Persoalan
tenaga
kerja outsourcing
masih
tetap
menjadi permasalahan dalam
sistem
penegakan
hukum perburuhan atau ketenagakerjaan
di Indonesia, walaupun dalam perkembangan hukumnya pemerintah Indonesia telah menerbitkan sebuah peraturan melalui Peraturan Menteri Tenaga Kerja dan Transmigrasi (Permenakertrans) Nomor 19
Tahun 2012 terkait masalah pengaturan tentang tenaga kerja outsourcing ini.
Ada
banyak
pihak yang
mengatakan bahwa lahirnya regulasi outsourcing ini adalah semata-mata untuk
menjawab tekanan yang dikumandangkan oleh para pekerja maupun serikat pekerja atau serikat
buruh. Kalau kita telaah tentang pengaturan dan atau landasan hukum pengaturan
tenaga kerja outsourcing
ini,
jelas sangat
pesimis dalam tataran aplikasi dan implementasinya, dengan asumsi bahwasanya pemerintah dalam praktiknya masih terkesan setengah
hati dan tidak berani melawan pengusaha dunia usaha.
Sebagaimana kita
ketahui dan lihat bersama, outsourcing
merupakan pendelegasian operasi dan managemen harian dari suatu proses bisnis
kepada pihak luar (dalam hal ini perusahaan jasa outsourcing) atau memborongkan satu
bagian atau beberapa bagian kegiatan kerja perusahaan
yang sebelumnya dikelola sendiri kepada perusahaan lain yang kemudian disebut
sebagai penerima pekerjaan. Dengan kata lain, telah terjadi proses pemindahan tanggung
jawab tenaga kerja dari perusahaan induk ke perusahaan lain di luar perusahaan
induk. Sehingga, kegiatan outsourcing
pada hakikatnya adalah merupakan kegiatan pembelian jasa, di mana dalam regulasi
ketenagakerjaan mencakup pekerja pada proses pendukung (non-core
business unit),
ataupun dalam praktiknya semua lini kerja bisa dialihkan sebagai unit
outsourcing,
seperti yang aplikasinya banyak
terjadi dunia kerja di
Indonesia.
Sebenarnya, terhadap outsourcing ini ada beberapa larangan yang didasarkan
pada ketentuan Pasal 66 Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003 tentang
Ketenagakerjaan,
yaitu pekerja/karyawan
atau buruh dari perusahaan penyedia jasa pekerja/buruh tidak boleh digunakan
oleh pemberi kerja untuk melaksanakan kegiatan pokok atau kegiatan yang
berhubungan langsung dengan proses produksi.
Adanya larangan dalam Pasal 66 diatas, juga diperjelas dan dipertegas lagi oleh Permenakertrans
pada Bab III Pasal 17 ayat 3 yang menyebutkan bahwa => kegiatan jasa penunjang
sebagaimana dimaksud pada ayat 20, meliputi:
- usaha pelayanan kebersihan (cleaning servive);
- usaha penyediaan makanan bagi pekerja/ buruh (catering);
- usaha tenaga pengaman (security/ satuan pengamanan);
- usaha jasa penunjang di pertambangan dan perminyakan;
- usaha penyediaan angkutan bagi pekerja atau buruh;
Namun
dalam realitasnya, masih banyak terjadi pelanggaran atas ketentuan pasal-pasal yang mengatur
syarat-syarat outsourcing terutama terhadap diterapkannya outsourcing pada
pekerjaan utama (core business) bukan
pekerjaan penunjang sebagaimana diatur dalam hubungan industrial pancasila di dalam hukum ketenagakerjaan yang telah
ada.
Hal
ini disebabkan klasifikasi terhadap pekerjaan utama dan pekerjaan penunjang (non-core
business),
dalam praktik di lapangan jenis pekerjaan yang dapat dikategorikan sebagai
pekejaan utama maupun penunjang sangat dinamis dan belum ada standar baku untuk menentukan
jenis pekerjaan apa saja dalam suatu perusahaan dapat digolongkan sebagai
pekerjaan penunjang atau inti/utama. Sehingga, tidak dapat dipungkiri
klasifikasi yang disebutkan oleh ketentuan yang telah dibuat oleh pemerintah
dalam praktik masih banyak diabaikan dan tidak dilaksanakan sebab pemahaman pekerjaan penunjang
versi perusahaan tidaklah sesederhana yang telah disebut dalam aturan yang berlaku. Disamping itu,
muncul persoalan
rumit yaitu dalam
hal
penegakan
hukum ketenagakerjaan untuk masalah outsourcing ini, dimana sebelumnya sudah banyak para ahli dan
pakar yang memprediksikan
akan
terjadi keruetan ditingkat pelaksanaannya.
Terbitnya regulasi yang baru-baru ini dilahirkan oleh pemerintah
hanya terkesan untuk menenangkan dan meninabobokan gerakan serikat pekerja/buruh dan meredam adanya tuntutan tajam dari
serikat pekerja/buruh yang meminta pemerintah segera meniadakan pemberlakukan sistem outsourcing. Padahal sistem ini selain
dilindungi undang-undang perburuhan, dalam faktanya sistem outsourcing ini juga adalah keperluan permintaan pasar tenaga kerja, mengingat di berbagai
negara maju dan berkembang telah banyak pula yang mempraktikkannya.
Dengan demikian, sangat wajar suatu perusahaan
menggunakan sistem ini sebab lebih praktis dan efesien dalam hal manajemennya
apabila dibandingkan jika perusahaan tersebut mengurus semua pekerjaan inti dan
pendukung di bawah kendali manajemennya sendiri.
Walaupun,
secara yuridis formil kedudukan
pekerja dengan pengusaha adalah sederajat, harus mendapatkan perlakuan yang
sama di depan hukum, namun di dalam kajian sosiologis dan ekonomis hal itu sangat tidak
mudah, mengingat selain pengusaha adalah pihak yang memiliki uang namun juga
persentasi jumlah kesempatan pekerjaan dan masyarakat atau jumlah tenaga kerja
yang memerlukan adanya lowongan pekerjaan tidak pernah seimbang. Hal inilah yang memicu
posisi tawar pekerja dalam praktik hubungan kerja menjadi lemah.
Adanya dilematika
persoalan penegakan hukum perburuhan terhadap perusahaan yang menggunakan sistem outsourcing
juga terkait dengan sikap mendua-dua dari pemerintah kita sendiri
yang tidak pernah secara tegas membawa pelanggaran yang dilakukan
perusahaan-perusahaan tertentu terhadap aturan outsourcing ini. Padahal, sifat dari hukum
ketenagakerjaan sejatinya bisa implementasikan kepada 2 (dua) kategori, yakni:
- Pada ranah ketentuan hukum privat, mengingat hubungan kerja mengatur hubungan antara orang perorangan atau orang perseorangan dengan badan hukum;
- Pada ranah hukum publik, di mana pemerintah sangat berhak ikut campur tangan langsung dan bagi yang tidak mengindahkannya harus dikenakan sanksi;
Kedua kategori diataslah yang merupakan makna filosofis yang
melatarbelakangi diterbitkannya hukum yang mengatur ketenagakerjaan ini tidak lain
adalah wujud penghormatan dan pelindungan terhadap hak azasi manusia, baik
dalam kapasitasnya sebagai pekerja
maupun sebagai pengusaha. Sehingga, antara kedua belah pihak
tidak saling menzholimi
satu sama lainnya.
Dalam
Peraturan Menteri Tenaga Kerja dan Transmigrasi RI Nomor 19 Tahun 2012 menyebut adanya penegasan tentang
perjanjian kerja dalam sistem outsorcing, sebagaimana tersebut dalam Pasal 29 sampai dengan Pasal
32. Ketentuan
ini sebenarnya harus diakui sebagai dasar perlindungan
hukum terhadap hak-hak pekerja. Sehingga inkonsistensi secara normatif yang
sebelumnya ada pada Pasal 56 sampai dengan Pasal 59 Undang-Undang
Ketenagakerjaan tidak terjadi lagi.
Jika
dalam ketentuan Pasal
56 Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003
tentang
Ketenagakerjaan menyatakan
bahwa Perjanjian Kerja Waktu tertentu (PKWT) didasarkan pada jangka waktu atau
selesainya pekerjaan tertentu, maka sebenarnya pasal ini tidak konsisten dengan pasal-pasal yang lain
yang terkait didalamnya. PKWT yang didasarkan pada
jangka waktu tertentu tidak melihat sifat dari pekerjaan, sehingga menimbulkan
persoalan bahwa PKWT dapat diterapkan pada pekerjaan yang bersifat tetap.
Bagi
pengusaha, sistem PKWT adalah untuk membatasi upah agar berkisar pada skala
minimum dan menghindari pesangon yang dianggap sangat membebani perusahaan. Sehingga, dalam praktik banyak
pengusaha yang menerapkan PKWT melalui mekanisme kontrak kerja atau
outsourcing. Akibatnya
dalam fakta dilapangan banyak
pengusaha yang melakukan PHK massal terhadap pekerja atau buruhnya, kemudian dialihkan
statusnya menjadi PKWT, atau dalam faktanya bisa juga banyak pengusaha yang melakukan PHK
massal pekerja/buruhnya kemudian dialihkan statusnya menjadi PKWT, atau
merekrut pekerja/buruh baru yang semuanya menggunakan sistem PKWT.
Dalam
Permenakertrans Nomor 19 Tahun 2012 semua dipertegas dan
diperjelas mengenai hak-hak pekerja walaupun hubungan kerja antara pekerja/buruh dengan pengusaha dalam bentuk PKWT. Problematikanya adalah bukan lagi pada
tataran aturan, namun pada tataran implementasi dan penegakan hukumnya dilapangan. Sebagus apapun produk
hukum atau seberapa banyak konsultan hukum perburuhan yang dipergunakan untuk mengambil suatu kebijakan tentang outsourching tersebut diambil dan/atau dibuat, apabila tidak dibarengi
dengan keseriusan pihak-pihak yang terkait dalam penegakan dan
pelaksanaannya,
maka
semua itu adalah
sia-sia belaka.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
No Link Aktif, Harap Maklum BOSS.....