Masalah
calon independen (perseorangan) dalam pelaksanaan pilkada serentak 2017,
khususnya di Provinsi Aceh menjadi sangat hangat dibicarakan bila dibandingkan
dengan pelaksanaan pemilukada pada tahun 2015 yang lalu. Mungkin hal ini
disebabkan efek dari hangatnya pemberitaan tentang pencalonan gubernur DKI
Jakarta, yaitu Basuki Tjahaja Purnama (AHOK) yang sudah menetapkan akan maju pada
Pilgub DKI melalui jalur independen (perseorangan).
Tidak
hanya di DKI Jakarta saja tren topik tentang calon independen (perseorangan)
ini muncul kepermukaan, di Provinsi Aceh juga hal ini telah mulai panas, dimana
para tokoh-tokoh mantan kombatan Gerakan Aceh Merdeka (GAM) yang saat ini
menduduki jabatan strategis di Partai Aceh (sejenis partai lokal) juga telah
ada beberapa orang yang menyatakan diri akan maju dari jalur independen
(perseorangan) dalam pemilihan kepala daerah (pilgub, walikota dan juga bupati) Aceh. Sehingga hal ini
sedikit banyak akan menimbulkan perpecahan dan akan banyak para tokoh yang akan
mengundurkan diri dari Partai Aceh (PA) tersebut. Sehingga menimbulkan
pertanyaan apakah Partai Aceh akan pecah? Jawaban pastinya, masih kita
nantikan.
Namun
terlepas dari pelomik diatas, khusus di Provinsi Aceh dalam rangka pelaksanaan
pilkada serentak 2017 yang akan datang, mengenai peraturan yang mengatur
tentang syarat-syarat yang harus dipenuhi seseorang untuk bisa atau tidaknya
maju dari jalur independen (perseorangan) di Aceh masih menimbulkan
kontroversial antara "Qanun" (Peraturan Daerah Nomor 5 Tahun 2012 tentang
Pemilihan Kepala Daerah Aceh) dengan Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2015 tentang
Pemilihan Gubernur, Bupati dan Walikota. Dengan kata lain, baik pada Undang-Undang Nomor 11
Tahun 2006 tentang Pemerintahan Aceh (UUPA), Qanun No. 5/2012, UU Nomor 8
Tahun 2015 dan Putusan-putusan MK yang menyangkut tentang pilkada (pemilukada) masih
banyak terdapat perbedaan pendapat. Hal ini tentu saja, harus dengan cepat dibahas
oleh legislatif (DPRA), jika tidak kemungkinan besar pilkada di Aceh akan kacau
balau disebabkan tidak ditemukannya kepastian hukum.
Adapun
hal-hal yang harus segera diselaraskan dan atau direvisi pada Undang-Undang Nomor 11
Tahun 2006 tentang Pemerintahan Aceh (UUPA), Qanun No. 5/2012, UU Nomor 8 Tahun 2015 dan
Putusan-putusan MK yang menyangkut tentang pilkada (pemilukada) adalah sebagai
berikut:
- Kalau kita lihat Qanun (Peraturan Daerah Nomor 5 Tahun 2012 tentang Pemilihan Kepala Daerah Aceh), dimana dalam peraturan tersebut terkait dukungan terhadap calon independen (perseorangan) untuk bisa maju di pilkada Aceh harus memenuhi syarat 3 % (tiga persen) dari jumlah penduduk, sedangkan menurut UU Nomor 8 Tahun 2015 mensyaratkan adanya dukungan dimasud adalah sebesar 6,5 persen hingga 10 persen dari total jumlah penduduk pada daerah yang bersangkutan;
- Disamping itu, menurut UU Nomor 8 Tahun 2015 dengan tegas dinyatakan bahwa bila seseorang akan memilih maju dari jalur independen (perseorangan), maka diwajibkan untuk mengundurkan diri apabila yang bersangkutan terdaftar pada salah satu partai politik (parpol), namun dalam Qanun (Peraturan Daerah Nomor 5 Tahun 2012 tentang Pemilihan Kepala Daerah Aceh) syarat pengunduran diri dari partai ini tidak diatur, sehingga dikuatirkan apabila tidak segera dipertegas akan menimbulkan masalah kedepannya;
- Terkait dengan adanya surat rekomendasi dari Dewan Pimpinan Pusat (DPP) partai politik bagi calon yang akan maju pada pilkada serentak harus mendapat persetujuan dari DPP, sedangkan dalam qanun pilkada Aceh hal ini tidak ada diatur;
- Selanjutnya mengenai adanya putusan Mahkamah Konstitusi (MK) tentang penetapan calon bagi mantan narapidana, persentase kemenangan suara dan lain-lain yang masih berbeda antara Qanun Nomor 5 tahun 2012 terkait Pilkada Aceh, UU Nomor 8 Tahun 2015 tentang pilkada dan putusan MK terkait UU Pilkada;
Hal-hal
diataslah yang menyebabkan sangat penting dan perlu secepatnya dilakukan revisi pengaturan terhadap para calon yang akan maju melalui jalur independen (perseorangan) agar tahapan dan
juga penyelenggaraan pilkada serentak di Aceh tidak menjadi cacat hukum diakibatkan adanya dualisme pemberlakukan peraturan tentang pilkada di Provinsi NAD. Sekian
dan terima kasih.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
No Link Aktif, Harap Maklum BOSS.....