Halaman

22 Juni 2016

Buruh Dalam Dinamika Perkebunan Kelapa Sawit

Dinamika kehidupan buruh perkebunan kelapa sawit di Indonesia masih memprihatinkan, dimana saat ini masih saja menghadapi tindakan-tindakan represif dari pihak pengusaha perkebunan, bahkan Negara seakan-akan melakukan pembiaran terhadap kondisi tersebut hingga terus berlangsung ratusan tahun lamanya. Lokasi buruh yang termarginal, terisolir dan budaya “asal nrimo” dikalangan buruh membuat penindasan yang terjadi tersimpan rapat didalam lingkungan dan lingkup perkebunan, tanpa pernah terekspose ke media massa. Disamping itu, konsep adanya upah murah, buruh anak, kehidupan yang tidak layak hingga beban kerja yang tinggi merupakan masalah-masalah yang biasa dan acap ditemukan dalam dinamika kehidupan buruh perkebunan.

Problematika Kehidupan Buruh Perkebunan Kelapa Sawit Dan Serikat Buruh Independen

Lemahnya manajemen organisasi dibidang perburuhan atau serikat buruh juga telah menjadikan serikat buruh tidak lagi memperjuangkan kepentingan-kepentingan serikat buruh dan anggotanya, bahkan disinyalir telah dijadikan sebagai corong dan kanal memperkuat posisi bagi pengusaha, khususnya dalam mengakomodir kepentingan-kepentingan pengusaha perkebunan. Hal ini tentu saja membuat rendahnya tingkat kepercayaan buruh kepada serikat-serikat buruh perkebunan yang ada. Kondisi serupa tergambar bahwasanya buruh perkebunan di Indonesia masih mengalami penindasan dan belum ada wadah yang dapat memperjuangkan kondisi kehidupan buruh di perkebunan kelapa sawit.

Realitas atas kehidupan buruh perkebunan Indonesia, merupakan gambaran tentang problematika buruh perkebunan dan juga adanya praktik-praktik sistem kerja yang menindas atas buruh perkebunan, misalnya di Sumatera Utara (Sumut). Gambaran adanya penindasan di Sumut ini juga telah diadopsi atau dijadikan pola-pola penindasan yang sama terhadap para buruh yang bekerja di perkebunan-perkebunan di propinsi lain Indonesia melalui adanya lembaga BKSPPS (Badan Kerjasama Perusahaan Perkebunan Sumatera).

Untuk melakukan perubahan kondisi diatas, dipandang perlu dibangun suatu gerakan serikat buruh mandiri yang mampu menyuarakan tuntutan kepada pengusaha dan juga pemerintah untuk melawan penindasan di perkebunan kepala sawit. Saat ini, produk perundangan-undangan yang ada di Indonesia belum ada yang berpihak pada buruh perkebunan dan tidak sesuai dengan kondisi realitas kehidupan buruh perkebunan di Indonesia. Adanya kekosongan gerakan buruh perkebunan, menyebabkan pengusaha perkebunan menetapkan aplikasi dari perundangan-perundangan buruh industri yang sangat tidak sesuai dengan kondisi di perkebunan kelapa sawit. Karena hal tersebut, banyak hak-hak buruh perkebunan kepala sawit yang dihilangkan dan target kerja buruh perkebunan yang tidak sesuai dengan kemampuan buruh untuk mencapai target yang telah ditetapkan oleh pengusaha perkebunan. Akibatnya, untuk dapat mencukupi kebutuhan hidup yang relatif tinggi di areal perkebunan kelapa sawit dan mencapai target kerja yang diberikan, buruh harus turut serta mengajak istri dan anak-anak mereka untuk bekerja.

Kondisi realitas diatas, mengakibatkan buruh perkebunan kelapa sawit sawit memiliki ketergantungan yang sangat tinggi kepada pengusaha perkebunan. Karena mulai dari proses rekrutmen buruh sudah dibebankan untuk membayar biaya agar dapat bekerja di perkebunan, kemudian rendahnya upah membuat buruh tidak pernah mampu menutupi kebutuhan hidup dan harus mengutang, bahkan hutang tersebut terus bertambah hingga buruh tidak mampu melepaskan diri dari lilitan hutang kepada pihak perkebunan dan atau pihak ketiga yang bekerja sama dengan pihak perkebunan.

Pola Eksploitasi Buruh Perkebunan
Selama ini, sudah sering terjadi bentuk-bentuk praktik kerja paksa diareal atau lingkungan perkebunan kepala sawit, perusahaan sawit dengan seenaknya memberikan upah murah atau rendah, dimana kategori kerja paksa itu termasuk dengan menerapkan sistem kerja borongan, shift kerja yang tidak sesuai, adanya pekerjaan tambahan diluar pekerjaan umum, pekerjaan diluar jam kerja tanpa dibayar.

Adanya implementasi atas alasan upah murah merupakan bentuk kerja paksa yang disampaikan secara halus, secara tidak langsung buruh terpaksa untuk bekerja lebih keras karena upah murah dan adanya kebijakan denda. Karena upahnya tidak mencukupi dampaknya banyak terjadi kasus-kasus dimana shift kerja yang selayaknya dikerjakan oleh 3 (tiga) orang dipaksa dikerjakan 2 (dua) orang, pekerjaan tambahan yang dipaksa dikerjakan buruh untuk menutupi kekurangan pencapaian hasil kerja.

Target yang tinggi ditetapkan oleh perusahaan perkebunan melalui peraturan perusahaan, juga telah memaksa buruh untuk bekerja lagi diatas jam kerja yang layak (7 jam kerja dalam sehari) sesuai ketentuan yang ditetapkan dalam peraturan hubungan industrial pancasila pada hukum perburuhan yang tertuang dalam Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003 tentang Tenaga Kerja.

Kekuatan Dan Kelemahan Serta Tantangan Bagi Buruh Perkebunan
Kalau ditelaah, buruh perkebunan mempunyai kekuatan yaitu memiliki massa yang banyak. Namun saat ini, massa yang banyak tersebut belum terorganisir dengan baik dan belum memahami atas adanya hak-haknya sebagai buruh. Sedangkan serikat buruh perkebunan yang ada saat ini adalah hanya serikat buruh bentukan pemerintah dan pengusaha yang tidak serius membela kepentingan buruh perkebunan. Selain itu serikat buruh independen yang adapun belum semuanya terkonsolidasi, sehingga gerakan buruh perkebunan masih mudah dipecah belah.

Disamping itu, kesadaran buruh untuk berorganisasi juga masih kurang karena adanya berbagai tekanan yang diberikan pengusaha melalui mutasi, pemecatan hingga kriminalisasi terhadap kaum buruh perkebunan. Tekanan-tekanan yang ditujukan kepada buruh yang aktif berserikat membuat buruh lainnya menjadi takut untuk bergabung dalam serikat buruh perkebunan. Tidak hanya itu saja, sumber pendapatan buruh yang sangat terbatas juga berdampak pada keberlanjutan organisasi, kemudianya adanya karakter pemimpin serikat buruh yang masih mudah menerima suap dari pengusaha membuat serikat buruh independen tidak mampu bertahan lama.

Meskipun kondisi kehidupan buruh perkebunan masih memiliki banyak kelemahan, buruh perkebunan masih memiliki peluang yang dapat dimanfaatkan untuk memperbaiki kondisi realitas kehidupannya. Misalnya dengan adanya perwakilan buruh yang duduk di legislatif, dapat dimanfaatkan untuk mendorong lahirnya kebijakan di Indonesia untuk melindungi buruh perkebunan. Terbangunnya jaringan dari NGO’S/LSM ditingkat nasional dan internasional juga dapat dimanfaatkan untuk kampanye dan advokasi kehidupan buruh perkebunan yang saat ini masih hidup dalam perbudakan zaman modern. Hadirmya berbagai NGO’S/LSM menjadi peluang lainnya untuk mendorong perbaikan kehidupan buruh melalui pelaksanaan prinsip dan kriterianya.

Kekuatan pengusaha yang belum dapat ditandingi oleh buruh adalah adanya modal yang besar ditambah adanya dukungan lembaga-lembaga keuangan, baik perbankan maupun non-perbankan terhadap bisnis perkebunan kelapa sawit yang masih mendatangkan keuntungan yang sangat besar. Pengusaha juga memiliki Sumber Daya Manusia (SDM) yang handal dan jaringan kuat yang mampu mensupport perkembangan bisnis mereka, khususnya jaringan ditingkat pemerintah daerah dan pusat, sehingga para pengusaha dapat mempengaruhi lahirnya kebijakan-kebijakan yang secara khusus untuk melindungi kebutuhan bisnis dan investasi mereka.

Namun kekuatan pengusaha tersebut juga menjadi kelemahan mereka karena tingginya persaingan antar sesama pengusaha perkebunan kelapa sawit adalah merupakan titik kelemahan mereka, hal ini disebabkan tingginya persaingan antar pengusaha dalam hal mengeruk keuntungan. Salah satu tantangan para pengusaha adalah jika buruh mampu bersatu dalam serikat buruh yang mampu membela kepentingan buruh. Sedangkan peluang yang dimiliki oleh pengusaha perkebunan adalah tingginya angka pengangguran yang menyebabkan mereka dengan mudah mendapatkan tenaga kerja dengan melaksanakan konsep upah kerja yang rendah. Karena itu pengusaha dengan mudah melakukan tekanan-tekanan kepada buruh yang ingin berserikat.

Untuk melakukan perbaikan kondisi buruh perkebunan kelapa sawit saat ini haruslah terprogram secara baik mulai dari tingkat local (daerah kabupaten/kota), provinsi, nasional hingga internasional dengan peran dan kepentingan masing-masing. Peran dan kepentingan tersebut harus dianalisa sesuai dengan pengaruh yang diberikan. Pemerintah dan legislatif ditingkat kabupaten/kota, provinsi dan nasional memainkan peranan penting mewujudkan perbaikan kondisi buruh perkebunan kelapa sawit, namun minimnya informasi dan tenaga pengawas menyebabkan hal tersebut tidak dapat terwujud. Hubungan yang erat antara pengusaha dengan pemerintah serta legislatif menyebabkan mereka lebih sering mengakomodir kepentingan pengusaha.

Pelanggaran-pelanggaran yang dilakukan oleh para pengusahapun tidak mendapatkan tindakan yang tegas, sehingga pelanggaran dimaksud masih terus berlangsung meskipun perkebunan kelapa sawit telah ada di Indonesia selama lebih dari 100 tahun. Namun peran pemerintah dan legislative dapat dijadikan peluang untuk memediasi konflik yang timbul akibat hubungan kerja yang tidak adil antara pengusaha dan buruh.

BKPPS juga merupakan salah satu aktor yang memainkan peran penting terhadap penindasan yang terjadi atas kehidupan buruh perkebunan. Meskipun bukan merupakan lembaga pemerintah, namun BKPPS mampu menerapkan upah dibawah ketetapan pemerintah disemua perkebunan kelapa sawit di Indonesia. Bahkan, BKPPS yang merupakan gabungan para pengusaha perkebunan kelapa sawit bersama serikat buruh bentukan pengusaha membuat kesepakatan perjanjian kerja bersama yang diterapkan disemua perkebunan di Indonesia. Dengan adanya kesepakatan tersebut pengusaha mampu mengontrol pergerakan buruh dan menggunakannya sebagai alat legitimasi bahwa mereka tidak menghalang-halangi kebebasan berserikat di perkebunan. Selain organisasi pengusaha yang tergabung dalam BKPPS pengusaha juga kekuatannya di tingkat internasional dalam badan sertifikasi RSPO. Sertifikasi yang dikeluarkan merupakan pernyataan bahwa pengusaha telah meminimalisir dampak negatif dari produksi kelapa sawit diperusahaan mereka.

Namun, pada kenyataannya RSPO tidak mampu menyentuh akar penindasan yang terjadi atas hidup buruh perkebunan. Peran RSPO untuk melakukan pengawasan terhadap pelaksanaan perkebunan kelapa sawit yang berkelanjutan ternyata masih belum memperhatikan kehidupan buruh dan dampak sosial yang muncul akibat hadirnya perkebunan. Walaupun demikian, RSPO dapat digunakan sebagai alat perjuangan buruh untuk melakukan penekanan terhadap perusahaan-perusahaan anggota RSPO untuk memenuhi hak-hak buruh sesuai yang tertera dalam prinsip dan kriteria yang telah ditetapkannya.

Serikat buruh perkebunan berperan penting untuk mendorong terwujudnya perbaikan kondisi buruh perkebunan di Indonesia, lemahnya posisi buruh perkebunan karena buruh berada di lokasi yang terisolir dan termarginalkan, sehingga mendapatkan banyak tekanan dari pihak manajemen perkebunan. Peran penting dari serikat buruh adalah untuk mengorganisir dan mendidik buruh perkebunan mengenai hak-hak mereka, juga dalam rangka untuk mengadvokasi masalah-masalah yang dihadapi buruh perkebunan. Lahirnya organisasi buruh independen merupakan salah satu media buruh untuk mendapatkan pendidikan kritis dan media penyadaran melalui adanya pelaksanaan diskusi-diskusi bersama, meskipun serikat buruh yang ada saat ini justru lebih berpihak kepada kepentingan pengusaha karena pengurusnya merupakan bagian yang tidak terpisahkan dari manajemen perusahaan, maka dari itu perlu dibangun serikat buruh perkebunan independen agar perbaikan kondisi kehidupan buruh yang lebih baik lagi dapat dicapai kedepannya.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

No Link Aktif, Harap Maklum BOSS.....