Dinamika kehidupan buruh perkebunan kelapa sawit di Indonesia masih memprihatinkan,
dimana saat ini masih saja menghadapi
tindakan-tindakan represif dari pihak pengusaha perkebunan, bahkan Negara seakan-akan melakukan pembiaran
terhadap kondisi tersebut hingga terus berlangsung ratusan tahun lamanya. Lokasi buruh
yang termarginal, terisolir
dan budaya “asal nrimo”
dikalangan buruh membuat penindasan yang terjadi tersimpan rapat didalam
lingkungan dan lingkup perkebunan, tanpa pernah
terekspose ke media massa.
Disamping
itu, konsep adanya upah
murah, buruh anak, kehidupan yang tidak layak hingga beban kerja yang tinggi
merupakan masalah-masalah yang biasa dan acap ditemukan dalam dinamika kehidupan
buruh
perkebunan.
Lemahnya
manajemen organisasi dibidang perburuhan atau serikat buruh juga telah menjadikan serikat buruh
tidak lagi memperjuangkan kepentingan-kepentingan serikat buruh dan anggotanya,
bahkan disinyalir
telah dijadikan
sebagai
corong dan kanal memperkuat
posisi bagi
pengusaha, khususnya dalam mengakomodir
kepentingan-kepentingan pengusaha perkebunan. Hal ini tentu saja membuat rendahnya tingkat kepercayaan buruh kepada
serikat-serikat buruh perkebunan yang ada. Kondisi serupa
tergambar bahwasanya buruh perkebunan di
Indonesia masih mengalami penindasan dan belum ada wadah yang dapat
memperjuangkan kondisi kehidupan buruh di perkebunan kelapa sawit.
Realitas atas
kehidupan buruh
perkebunan Indonesia, merupakan gambaran tentang problematika buruh perkebunan dan juga adanya praktik-praktik sistem
kerja yang menindas atas buruh perkebunan, misalnya di Sumatera Utara (Sumut). Gambaran adanya penindasan di Sumut ini juga
telah diadopsi atau dijadikan pola-pola
penindasan yang sama terhadap para buruh yang bekerja di perkebunan-perkebunan di propinsi
lain Indonesia melalui adanya lembaga BKSPPS (Badan Kerjasama Perusahaan Perkebunan Sumatera).
Untuk
melakukan perubahan kondisi diatas, dipandang perlu dibangun suatu gerakan serikat buruh mandiri yang
mampu menyuarakan tuntutan kepada pengusaha dan juga pemerintah untuk melawan penindasan
di perkebunan kepala sawit.
Saat ini, produk
perundangan-undangan yang ada
di Indonesia belum ada yang berpihak pada buruh perkebunan dan tidak sesuai
dengan kondisi realitas kehidupan buruh perkebunan di Indonesia. Adanya kekosongan gerakan buruh
perkebunan,
menyebabkan pengusaha perkebunan menetapkan aplikasi dari perundangan-perundangan buruh industri yang sangat tidak sesuai
dengan kondisi di perkebunan kelapa sawit. Karena hal tersebut, banyak hak-hak
buruh perkebunan kepala sawit
yang dihilangkan dan target kerja buruh perkebunan yang tidak sesuai dengan
kemampuan buruh untuk mencapai target yang telah ditetapkan oleh pengusaha perkebunan. Akibatnya, untuk dapat mencukupi
kebutuhan hidup yang relatif tinggi
di areal perkebunan
kelapa
sawit dan
mencapai target kerja yang diberikan, buruh harus turut serta mengajak istri dan
anak-anak mereka untuk bekerja.
Kondisi realitas diatas, mengakibatkan buruh perkebunan
kelapa sawit sawit
memiliki ketergantungan yang sangat tinggi kepada pengusaha perkebunan. Karena
mulai dari proses rekrutmen buruh sudah dibebankan untuk membayar biaya agar dapat bekerja di
perkebunan, kemudian rendahnya
upah membuat buruh tidak pernah mampu menutupi kebutuhan hidup dan harus mengutang, bahkan hutang tersebut
terus
bertambah hingga buruh tidak mampu melepaskan diri dari lilitan hutang kepada
pihak perkebunan dan atau
pihak ketiga yang bekerja sama dengan pihak perkebunan.
Pola Eksploitasi Buruh Perkebunan
Selama
ini, sudah sering terjadi
bentuk-bentuk
praktik kerja paksa diareal atau lingkungan perkebunan kepala sawit, perusahaan sawit
dengan seenaknya
memberikan upah murah atau rendah, dimana kategori kerja paksa itu termasuk dengan
menerapkan sistem
kerja borongan, shift kerja yang tidak sesuai, adanya pekerjaan tambahan diluar
pekerjaan umum, pekerjaan diluar jam kerja tanpa dibayar.
Adanya
implementasi atas alasan
upah murah merupakan bentuk kerja paksa yang disampaikan secara halus, secara tidak langsung
buruh terpaksa untuk bekerja lebih keras karena upah murah dan adanya kebijakan denda. Karena
upahnya tidak mencukupi dampaknya banyak terjadi kasus-kasus dimana shift kerja yang
selayaknya dikerjakan oleh 3 (tiga) orang dipaksa dikerjakan
2
(dua) orang, pekerjaan
tambahan yang dipaksa dikerjakan buruh untuk menutupi kekurangan pencapaian
hasil kerja.
Target
yang tinggi ditetapkan oleh perusahaan perkebunan melalui peraturan
perusahaan, juga
telah
memaksa
buruh untuk bekerja lagi diatas jam kerja yang layak (7 jam kerja dalam sehari)
sesuai ketentuan yang ditetapkan dalam peraturan hubungan industrial pancasila pada hukum perburuhan yang tertuang dalam Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003
tentang Tenaga Kerja.
Kekuatan Dan Kelemahan Serta Tantangan
Bagi Buruh Perkebunan
Kalau ditelaah, buruh perkebunan mempunyai kekuatan yaitu memiliki massa yang
banyak. Namun
saat ini, massa yang banyak tersebut belum terorganisir dengan baik dan belum memahami atas adanya hak-haknya sebagai buruh.
Sedangkan serikat buruh perkebunan yang ada saat ini adalah hanya
serikat buruh bentukan pemerintah dan pengusaha yang tidak serius membela kepentingan buruh
perkebunan. Selain itu serikat buruh independen yang adapun belum semuanya terkonsolidasi, sehingga gerakan buruh
perkebunan masih mudah dipecah belah.
Disamping itu, kesadaran buruh untuk berorganisasi juga masih kurang
karena adanya berbagai
tekanan yang diberikan pengusaha melalui mutasi, pemecatan hingga kriminalisasi terhadap kaum
buruh perkebunan.
Tekanan-tekanan
yang ditujukan kepada buruh yang aktif berserikat membuat buruh lainnya menjadi takut untuk bergabung
dalam serikat buruh perkebunan. Tidak hanya
itu saja, sumber
pendapatan buruh yang sangat terbatas juga berdampak
pada keberlanjutan organisasi, kemudianya adanya karakter pemimpin serikat buruh yang
masih mudah
menerima suap dari pengusaha membuat serikat buruh independen tidak mampu
bertahan lama.
Meskipun kondisi kehidupan buruh perkebunan masih memiliki banyak
kelemahan, buruh perkebunan masih memiliki
peluang yang
dapat
dimanfaatkan untuk memperbaiki kondisi realitas kehidupannya. Misalnya dengan
adanya
perwakilan buruh yang duduk di legislatif, dapat
dimanfaatkan
untuk mendorong lahirnya kebijakan di Indonesia untuk melindungi buruh perkebunan. Terbangunnya jaringan
dari NGO’S/LSM
ditingkat nasional dan internasional juga dapat dimanfaatkan untuk kampanye
dan advokasi kehidupan buruh perkebunan yang saat ini masih hidup dalam
perbudakan zaman modern. Hadirmya
berbagai
NGO’S/LSM menjadi peluang lainnya
untuk mendorong perbaikan kehidupan buruh melalui pelaksanaan prinsip dan
kriterianya.
Kekuatan
pengusaha yang belum dapat ditandingi oleh buruh adalah adanya modal yang besar ditambah adanya dukungan lembaga-lembaga
keuangan, baik perbankan maupun non-perbankan terhadap bisnis perkebunan kelapa
sawit yang masih
mendatangkan keuntungan yang sangat besar. Pengusaha juga memiliki Sumber Daya Manusia
(SDM) yang handal dan jaringan
kuat yang mampu mensupport perkembangan bisnis mereka, khususnya jaringan
ditingkat pemerintah daerah dan pusat, sehingga para pengusaha dapat
mempengaruhi lahirnya kebijakan-kebijakan
yang secara khusus untuk melindungi
kebutuhan bisnis dan investasi mereka.
Namun
kekuatan pengusaha tersebut juga menjadi kelemahan mereka karena tingginya
persaingan antar sesama pengusaha
perkebunan
kelapa sawit adalah merupakan titik kelemahan mereka, hal ini disebabkan tingginya persaingan antar pengusaha dalam hal
mengeruk keuntungan.
Salah satu tantangan para pengusaha adalah jika buruh mampu bersatu dalam
serikat buruh yang
mampu membela kepentingan buruh. Sedangkan peluang yang dimiliki oleh pengusaha
perkebunan adalah tingginya angka pengangguran yang menyebabkan mereka dengan
mudah mendapatkan tenaga kerja dengan melaksanakan konsep upah kerja yang rendah. Karena itu pengusaha
dengan mudah melakukan tekanan-tekanan
kepada buruh yang ingin berserikat.
Untuk
melakukan perbaikan kondisi buruh perkebunan kelapa sawit saat ini
haruslah terprogram secara baik mulai dari tingkat local (daerah
kabupaten/kota),
provinsi,
nasional hingga internasional dengan peran dan kepentingan masing-masing. Peran
dan kepentingan tersebut harus dianalisa
sesuai dengan pengaruh yang diberikan. Pemerintah dan legislatif ditingkat kabupaten/kota, provinsi dan nasional
memainkan peranan penting mewujudkan perbaikan kondisi buruh perkebunan kelapa
sawit, namun minimnya informasi dan tenaga pengawas menyebabkan hal tersebut tidak
dapat terwujud. Hubungan yang erat antara pengusaha dengan pemerintah serta
legislatif
menyebabkan mereka lebih sering mengakomodir
kepentingan pengusaha.
Pelanggaran-pelanggaran
yang dilakukan oleh para pengusahapun tidak mendapatkan tindakan yang tegas, sehingga pelanggaran dimaksud masih terus berlangsung
meskipun perkebunan kelapa sawit telah ada di Indonesia selama lebih dari 100 tahun. Namun peran
pemerintah dan legislative dapat dijadikan peluang untuk memediasi konflik yang
timbul akibat hubungan kerja yang tidak adil antara pengusaha dan buruh.
BKPPS
juga merupakan salah satu aktor yang memainkan peran penting
terhadap penindasan yang terjadi atas kehidupan buruh perkebunan. Meskipun
bukan merupakan lembaga pemerintah, namun BKPPS mampu menerapkan upah dibawah
ketetapan pemerintah disemua perkebunan kelapa sawit di Indonesia. Bahkan, BKPPS yang merupakan
gabungan para pengusaha perkebunan kelapa sawit bersama serikat buruh bentukan
pengusaha
membuat kesepakatan perjanjian kerja bersama yang diterapkan disemua perkebunan
di Indonesia. Dengan adanya kesepakatan
tersebut pengusaha mampu mengontrol pergerakan buruh dan menggunakannya sebagai
alat legitimasi bahwa mereka tidak menghalang-halangi kebebasan berserikat di
perkebunan. Selain organisasi pengusaha yang tergabung dalam BKPPS pengusaha
juga kekuatannya di tingkat internasional dalam badan sertifikasi RSPO.
Sertifikasi yang dikeluarkan merupakan pernyataan bahwa pengusaha telah
meminimalisir dampak negatif dari
produksi kelapa sawit diperusahaan mereka.
Namun, pada kenyataannya RSPO
tidak mampu menyentuh akar penindasan yang terjadi atas hidup buruh perkebunan.
Peran RSPO untuk melakukan pengawasan terhadap pelaksanaan perkebunan kelapa
sawit yang berkelanjutan ternyata masih belum memperhatikan kehidupan buruh dan
dampak sosial
yang muncul akibat hadirnya perkebunan. Walaupun demikian, RSPO
dapat digunakan sebagai alat perjuangan buruh untuk melakukan penekanan
terhadap perusahaan-perusahaan
anggota RSPO untuk memenuhi hak-hak buruh sesuai yang tertera dalam prinsip dan kriteria yang telah
ditetapkannya.
Serikat
buruh perkebunan berperan penting untuk mendorong terwujudnya perbaikan kondisi
buruh perkebunan di Indonesia, lemahnya posisi buruh perkebunan karena buruh
berada di lokasi yang terisolir dan termarginalkan, sehingga mendapatkan banyak tekanan dari
pihak manajemen perkebunan. Peran penting dari serikat buruh adalah untuk
mengorganisir dan mendidik buruh perkebunan mengenai hak-hak mereka, juga dalam rangka
untuk mengadvokasi
masalah-masalah yang dihadapi buruh perkebunan. Lahirnya organisasi buruh independen merupakan salah satu media buruh untuk
mendapatkan pendidikan kritis dan media penyadaran melalui adanya
pelaksanaan diskusi-diskusi bersama,
meskipun serikat
buruh yang ada saat ini justru lebih berpihak kepada kepentingan pengusaha
karena pengurusnya
merupakan bagian yang tidak terpisahkan dari manajemen perusahaan, maka dari itu perlu dibangun
serikat buruh perkebunan independen agar perbaikan kondisi kehidupan buruh yang lebih baik lagi dapat dicapai kedepannya.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
No Link Aktif, Harap Maklum BOSS.....