Polemik hukum awalnya sebuah hubungan perdata berakhir
menjadi tindak pidana, semakin ramai menghiasi wajah dunia hukum di Indonesia. Demikian
pula sebaliknya, awalnya adalah merupakan kasus tindak pidana kemudian dapat
berakhir menjadi kasus sengketa perdata.
Para punggawa penegak hukum (Advokat / Pengacara /
Lawyer, Polisi, Jaksa Dan Hakim), juga memberikan pandangan yang berbeda
terhadap fenomena semakin banyaknya kasus (sengketa) perdata menjadi kasus
tindak pidana tersebut. Tidak terkecuali para akademis di bidang hukumpun juga
memberikan pendapat hukum yang beragam pula.
Menurut kami, sebenarnya, tidak ada kasus (sengketa)
perdata berubah menjadi kasus tindak pidana, namun yang benar adalah didalam
peristiwa (kejadian) hukum yang dilakukan para subjek hukum secara keperdataan,
secara bersamaan pula kejadian atau
peristiwa hukum itu juga mengandung unsur-unsur pidana sebagaimana yang diatur
dalam Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHPerdata).
Contoh peristiwa atau kejadian hukum yang dilakukan
secara perdata yang juga mengandung unsur-unsur pidana bila ada perbuatan yang
dilanggar oleh para pihak adalah perbuatan atau peristiwa hukum dalam hal
melakukan hukum perjanjian.
Berdasarkan ketentuan Pasal 1320 KUHPerdata, suatu
perjanjian itu dapat dikatakan sah jika memenuhi 4 (empat) unsur, yaitu:
1. Adanya kesepakatan pengikatan diri;
2. Kecakapan para pihak yang membuat suatu perikatan;
3. Adanya sesuatu pokok persoalan tertentu;
4. Adanya suatu sebab yang tidak dilarang;
Secara teori hukum, suatu hubungan dalam perjanjian
adalah suatu hubungan keperdataan yang mengikat antara debitur dengan kreditur,
yaitu debitur mempunyai kewajiban untuk memenuhi prestasi, berupa:
1. Menyerahkan suatu barang tertentu;
2. Melakukan suatu perbuatan tertentu;
3. Tidak melakukan suatu perbuatan tertentu;
Nah, apabila debitur tidak mampu memenuhi prestasi sebagaimana
yang dijelaskan diatas, maka hal tersebut disebut dengan wanprestasi. Wanprestasi
terjadi bila :
1. Debitur melakukan hal yang seharusnya tidak boleh
dilakukannya;
2. Debitur terlambat memenuhi kewajiban sebagaimana
yang telah diperjanjikan;
3. Debitur melakukan kewajiban, namun masih kurang
atau sebagian dari seluruh kewajiban yang telah diperjanjikan;
4. Debitur sama sekali tidak memenuhi kewajiban;
Menurut pendapat para ahli hukum atau pakar hukum, bahwa
suatu perbuatan dianggap telah melanggar hukum dan dapat dikenakan sanksi hukum
pidana, harus dipenuhi dua unsur, yaitu:
1. adanya unsur actus reus (physical
element);
2. dan unsur mens rea (mental
element);
Mens Rea adalah merupakan
sikap batin dari para pelaku perbuatan tindak pidana. Berbeda dengan Actus Reus yang menyangkut
perbuatan yang melawan hukum (unlawful act), mens rea mencakup
unsur-unsur pembuat tindak pidana yaitu sikap batin yang disebut unsur
subyektif suatu tindak pidana atau keadaan psikis pembuat (Utrecht, 1960: 257
).
Bahwa dalam perbuatan tindak pidana, faktor adanya kesengajaan
yang dilakukan seseorang adalah merupakan inti perbuatan (animus homis est
anima scripti). Dalam konteks ini, perlu kiranya kita memahami apa-apa saja
yang dapat dikategorikan jenis-jenis kesengajaan, yakni:
1. Kesengajaan sebagai maksud (opzet als oogmerk);
maksud kesengajaan disini adalah untuk mencapai suatu tujuan, dengan artian antara
motivasi seseorang yang melakukan perbuatan, tindakan dan akibatnya benar-benar
terwujud. Motivasi seseorang sangat memperngaruhi perbuatanya (affectio
tua nomen imponit operi tuo)
2. Kesengajaan sebagai kepastian (opzet bij
noodzakelijkheids of zekerheidsbewustzijn), maksudnya adalah kesengajaan yang
mengakibatkan dua akibat, yaitu:
a. akibat pertama adalah pasti dikehendaki oleh pelaku;
b. akibat kedua adalah yang tidak dikehendaki namun
pasti terjadi;
3. Kesengajaan sebagai suatu kemungkinan, maksudnya adalah
bahwa suatu kesengajaan yang mungkin menimbulkan akibat yang tidak pasti
terjadi namun merupakan suatu kemungkinan yang bisa terjadi.
Menurut Prof. Dr. Eddy O.S Hiariej, S.H, M.H, seorang Guru
Besar Hukum Pidana UGM corak kesengajaan sebagai kemungkinan dalam perkembangannya
mengalami derivat atau keturunan, yakni:
1. Dolus Antecedens. Dolus Antecedens adalah diartikan
sebagai kesengajaan yang ditempatkan terlalu jauh sebelum tindakan dilakukan.
2. Dolus Subsequens. Dolus Subsequens adalah diartikan
kesengajaan terhadap suatu perbuatan yang sudah terjadi.
Sekarang kita akan telaah hubungan peristiwa perdata
yang peristiwanya termaktub mengandung unsur-unsur tindak pidana, yaitu :
1. Peristiwa
hubungan perdata yang masuk kategori unsur tindak pidana penggelapan
Pasal 372 KUHPidana berbunyi : "Barang siapa
dengan sengaja dan dengan melawan hukum memiliki barang sesuatu yang seluruhnya
atau sebagian adalah kepunyaan orang lain, tetapi berada dalam kekuasaanya
bukan karena kejahatan, diancam karena penggelapan, dengan pidana penjara
paling lama empat tahun atau denda paling banyak sembilan ratur rupiah".
Contoh kasus:
Misalnya pada bulan Desember 2014 Amier berhutang uang
sejumlah Rp. 100.000.000,- (seratus juta rupiah) kepada Badier. Lalu kemudian Amier
berjanji akan mencicil hutang tersebut selama 4 (empat) bulan dengan
membayar 25 juta untuk setiap bulannya. Selanjutnya pada bulan Januari
2015, Pebruari 2015, dan Maret 2015, Amier lancar-lancar mencicil. Kemudian
pada bulan April 2015, Amier tidak membayar hutangnya, bukan karena tidak
memiliki uang, namun karena Amier memiliki itikad jahat untuk tidak membayarkannya
sehingga dia berpikir akan mendapat keuntungan.
Dalam kasus diatas, kejadian ini masuk dalam katogei dolus
subsequens, oleh karena si Amier menempatkan kesengajaan setelah terjadinya
perjanjian itu. Sehingga Amier dapat diberi sanksi pidana.
2. Peritiwa hubungan
perdata yang masuk kategori unsur tindak pidana penipuan
Tindak pidana penipuan adalah perbuatan sebagaimana
diatur dalam ketentuan Pasal 378 KUHPidana pada Bab XXV tentang penipuan atau perbuatan
curang.
Adapun bunyi Pasal 378 KUHP, selengkapnya adalah
sebagai berikut: “Barangsiapa dengan maksud untuk menguntungkan diri sendiri
atau orang lain secara melawan hukum, dengan memakai nama palsu atau martabat
palsu, dengan tipu muslihat, ataupun rangkaian kebohongan, menggerakkan orang
lain untuk menyerahkan barang sesuatu kepadanya, atau supaya memberi hutang maupun
menghapuskan piutang, diancam karena penipuan dengan pidana penjara paling lama
empat tahun”.
Berdasarkan rumusan dan ketentuan pasal 378 KUHPidana tersebut diatas, mengandung unsur-unsur perbuatan penipuan adalah:
1. Dengan maksud untuk menguntungkan diri sendiri
dengan melawan hukum;
2. Menggerakkan orang untuk menyerahkan barang sesuatu
atau supaya memberi hutang maupun menghapuskan piutang;
3. Dengan menggunakan salah satu upaya atau cara
penipuan (memakai nama palsu, martabat palsu, tipu muslihat, rangkaian
kebohongan);
Dalam pasal 378 KUHPidana ini, rumusan delik sesuai
dengan corak adanya kesengajaan sebagai maksud. Oleh karena terdapat kata
"dengan maksud", maka konsekuensi logisnya adalah bahwa dalam
hal suatu perjanjian yang dibuat dengan itikad tidak baik oleh salah satu pihak
untuk merugikan orang lain dalam perjanjian itu setelah perjanjian itu terjadi.
Contoh peristiwa hukumnya:
a. Pinjaman
modal untuk usaha kemudian digunakan untuk membeli mobil
Terjadinya praktek penyalahgunaan penggunaan uang yang
dipinjam namun tidak sesuai dengan tujuan peruntukannya, dapat juga dituntut
dengan tindak pidana penggelapan.
Contoh kasus misalnya, jika kesepakatan awal pinjaman
uang antara Amier dengan Badier adalah uang untuk digunakan sebagai modal
usaha, namun ternyata Amier menggunakan uang pinjaman dari Badier tersebut untuk
membeli mobil pribadi, maka si penerima uang (incasu Amier) yang membeli mobil
tersebut dapat dituntut atas dasar dugaan tindak pidana penggelapan (Pasal 372
KUHPidana).
b. Pengurusan izin tidak dilakukan tapi uang tidak dikembalikan
Dalam beberapa kasus peristiwa hukum yang terjadi,
suatu kewajiban yang seharusnya dilaksanakan dalam perjanjian tidak berhasil
dipenuhi (terlaksana), namun uang pembayaran yang sudah diserahkan tidak
dikembalikan kepada si empunya. Bila peristiwa hukum seperti ini terjadi, maka dapat
peristiwa hukum ini dapat menjadi perkara dugaan tindak pidana penipuan dan / atau
penggelapan (Pasal 372 KUPidana).
Contoh kasus misalnya, apabila Amier adalah pihak yang
berjanji akan mengurus suatu izin usaha si Badier, namun hingga waktu yang
telah ditetapkan dalam perjanjian, ternyata izin usaha Badier yang dijanjikan Amier
tidak kunjung terbit, dan ternyata uang pembayaran izin tersebut tidak
dikembalikan Amier, maka hal tersebut sudah dapat diajukan tuntutan dugaan
tindak pidana penipuan dan atau penggelapan sebagaimana diatur dalam Pasal 372
KHUPidana.
Demikian tulisan kami tentang kasus hubungan
keperdataan yang bisa menjadi kasus tindak pidana. Semoga bermanfaat. (NHS)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
No Link Aktif, Harap Maklum BOSS.....