Rekan blog advokat silaen & associates online, memahami
keberadaan profesi advokat Indonesia, tidak terlepas dari sejarah bagaimana
lahirnya profesi advokat tersebut di Indonesia. Lahirnya profesi advokat
diawali pada jaman penjajahan kolonial Belanda di Indonesia? Mengapa? Hal
ini disebabkan pada jaman pemerintahan penjajahan Belanda tersebutlah dianggap
sebagai tonggak sejarah “sang ibu” yang melahirkan seorang anak yang diberi "nama advokat".
Namun, pada masa itu, kehadiran profesi advokat tidak dapat tumbuh
dan berkembang disebabkan kurangnya perhatian sang ibu yang melahirkannya,
sehingga bila kita lihat kondisi profesi advokat dijaman tersebut ibarat anak
kecil yang baru dilahirkan tetapi ditinggalkan mati oleh ibunya (pendapat karangan
Daniel S. Lev, menyebutnya sebagai “anak
yatim”). Akan tetapi, walaupun lahir dan menjadi anak yatim, profesi
advokat tetap hidup dan terus berkembang, cukup tangguh dan mengalami proses yang
sangat menentukan bentuk peran dan fungsinya seiring dengan usianya yang
semakin dewasa.
Profesi advokat Indonesia yang lahir dari rahim sang ibunya, yakni
kolonial penjajahan Belanda, maka tak dapat dipungkiri darah yang mengalir dalam
tubuh advokat Indonesia mengalir deras / kental wujud dan sifat sang ibu (dalam
konteks ini adalah sistem hukum kolonial Belanda). Sehingga, diawal-awal
keberadaan advokat Indonesia dijaman penjajahan kolonial Belanda adalah secara
utuh model dan penampilan advokat Indonesia tidak ada bedanya dengan model
advokat Belanda.
Fungsi
dan Peran Advokat di Indonesia
Dalam setiap negara, fungsi dan peranan advokat berbeda-beda, di
Indonesia saja sejak lahirnya profesi advokat, kita mengenal ada
pengklasifikasian antara pengacara praktek dan advokat, dimana peran
dan kedudukan profesi ini berbeda, demikian pula dengan persyaratannya juga tidak
sama.
Agar tulisan ini tidak melebar, penulis hanya fokus pada sejarah
keadvokatan Indonesia mulai dari jaman kolonial Belanda hingga jaman millenium. Jadi, tidak akan menjelaskan lebih jauh tentang peran dan kedudukan advokat
Indonesia dengan advokat yang ada negara-negara lain.
Membahas peran dan kedudukan advokat tidak terlepas dari sistem
hukum yang dianut negara tersebut, dimana profesi advokat tumbuh dan berkembang
bersama-sama dengan negara tersebut. Nah, karena adanya hubungan yang erat
dengan sistem hukum yang diterapakan oleh negara, maka fungsi dan peran advokat
juga akan berasimilasi. Misalnya, satu negara menerapkan sistem hukum perdata
tertulis, maka peran advokat akan dianggap kurang dibutuhkan bila dibandingkan
dengan negara yang masih menerapkan sistem hukum perdata tidak tertulis.
Adanya perbedaan kedua sistem penerapan hukum perdata sebagaimana
diuraikan diatas, apakah tertulis atau tidak tertulis juga secara langsung akan
mempengaruhi sistem pendidikan hukum pada universitas / fakultas hukum pada kedua
sistem penerapan hukum perdata tersebut, demikian pula ketertarikan masyarakat yang
ingin belajar hukum tentu pula akan berbeda.
Pada negara-negara yang memiliki sistem penerapan hukum perdata
tertulis, di perguruan tinggi / universitas yang ada fakultas hukumnya, maka sangat
logis bila ada jurusan spesialisasi advokat wajar tidak memiliki perhatian yang
khusus untuk itu, kemungkinan besar fakultas hukum yang bersangkutan juga tidak
akan pernah memberikan arah atau menjadi pengilham tumbuhnya watak profesi
hukum tersebut, bahkan bisa saja lebih parah lagi (disinyalir) cenderung
mengotak-ngotakkan profesi hukum itu sendiri di negara yang bersangkutan.
Perlu menjadi renungan bersama, bahwa Pemerintahan Kolonial Belanda
meskipun sebagai ibu kandung yang melahirkan advokat Indonesia, ternyata
sejarah mencatat bahwasanya Pemerintahan Kolonial Belanda tidak pernah
mendorong orang-orang Indonesia untuk berprofesi menjadi advokat. Tak ayal pada
jaman Hindia Belanda, profesi advokat ada ditangan orang-orang Eropa, sehingga
yang ada saat itu hanya advokat dan notaris-notaris Belanda, pengusaha Cina pun
saat itu cenderung lebih menyukai advokat Belanda. Mengapa hal ini bisa
terjadi? Jawabannya karena adanya klasifikasi hukum dan perbedaan status, belum
lagi sistem hukum dikuasai oleh para pejabat Belanda. Dijaman tersebut tidak
seorang pun keturunan cina yang berprofesi sebagai advokat. Orang Indonesia
pribumi aslilah yang pertama kali memasuki profesi advokat dijaman tersebut,
meskipun bernasib sebagai anak yatim dari Hindia Belanda.
Kok bisa begitu? Karena pemerintah kolonial Belanda beranggapan
bahwa masalah-masalah pribumi (khususnya hukum adat) tidak begitu rumit, alasan
ini pulalah yang mengilhami lahirnya H.I.R yang dianggap pembentukannya sangat
sederhana dan adanya kecenderungan orang-orang pribumi yang berperkara tidak
memerlukan jasa advokat.
Berdasarkan pendapat Daniel S.Lev dalam bukunya di halaman 303 cetakan
ke-3, Mei 2013, bahwa orang-orang pribumi yang pertama sekali belajar hukum
adalah masyarakat Jawa, yakni dari golongan priyayi Jawa. Sasaran belajar hukum
saat itu adalah sebagai persiapan untuk menjadi pegawai pemerintah sehingga
anak-anak golongan priyayi harus dimodernkan untuk belajar ilmu hukum, namun bukan
untuk dikembangkan peran dan fungsinya bagi kehidupan masyarakat Indonesia saat
itu.
Ide unifikasi hukum tahun 1920-an oleh kolonial belanda, merupakan
titik awal munculnya pengacara pribumi di Indonesia, ide ini menjadi perdebatan
hangat apakah mendorong modernisasi atau menghalang-halangi. Adanya perdebatan
yang sangat sengit terlihat antara C. Van Vollenhoven di Leiden dan B. Terhaar
di Hindia Belanda. Kedua guru besar hukum ini sangat dihormati oleh murid-murid
Indonesia yang belajar di fakultas hukum saat itu, mereka yang dengan
sukses menggagalkan unifikasi hukum ditanah jajahan dengan bantuan
murid-muridnya sarjana hukum Indonesia yaitu R. Soepomo. Merekalah yang terus
mendorong perlu dilakukannya penelitian hukum adat , sebagai kebijaksanaan
peradilan yang baru yang berkenan dengan adat setempat, bahkan diharapkan dapat
memulihkan lembaga-lembagai peradilan adat yang sudah rusak ketika itu. Latar
belakang inilah menjadi tempat dari titik sejarah dan latar belakang lahirnya
para advokat Indonesia.
Pada saat Pemerintah Hindia Belanda di Batavia mengumumkan
pendirian sekolah hukum bagi orang Indonesia, ternyata saat itu sangat
ditentang keras oleh ahli-ahli hukum Belanda dengan memunculkan alasan-alasan
klasik karena dianggap “orang pribumi” tidak siap untuk memiliki
kualitas pendidikan dan pekerjaan hukum yang dianggap sangat berat. Baru,
setelah tahun 1924 sebuah Fakultas Hukum didirikan di Batavia dengan nama
“Rechtshogescholl” dengan jumlah
siswa sebanyak 137 orang, 36 orang Belanda, 25 orang Cina, 70 orang orang
pribumi asli, yang lulus untuk mendapatkan kelas bergengsi melanjutkan lagi ke
Leiden Belanda.
Pada tahun 1940 jumlah penduduk Indonesia asli memiliki
hampir 300 orang bergelar sarjana hukum antara lain: 108 orang belajar dari
Leiden, 9 orang dari Utrecht, 146 orang dari Rechtsogeschool, dari jumlah
itu diperkirakan 175 orang Jawa, 20 orang dari Suku Sunda, 15 orang dari
Suku Minang, 10 orang orang Batak, 20 orang dari berbagai daerah Sumatra,
10 orang dari berbagai bagian daerah Sulawesi, 2 orang dari Kalimantan, selebihnya
dari Bali dan Ambon, tetapi semua niat awal Pemerintah Belanda memberikan
kesempatan pendidikan hukum untuk orang-orang pribumi asli diatas adalah
bertujuan untuk kepentingannya dalam mengisi formasi pegawai negeri Belanda,
bukan murni untuk mengemban tugas dan tanggung jawab sebagai advokat.
Untuk memahami peran dan fungsi advokat, maka kebebasan profession
adalah sangat mutlak melekat dalam diri advokat, tanpa itu maka advokat akan
kehilangan rohnya. Kebebasan itu tidak sekedar demi menjalankan profesinya semata,
akan tetapi untuk mampu mewujudkan kepentingan yang lebih luas, yakni
terciptanya lembaga peradilan yang bebas (independent judiciary) yang merupakan persyaratan dalam penegakan
hukum (rule of law) dalam
menegakkan nilai-nilai hak azasi manusia, demokrasi dan sekaligus pengawal
konstitusi dalam negera hukum modern saat ini.
Setelah Indonesia merdeka tahun 1945, profesi advokat yang dijaman
Pemerintahan Hindia Belanda seperti anak yang kehilangan ibunya (yatim),
ternyata juga tidak mendapatkan perhatian dari ibu pertiwi Indonesia, padahal
peran advokat itu sudah sangat dirasakan Bung Karno saat berada di peradilan
Landraad Bandung pada tahun 1930, saat Bung Karno yang diadili dengan tuduhan
menghasut (makar) terhadap Pemerintahan Hindia Belanda yang didampingi 3 (tiga)
orang pengacara, yaitu: 1) Mr. Sartono; 2) Mr. Sujudi dan 3) Mr. Sastro
Mulyono, dimana dalam perkara tuduhan makar tersebut, Soekarno juga membacakan
pembelaannya sendiri dengan judul “Indonesia
Menggugat”, tentu isi dari pembelaannya ini sarat dengan
pemikiran-pemikiran hukum yang disampaikan oleh para advokatnya saat itu.
Namun menyedihkan walaupun Bung Karno pernah dibela para advokat
dan peran advokat dalam keanggotaan BPUPKI dan PPKI yang merumuskan UUD 1945,
akan tetapi tidak satu pasal pun dalam UUD1945 ada ketentuan menyangkut
perlindungan advokat itu sendiri, padahal Pasal 24 dan Pasal 25 ada menyangkut
Kekuasaan Kehakiman.
Nasib advokat sebagai anak yang tidak mendapat perhatian terus
berlanjut saat adanya perubahan UUD1945 menjadi UUD RIS 1949 juga tidak ada
ketentuan pasal yang mengatur mengenai advokat itu sendiri, sementara Badan
Kejaksaan atau Kejaksaan Agung sudah dicantumkan, kondisi ini terlus
berlanjut sampai UUD Sementara Tahun 1950 advokat juga masih tetap kehilangan
ibunya.
Penggunaan nama advokat sebagai nama resmi dalam sistem peradilan hukum
di Indonesia, baru muncul saat pembentukan Susunan Kehakiman dan kebijakan untuk mengadili, sehingga belum ada kata yang baku, yang ada hanya ada sebutan
dengan Pengacara Praktek, Penasihat Hukum. Dalam UU No. 14 Tahun 1970 tentang
Pokok-Pokok Kekuasaan kehakiman dan UU No. 14 Tahun 1985 Tentang Mahkamah
Agung dan UU No. 2 Tahun 1986 Tentang Peradilan Umum menggunakan sebutan
Penasihat Hukum, akan tetapi dalam praktek administratif menggunakan sebutan
yang berbeda yang bersifat inkonsisten. Karena ada perbedaan tersebut, Departemen
Kehakiman menggunakan sebutan Pengacara (1984), Pengadilan Tinggi menggunakan
sebutan Pengacara / Advokat.
Pada jjaman Orde Baru dan setelah jaman orde baru (sebelum tahun
2003), advokat masih tetap kehilangan ibu karena tidak pernah ada perhatian
yang serius dari Negara untuk membesarkan advokat itu sendiri, walaupun
perannya terus dirasakan oleh Negara dan Masyarakat Indonesia dalam penegakan
hukum, hak azasi manusia dan pengawalan konstitusi bahwa advokat itu merupakan
bagian penting dari lembaga penegak hukum yang terdiri dari Pengadilan (Hakim),
Jaksa, Polisi, dan diharapkan advokat menjadi lembaga penegak hukum yang
setara dan sederajat.
Dijaman ini, Negara dan para penegak hukum masih dipandang sebelah
mata karena dianggap objek pelengkap saja dalam penegakan hukum. Karena dijaman
ini pengangkatan pengacara/advokat menjadi kewenangan negara melalui Departemen
Kehakiman, contoh konkritnya untuk ijin Pengacara Praktek dikeluarkan oleh
Pengadilan Tinggi setempat, sedangkan ijin advokat dikeluarkan oleh Departemen
Kehakiman. Dalam menjalankan fungsi dan perannya pengacara wilayah hukum
setingkat wilayah pengadilan tinggi, dan advokat wilayah kerjanya mencakup
seluruh wilayah NKRI, demikian pula dibedakan administrasi pengawasannya
yaitu Pengadilan Tinggi untuk pengawasan para Pengacara Praktek, Kementerian
Kehakiman untuk pengawasan advokat. Jangan lupa baca juga tulisan kami yang berjudul: apa itu advokat. Sekian dan terima kasih.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
No Link Aktif, Harap Maklum BOSS.....