19 April 2016

Jaminan Perorangan Pada Lembaga Keuangan (Bukan) Bank Di Medan

Pemberlakuan jaminan perorangan pada praktek di Lembaga Keuangan (Bukan) Bank (LKB dan LKBB) tidak asing kita dengar. Peran dari lembaga keuangan (bukan) bank dalam rangka mewujudkan masyarakat Indonesia yang adil dan makmur berdasarkan Pancasila dan UUD 1945 telah sama-sama dapat kita rasakan. Tidak hanya itu saja, LKB dan LKBB secara berkesinambungan telah turut serta bersama-sama dengan sektor lainnya berupaya meningkatan pelaksanaan pembangunan nasional, juga sudah sangat dirasakan oleh masyarakat, khususnya usaha kecil menengah (UKM) dan koperasi. Untuk itu, guna mencapai tujuan dimaksud, maka didalam pelaksanaan pembangunan ekonomi tetap harus memperhatikan asas keserasian, keselarasan dan keseimbangan pada setiap unsur-unsur yang termaktub dalam pembangunan, meningkatkan pertumbuhan ekonomi serta terciptanya stabilitas ekonomi dan stabilitas nasional.

Pemberian Jaminan Perorangan Dalam Hukum Perdata Bisnis di Dunia Perbankan Nasional

Sebagaimana kita ketahui bersama, bahwasanya kehidupan ekonomi modern tidak dapat lepas begitu saja dari aspek dan tujuan pemberian kredit sebagai upaya riil untuk mengangkat aspek pertumbuhan modal dan investasi dunia usaha dikalangan para pengusaha sebagai pelaku usaha atau pelaku bisnis. Dalam kondisi perekonomian yang sedang mengalami sedikit kelesuhan seperti saat ini, karena sektor riil yang sangat lamban pertumbuhannya, maka sangat dibutuhkan adanya suntikan uang/dana fresh money baik itu dari pihak pemerintah melalui Lembaga Keuangan Bank (LKB) ataupun Lembaga Keuangan Bukan Bank (LKBB) kepada para pengusaha sebagai pelaku usaha dan pelaku bisnis yang memanfaatkan dana tersebut sebagai modal kerja, untuk meningkatkan profibilitas perusahaan serta dalam rangka menggairahkan kembali kondisi perekonomian bangsa khususnya pertumbuhan disektor riil dan layanan jasa (misalnya jasa pemberian bantuan hukum dari seorang pengacara maupun konsultan hukum).

Perbankan nasional, khususnya di Medan telah dijadikan oleh para pengusaha perseorangan di Medan sebagai salah satu pilar utama dalam perwujudan pelaksanaan kegiatan bisnis dan juga pembangunan. Dengan kata lain perbankan telah memiliki peranan penting dan sangat menentukan terhadap arah perkembangan kehidupan perekonomian yang lebih baik lagi. Dimana yang salah satunya dengan memberikan suntikan dana berupa pemberian fasilitas kredit kepada para wiraswastawan.

Memang tidak dapat kita pungkiri, bahwa fungsi utama bank adalah => sebagai wahana yang dapat secara optimal menghimpun dana dan selanjutnya secara selektif menyalurkan dana tersebut dalam bentuk kredit kepada para pengusaha sebagai pelaku usaha dan pelaku bisnis yang membutuhkannya. Pihak bank dalam konteks ini adalah bank plat merah” (milik negara) ataupun bank yang dikelola oleh pihak swasta sebagai salah satu insan perbankan nasional berusaha untuk membantu kesulitan modal dana yang dialami oleh para pengusaha sebagai pelaku usaha dan pelaku bisnis. Kredit yang diberikan bank dapat berupa dana yang berasal atau dimiliki oleh bank itu sendiri ataupun dana dari Bank Indonesia yang dapat berupa Kredit Likuiditas Bank Indonesia (KLBI) ataupun kredit-kredit program lainnya kepada para pengusaha sebagai pelaku usaha dan pelaku bisnis baik yang bergerak disektor jasa maupun sektor riil, diharapkan juga akan mampu membantu untuk menopang pesatnya laju pertumbuhan ekonomi dalam rangka pemulihan kondisi perekonomian bangsa dan peningkatan sumber devisa negara.

Tentang Adanya Syarat Jaminan Perorangan
Apabila kita melihat ketentuan dalam Pasal 8 ayat (1) Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1997 tentang Perbankan sebagaimana telah diubah dengan Undang-undang No. 10 Tahun 1998 tentang Perbankan, sangat jelas dikemukakan bahwa dalam memberikan kredit bank wajib mempunyai keyakinan berdasarkan analisis yang mendalam atas itikad dan juga pertimbangan ada tidaknya kemampuan serta kesanggupan nasabah debitur untuk melunasi utangnya atau mengembalikan pembiayaan dimaksud sesuai dengan yang apa yang diperjanjikan.

Dari ketentuan pasal di atas, meskipun tidak disebutkan secara tegas bahwa setiap pemberian kredit, debitur wajib memberikan jaminan (collateral) kepada kreditur tetapi bila kita melihat isi dari penjelasan Pasal 8 ayat (1) dimaksud, ada ditegaskan bahwa untuk memperoleh keyakinan sebagaimana disebutkan diatas, maka bank harus melakukan penilaian yang seksama terhadap watak, kemampuan, modal, agunan dan prospek usaha dari debitur. Kondisi ini merupakan suatu implementasi dari asas prudential banking yang selama ini telah menjadi pedoman bank-bank dalam melakukan pemberian kredit, hal mana jelas tercermin dari adanya prosedur pemberian kredit yang harus dilakukan secara hati-hati dan selektif. Sebagai upaya untuk mengeliminasi resiko kredit macet, maka bank senantiasa memperhatikan aspek jaminan (collateral) sebagai dasar dalam pemberian kredit, disamping juga melalui penilaian watak, kemampuan, modal, dan prospek usaha debitur.

Dalam dunia perbankan, hal-hal penilaian watak, kemampuan, modal, dan prospek usaha debitur ini dikenal dengan istilah Five C’s yaitu : Character (watak), Capacity (kemampuan), Capital (modal), Collateral (agunan) dan Condition of Economic (kondisi atau prospek usaha). Namun demikian, dalam pelaksanaannya, selain penilaian sebagaimana dikemukakan di atas, seringkali bank menuntut pula adanya jaminan tambahan berupa jaminan materiil atau jaminan penanggungan dari pihak tertentu.

Dalam praktek perbankan di Indonesia, jaminan penanggungan ini lazim dikenal dengan istilah “Jaminan Perorangan” (Personal Guarantee). Bank-bank telah menginterprestasikan bahwa adanya jaminan perorangan ini merupakan perangkat yang dapat memberikan perlindungan jaminan yang lebih optimal dan dinilai dapat mendukung keyakinan dalam mekanisme pemberian kredit. Jaminan yang diberikan tersebut dapat mengakibatkan timbulnya kewajiban secara finansial dari pihak penanggung (guarantor) untuk menanggung terhadap pemenuhan prestasi apabila pihak yang dijamin (debitur) melakukan cidera janji (wanprestasi). Pada sebahagian kalangan masih sering terjadi kesalahpahaman mengenai essensi yuridis dengan apa yang disebut jaminan perorangan. Hal ini terjadi mungkin karena kurangnya pemahaman terhadap ketentuan dan peraturan terkait pemberlakuannya, khususnya tentang pasal-pasal dan/atau bab-bab mengenai aturan penanggungan utang sebagaimana yang diatur dalam Kitab Undang-Undang Hukum Perdata (KUHPerdata).

Adanya pemahaman yang keliru ini tercermin dari adanya asumsi, bahwa dengan adanya jaminan perorangan dalam perjanjian kredit, maka kewajiban pemenuhan prestasi dari pihak penanggung bersifat seketika tatkala pihak debitur yang dijamininya melakukan perbuatan wanprestasi. Tentunya, kondisi yang sebenarnya tidaklah bersifat sedemikian sederhana, namun harus melalui beberapa tahapan sebagaimana diatur dalam Pasal 1820 sampai dengan Pasal 1864 KUH Perdata, bab ke-17 (ketujuh belas) tentang Penanggungan Utang. Pasal-pasal tersebutlah yang menjadi dasar adanya pengaturan dan mekanisme akan jaminan perorangan.

Dalam praktek di dunia perbankan, sampai saat ini penggunaan jaminan perorangan masih tetap dipersyaratkan dalam pemberian kredit dikalangan perbankan nasional antara lain untuk:
  1. kredit-kredit yang dikucurkan bagi perusahaan-perusahaan baik yang sudah berbentuk badan hukum maupun badan usaha dengan alasan bahwa kredit atas nama perusahaan tersebut harus dijamin secara pribadi oleh orang-orang ”kunci” di perusahaan tersebut antara lain pemegang saham, direksi atau komisaris yang mengelola dan mengawasi jalannya perusahaan tersebut;
  2. kredit yang dikucurkan bagi perorangan yang dengan alasan-alasan tertentu disyaratkan untuk diberikan jaminan tambahan berupa jaminan perorangan;
  3. kredit yang jumlahnya relatif besar (exposure kredit besar), misalnya pada PT. Bank xxxxxxx Indonesia Tbk, Cabang Medan, ada perbedaan dalam pemberian kredit dengan jaminan perorangan dari sisi jumlah plafond kreditnya, yaitu sebagai berikut:
  • (a) plafond kredit di bawah sampai dengan Rp. 7.000.000.000,- (tujuh milyard rupiah), maka persyaratan pengenaan jaminan perorangan jarang sekali dilakukan karena untuk plafond kredit dibawah sampai dengan Rp. 7.000.000.000,-, nilai jaminan utama (fix assets) wajib mengcover seluruh plafond kredit, sehingga hanya kasus-kasus tertentu saja diwajibkan menambah jaminan perorangan;
  • (b) plafond kredit di atas Rp. 7.000.000.000,-, selalu disyaratkan untuk menambah jaminan perorangan karena alasan-alasan tersebut di atas dan untuk menambah keyakinan dari pihak bank karena jumlah kredit yang besar memiliki risiko yang besar pula. Meskipun masih sering dipersyaratkan dalam proses pemberian kredit, namun eksekusi jaminan perorangan sangat jarang dilaksanakan oleh kalangan perbankan dengan alasan antara lain sebagai berikut:
  1. Jaminan perorangan hanya merupakan jaminan tambahan saja karena sebagian besar hutang debitur telah dicover oleh jaminan utama (fixed asset);
  2. Proses pengajuan gugatan untuk eksekusi jaminan perorangan di pengadilan negeri membutuhkan waktu yang cukup lama dan mengeluarkan biaya yang tidak sedikit pula;
Adapun yang menjadi alasan-alasan pihak bank meminta adanya jaminan tambahan berupa jaminan perorangan sebagaimana yang kami kemukakan diatas, antara lain disebabkan oleh:
  • jaminan fixed assets kurang mencukupi untuk meng-cover jumlah kreditnya;
  • kredibilitas debitur masih diragukan dalam mengelola usahanya;
  • usaha debitur merupakan usaha patungan (joint operation) dengan orang lain;Demikian sedikit ulasan kami tentang eksistensi akan adanya jaminan perorangan terhadap dasar pemberian kredit pada lembaga keuangan (bukan) bank (LKB dan/atau LKBB).
Semoga adanya manfaatnya bagi para pemerhati bidang hukum perdata, dan juga kalangan yang berprofesi sebagai advokat, khususnya yang berkonsentrasi pada bidang hukum bisnis keuangan dan perbankan. Sekian dan terima kasih.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

No Link Aktif, Harap Maklum BOSS.....