (pemisahan kekuasaan) yang harus dilakukan
secara tegas agar cabang-cabang kekuasaan negara tidak saling mempengaruhi.
3) Peradilan Dilaksanakan Secara Cepat,
Sederhana dan Murah => dalam ketentuan Pasal 4 ayat (2) UU Kekuasaan
Kehakiman menentukan bahwa peradilan dilakukan dengan sederhana, cepat dan
biaya ringan. Penjelasan atas ayat (2) tersebut menyatakan bahwa yang dimaksud
dengan sederhana adalah pemeriksaan dan penyelesaian perkara dialakukan dengan
acara yang efisien dan efektif sedangkan biaya murah adalah biaya perkara yang
dapat terpikul oleh raktyat. Dalam hukum acara MK tidak dikenal adanya biaya
perkara yang dibebankan pada pemohon atau termohon. Semua biaya yang menyangkut
persidangan di MK dibebankan pada biaya negara. Menurut Prof. Jimly, ketentuan
mengenai biaya perkara dibebankan pada negara alasannya adalah bahwa proses
peradilan di lingkungan MK pada pokoknya bukanlah mengadili kepentingan umum
atau kepentingan lembaga-lembaga negara yang juga bersifat publik. Karena itu,
orang berurusan dengan MK tidak perlu dibebani dengan beban biaya sama sekali.
Selain itu, hal ini dimaksudkan untuk menjaga kehormatan dan kewibawaan MK,
lebih baik jika MK dibebaskan dari keharusan berhubungan keuangan dengan pihak
lain. Biarlah seluruh kebutuhan MK dibebankan saja kepada Anggaran Pendapatan
dan Belanja Negara (APBN).
4) Hak untuk Didengar Secara
Seimbang (Audi et Alteram Partem) => dalam perkara yang diperiksa dan diadili di persidangan
biasa, baik penggugat maupun tergugat, atau penuntut umum maupun terdakwa
mempunyai hak yang sama untuk didengar keterangannya secara berimbang dan
masing-masing pihak mempunyai kesempatan yang sama mengajukan pembuktian untuk
mendukung dalil masing-masing.Dalam nuansa yang sedikit berbeda, pada
pengujian undang-undang maka pemohon dan pemerintah serta DPR maupun pihak yang
berkaitan langsung dengan undang-undang yang dimohonkan untuk diuji juga diberi
hak yang sama untuk didengar. Bahkan stakeholder lain yang
merasa mempunyai kepentingan dengan undang-undang yang diuji tersebut harus
didengar jika pihak yang terkait tersebut mengemukakan keinginannya untuk
memberi keterangan. Setidak-tidaknya memberi keterangan secara tertulis yang
wajib dipertimbangkan MK jika keterangan tersebut mengandung nilai yuridis yang
dapat membuat jelas permasalahan yang berkaitan denagn prosedur pembuatan
undang-undang tersebut maupun muatan materi atau bagian pasal maupun ayat
undang-undang yang diuji tersebut.Asas ini berkaitan dengan asas
Independen dan Imparsial. Dalam proses perkara, pihak terkait yang tidak secara
langsung ikut, keterangannya akan dinilai Mahkamah sebagai ad informabdum.
Kegagalan hakim untuk melaksanakan asas ini secara baik akan menimbulkan kesan
bahkan tuduhan bahwa hakim atau Mahkamah tidak imparsial bahkan tidak adil.
Dalam peradilan biasa hal demikian pun dapat dijadikan alasan untuk membatalkan
putusan yang telah dijatuhkan.
5) Hakim Aktif dan Juga Pasif dalam
Proses Persidangan => asas ini sangat menarik, karena dalam hukum acara MK
hakim tidak hanya bersikap pasif saja, tetapi sekaligus harus bersikap aktif.
Hal ini karena karakteristik khusus perkara konstitusi yang kental dengan
kepentingan umum ketimbang kepentingan perorangan telah menyebabkan proses
persidangan tidak dapat diserahkan hanya pada inisiatitif pihak-pihak. Mekanisme constitutional
control harus digerakkan pemohon dengan satu permohonan dan dalam hal
demikian hakim bersikap pasif dan tidak boleh secara aktif melakukan inisiatif
untuk menggerakkan mekanisme MK memeriksa perkara tanpa diajukan dengan satu
permohonan. Maka sekali permohonan tersebut didaftar dan mulai diperiksa,
disebabkan adanya kepentingan umum yang termuat didalamnya secara langsung
maupun tidak langsung akan memaksa hakim untuk bersikap aktif dalam proses dan
tidak menguntungkan proses hanya pada inisiatif pihak-pihak, baik dalam rangka
menggali keterangan maupun bukti-bukti yang dianggap perlu untuk membuat jelas
dan terang hal yang diajukan dalam permohnan tersebut.
6) Ius Curia
Novit => dalam ketentuan Pasal 16 UU Kekuasaan Kehakiman menyebutkan
bahwa “Pengadilan tidak boleh menolak untuk memeriksa, mengadili dan
memutus suatu perkara yang diajukan dengan dalih bahwa hukum tidak ada atau
kurang jelas melainkan wajib untuk memeriksa dan mengadilinya”. Dengan kata lain bahwa
Mahkamah dianggap mengetahui hukum yang diperlukan. Mahkamah tidak dapat
menolak memeriksa, mengadili dan memutus setiap perkara yang diajukan dengan
alasan bahwa hukumnya tidak ada atau hukumnya kurang jelas.
Demikian artikel/tulisan kami yang membahas tentang pengenalan atas proses persidangan PHPU untuk Pemilu atau Pilkada yang dilaksanakan pada Mahkamah Konstitusi di Jakarta. Semoga ada manfaatnya, bagi anda yang ingin mengetahui tata cara, hukum acara dan juga persyaratan pengajuan permohonan sengketa PHPU di MK. Sekian dan terima kasih.
Demikian artikel/tulisan kami yang membahas tentang pengenalan atas proses persidangan PHPU untuk Pemilu atau Pilkada yang dilaksanakan pada Mahkamah Konstitusi di Jakarta. Semoga ada manfaatnya, bagi anda yang ingin mengetahui tata cara, hukum acara dan juga persyaratan pengajuan permohonan sengketa PHPU di MK. Sekian dan terima kasih.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
No Link Aktif, Harap Maklum BOSS.....