Buruh perkebunan sebagai asset tenaga kerja Indonesia
yang tidak ternilai harganya diperhadapkan pada dilematisnya aspek perlindungan dan peningkatan
kesejahteraan sosial ekonomi para
buruh/pekerja. Hal ini mengingat eksistensi buruh atau karyawan
perkebunan yang sudah lebih dari 100 (seratus) tahun, masih setengah hati dan
belum sepenuhnya mengutamakan aspek perlindungan dan kesejahteraan kehidupan
buruh di tengah hiruk pikuk pengelolaan
perkebunan dan industri pengolahan sawit di seluruh Indonesia. Padahal,
sektor perkebunan di
Indonesia merupakan salah satu sektor
penyumbang devisa terbesar bagi negara, namun justru pada saat yang bersamaan pula, para kaum buruh perkebunan cenderung
kurang mendapatkan
perhatian terbaik dari berbagai pihak dan cenderung termarginalkan.
Adanya dilematis ini, terlihat jelas dari karakteristik
yang dimiliki buruh atau pekerja disektor
perkebunan dan industri pengolahan minyak kelapa sawit yang masih berbeda perlakuannya dengan sektor-sektor lain,
dimana saat ini isu
buruh perkebunan termasuk salah satu isu-isu yang marginal dan terlupakan diantara isu lainnya,
khususnya pada buruh disektor perkebunan sawit. Kalau dicermati bahwasanya isu buruh atau tenaga kerja
disektor perkebunan kelapa sawit merupakan isu sektoral yang sangat strategis diangkat
kepermukaan ataupun dikampanyekan,
agar supaya isu
buruh perkebunan kelapa sawit bisa
mendapatkan perhatian dari seluruh stakeholder terlebih-lebih pihak-pihak yang
berkepentingan dalam bisnis perkebunan sawit.
Karena begitu stategisnya isu yang menyangkut buruh perkebunan kelapa sawit sebagai bahagian yang tidak terpisahkan dari pengembangan bidang
ketenagakerjaan di Indonesia, bila ditelaah ada 4 (empat) persoalan
utama dan sangat krusial di
sektor buruh perkebunan sawit, yaitu:
- Adanya dinamika hubungan kerja yang tidak terdokumentasi ke publik secara baik;
- Tidak adanya sistem maupun mekanisme kenaikan upah;
- Adanya pemberlakuan upah buruh kebun dengan masa kerja 2 (dua) tahun sama dengan upah buruh kebun yang masa kerjanya sudah lebih 15 (lima belas) tahun;
- Banyak buruh yang diketahui belum terdaftar sebagai peserta Badan Penyelanggara Jaminan Sosial (BPJS);
Disamping hal-hal pokok yang diuraikan diatas, persoalan
lain yang juga cenderung terabaikan untuk dipenuhi oleh para pengusaha dan/atau
perusahaan-perusahaan perkebunan kelapa sawit adalah tentang masalah pemenuhan
dan/atau penyediaan alat-alat
kerja yang dipergunakan oleh buruh perkebunan kelapa sawit setiap harinya.
Padahal, alat-alat kerja ini merupakan kebutuhan buruh perkebunan yang sangat primer
dan penting dalam rangka perlindungan
diri dari adanya kecelakaan kerja, sehingga masalah penyediaan alat kerja
standar untuk buruh kebun
belum popular dan luput dari perhatian para pihak, sehingga buruh sawit sangat
rentan dan tinggi akan mengalami resiko
kecelakaaan kerja. Dengan
kata lain, persoalan alat
kerja ini dapat menjadi
bahaya laten yang selalu menghantui terjadinya konflik horizontal, jika tidak secepatnya dicarikan solusi pemecahannya.
Tidak hanya itu saja, isu strategis buruh perkebunan
kelapa sawit lainnya yang bisa dikampanyekan dalam rangka perlindungan dan
peningkatan kesejahteraan pekerja perkebuhan adalah terkait tentang kebebasan berserikat atau
berorganisasi dan berkumpul,
serta membentuk atau mendirikan serikat buruh atau serikat pekerja/serikat
karyawan perkebunan pada tingkat perusahaan sawit.
Masalah kebebasan berserikat dan berkumpul adalah merupakan hak setiap buruh, sehingga
tidak ada hak siapapun untuk melarangnya dan barangsiapa yang menghalangi-halangi akan dikenai sanksi
hukuman pidana.
Sehingga tidak ada alasan untuk mengekang hak
buruh dalam hal berserikat karena
sangat jelas dilindungi oleh hukum dan peraturan perundang-undangan
ketenagakerjaan.
Nah, dalam rangka memberikan perlindungan hukum dan rasa
aman bagi para buruh perkebunan kelapa sawit untuk melaksanakan kebebasan
berserikat dan berkumpul, maka pemerintah sebagai pembuat regulasi harus melindungi buruh perkebunan dengan membuat undang-undang dan ataupun
mengambil kebijakan yang tidak mengebiri hak-hak buruh untuk berserikat atau
berorganisasi.
Dalam rangka pengembanan tugas dan tanggung jawab
pemerintah tersebut, maka untuk
memastikan adanya pelaksanaan dan penerapan aturan-aturan perburuhan atau ketenagakerjaan di perkebunan dan
industri pengolahan minyak kelapa sawit,
pemerintah melalui Kementerian
Tenaga Kerja dan Transmigrasi (Menakertrans) telah mengeluarkan
kebijakan dengan mengerahkan
para pegawai pengawas
ketenagakerjaan di pusat dan ditingkat daerah agar lebih memberikan perhatian lebih khusus lagi terhadap isu perlindungan bagi pekerja sawit.
Tentu saja, kehadiran para pegawai pengawas
ketenagakerjaan di perkebunan dan industri pengolahan minyak kelapa sawit harus lebih intensif dalam hal mengawasi setiap perkebunan dan industri pengolahan
minyak sawit, serta para
pegawai pengawas sangat
diharapkan harus lebih
sering terjun langsung ke lapangan untuk menertibkan dan atau
memberikan sanksi yang tegas dan berat setiap
ditemukan terjadinya pelanggaran
terhadap aturan hukum ketenagakerjaan.
Berdasarkan
data dari Kemenakertrans bahwa akhir 2014, jumlah para pengawas ketenagakerjaan tercatat 1.776 orang,
meskipun idealnya
dibutuhkan sebanyak 4.452
orang, sehingga dengan kata lain Indonesia
masih kekurangan
2.676 orang pegawai pengawas ketenagakerjaan.
Nah, yang menjadi persoalan yang berikutnya adalah apakah
telah efektif seandainya jumlah para pengawas ketenagakerjaan diatas dikaitkan
dengan luas perkebunan
kepala sawit di Indonesia yang saat
ini sudah mencapai angka kurang lebih 14,5 juta hektar dengan jumlah buruh yang bekerja di
perkebunan sawit sudah mencapai angka lebih kurang 11 juta orang, dimana 70% (tujuh puluh
persen) dari seluruh
jumlah buruh perkebunan tersebut
berstatus sebagai buruh harian lepas (atau yang lebih dikenal dengan
sebutan BHL).
Sebagaimana kami uraikan diatas, bahwa buruh perkebunan kelapa sawit merupakan aset penting
khususnya dalam mata rantai pasok di sektor perkebunan kelapa sawit. Oleh karena
itu, perlu kiranya ada perhatian yang lebih khusus lagi terhadap tingkat kesejahteraan buruh
dan peningkatan sumber daya manusia (SDM) para buruh dalam konteks hubungan industrial pancasila di Indonesia. Tidak adanya peraturan perundang-undangan
maupun
kurangnya kebijakan
tentang buruh perkebunan kelapa sawit jangan dijadikan alasan untuk
terus menindas buruh perkebunan sawit, melainkan hal ini harus dianggap menciptakan tantangan tersendiri dalam
perkembangan sektor sawit kedepannya.
Harapannya tentu saja bertumpuh pada pemerintahan yang berkuasa saat ini, agar dapat mengeluarkan berbagai
langkah dan kebijakan-kebijakan yang secara khusus tentang keberlangsungan
hidup buruh perkebunan
kelapa sawit, terlebih-lebih dalam konteks perlindungan dan
kesejahteraan kehidupan sosial ekonomi buruh perkebunan sawit.
Sebagaimana kebijakan perdagangan bebas yang telah
diberlakukan oleh masyarakat ekonomi dunia, sedikit banyaknya pemberlakuan era perdagangan bebas saat ini dapat
menjadi sebuah momok ancaman yang
serius dan sangat berat bagi buruh sawit Indonesia. Mengapa? Hal ini disebabkan karena negara Indonesia masih memiliki berbagai
tingkat regulasi yang
kurang efektif mengikat, sehingga dikuatirkan dapat menimbulkan berbagai
tindakan eksploitasi
dalam skala besar terhadap ketersediaan sumber daya tenaga
kerja yang berkualitas dan profesional. Karenanya, penulis melihat sangat
dibutuhkan penerbitan regulasi
perburuhan yang ada kedepannya harus
benar-benar menjamin
perlindungan dan pengaturan tentang pengupahan yang layak dan kesejahteraan sosial
ekonomi buruh sawit.
Bila berbagai kebijakan dan regulasi dimaksud telah
memberikan perlindungan hukum bagi buruh perkebunan kelapa sawit, hal ini tentu
saja akan meningkatkan pendapatan devisa
dari ekspor CPO yang saat ini baru mencapai
angka USD 20 miliar per-tahun. Padahal disisi
lain, industri kelapa
sawit menyediakan lapangan pekerjaan secara tidak langsung bagi 16 juta
keluarga di Indonesia, sehingga buruh
perkebunan sawit adalah
merupakan mitra kerja perusahaan dan/atau pengusaha yang
harus dilindungi.
Adanya
regulasi dan pelbagai kebijakan-kebijakan strategis yang melindungi buruh perkebunan
sawit merupakan suatu hal yang sangat mendesak
dilakukan saat ini, mengingat laju ekspansi perkebunan
sawit di Indonesia sangat begitu cepat.
Kondisi ini menyebabkan timbul banyak desakan dari berbagai stakeholder
(khususnya serikat buruh/pekerja) kepada
pemerintah untuk menerbitkan kebijakan-kebijakan yang berhubungan dengan perlindungan hukum bagi buruh di
perkebunan, khususnya
menyangkut hal-hal:
- Sistem Pengupahan;
- Jam Kerja dan Lembur;
- Sistem Kerja;
- Peralatan dan Perlindungan Kerja;
- Status kerja dan upah berkala;
- Dan kebebasan berserikat;
Tentu saja hal-hal yang menyangkut perlindungan hukum dan
pemenuhan kesejahteraan buruh sawit tidak akan terpenuhi pengawasan yang rutin yang
dilakukan oleh petugas pengawasan dari
pemerintah terhadap praktek kerja di perkebunan sawit tidak
dilaksanakan sesuai dengan standar operasional prosedur (SOP) yang telah
ditetapkan, tidak adanya kebijakan atau regulasi yang melindungi buruh
perkebunan sawit baik dalam bentuk bentuk
Permenaker, Peraturan Gubernur atau Peraturan Daerah
(Perda), tidak adanya jaminan sosial bagi semua
buruh, tidak ada praktek pemberangusan serikat buruh dan penghapusan praktek-praktek pemberlakuaan aspek dan konsep tenaga kerja outsourcing di perkebunan sawit, serta
yang tidak kalah penting adalah
tanggungjawab dari berbagai pihak
untuk melakukan sosialisasi
tentang hak-hak
buruh perkebunan sawit di Indonesia, baik yang bersifat normatif
maupun tidak sebagaimana yang diatur dalam peraturan dan perundang-undangan
ketenagakerjaan Indonesia, khususnya dalam hal perlindungan dan masalah kesejahteraan buruh sawit.
Sekian dan terima kasih, semoga bermanfaat.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
No Link Aktif, Harap Maklum BOSS.....