Dinamika keikutsertaan calon perseorangan (independen) bertarung pada pilkada
serentak 2017 semakin kuat semenjak pelaksanaan pemilukada gelombang pertama 9
Desember 2015 yang lalu. Kuatnya keinginan tersebut, disebabkan konstelasi calon
perseorangan dalam kancah kehadirannya dalam pemilukada telah diakomodasi
sebagai salah satu peserta yang diperbolehkan ikut dalam pemilihan kepala
daerah melalui Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2015 tentang Perubahan atas
Undang-undang Nomor 1 Tahun 2015 tentang Penetapan Peraturan Pemerintah
Pengganti Undang-undang Nomor 1 Tahun 2014 tentang Pemilihan Gubernur, Bupati,
dan Walikota menjadi Undang-Undang dan juga hasil dari keputusan dari Mahkamah Konsititusi (MK) yang telah berkontribusi dalam menetapkan syarat yang harus dipenuhi oleh seorang calon kepala daerah yang akan maju dalam pilkada, yakni => syarat dukungan untuk calon perseorangan (independen) adalah dengan menggunakan jumlah dalam daftar pemilih tetap (DPT) pada pemilu sebelumnya, bukan menggunakan jumlah keseluruhan masyarakat yang di suatu daerah. Dengan kata lain, persyaratan calon perseorangan yang ingin ikut maju dalam pilkada 2017 yang akan datang semakin dipermudah.
Bila kita urai lebih rinci lagi, tujuan UU pilkada mengakomodasi kepentingan dan keberadaan calon perseorangan untuk
bisa ikut serta dalam pilkada adalah untuk memberikan ruang yang lebih luas
kepada siapapun Warga Negara Indonesia (WNI) untuk menggunakan hak pilihnya.
Tujuan dimaksud juga bukan hanya untuk memilih calon kepala daerah, tetapi juga
untuk dipilih sebagai kepala daerah. Dengan kata lain, calon perorangan
(independen) adalah merupakan jalan yang bisa diambil seseorang untuk bisa
menjadi calon kontestan kepala daerah yang tidak lagi semata-mata hanya melalui
dukungan dari partai politik (parpol), melainkan juga bisa melalui jalur dukungan
rakyat (audiens) secara langsung dengan besaran yang ditentukan oleh
undang-undang (UU) pemilu/pilkada.
Belajar dari pelaksanaan pilkada
sebelumnya, biasanya para calon perseorangan yang maju dalam pilkada akan menjadikan
posisi dan jati dirinya dari kontestan calon perseorangan sebagai "bahan kepentingan kampanye". Dengan kata lain,
konstelasi calon perseorangan (independen) dalam percaturan pilkada akan berusaha
seoptimal mungkin membangun pandangan masyarakat pemilu se-positif mungkin, bahwa dengan tidak
adanya perahu dukungan dari partai politik (parpol), mereka tidak akan terikat
komitmen baik lisan dan tulisan dengan partai politik yang bisa mempengaruhi
dan/atau mereduksi komitmen mengabdikan diri kepada rakyat.
Disamping itu, dinamika yang berkembang
juga menyatakan bahwa konstelasi calon perseorangan seolah-olah memiliki
kesempatan untuk lebih meyakinkan masyarakat pemilih bahwa jika nanti terpilih
menjadi kepala daerah, maka mereka akan benar-benar memperjuangkan nasib dan
kesejahteraan rakyat. Entah memang benar atau tidaknya, mungkin hal ini sedikit
banyak berkaitan dengan “kampanye
politik” dalam rangka membangun opini publik bahwa sebagai calon perorangan
adalah calon yang bebas dari pengaruh partai politik, dengan kata lain “image” untuk bisa bersikap sebagai
kepala daerah yang independen terlepas dari segala kepentingan dan juga partisipasi partai politik sebagai salah satu kendaraan untuk bisa tidaknya ikut dalam pilkada 2017 yang akan datang.
Kami melihat berkembangnya penggunaan istilah calon independen ini, seakan-akan membuat dan atau
mengkondisikan calon perseorangan itu seolah-olah benar-benar dan terbebas dari
pengaruh pihak manapun, khususnya melihat dari kepentingan elit partai politik. Serta seakan-akan
terbentuk opini yang bersifat negatif, bahwasanya calon yang didukung oleh
partai politik akan membuat kepala daerah tersandera dalam membuat dan
melaksanakan kebijakan-kebijakan politik di daerah, khususnya kebijakan yang
terkait dengan pelaksanaan pembangunan daerah yang dapat memberikan kemakmuran
kepada rakyat.
Secara prinsipil, independensi seseorang
yang menjabat sebagai kepala daerah tidak selamanya ditentukan oleh ada atau
tidaknya dukungan yang diberikan oleh partai politik. Dengan kata lain, secara
umum independensi selama ini sering dipahami sebagai ketiadaan ketergantungan atau kepentingan kepada pihak lain. Padahal sebenarnya, makna independensi sesungguhnya merupakan
kecenderungan atau keberpihakan kepada kebenaran. Oleh karenanya, jikalau ada
pihak lain yang mendukung justru terus memberikan dukungan agar orang yang
didukung melakukan tindakan-tindakan yang benar dan berpihak kepada kebenaran,
termasuk kebenaran yang berasal dari dan/atau berkaitan dengan rakyat, dukungan
tersebut justru akan memperkuat independensi yang dimaksud. Dengan kata lain, independensi
dapat diartikan sebagai sikap konsistensi seseorang untuk melakukan dan/atau memperjuangkan
kebenaran dan keadilan, dimana dalam pelaksanaan pada konteks kepemimpinan,
independensi bisa dipahami sebagai sikap yang menghasilkan kebijakan yang benar
serta tidak menyelewengkan kekuasaan untuk kepentingan sendiri maupun
golongannya.
Jika independensi diartikan sebagai
kebebasan yang lepas dari kepentingan pihak lain yang mempengaruhi kebijakan politik kepala daerah, maka
belum tentu juga seorang kepala daerah yang saat maju mencalonkan diri
merupakan calon perseorangan adalah orang yang yang benar-benar independen.
Bahkan, bisa saja saat maju sebagai calon kepala daerah, yang bersangkutan justru
didukung oleh pihak-pihak yang memiliki berbagai kepentingan. Munculnya asumsi
ini disebabkan hampir tidak ada pilkada yang benar-benar terbebas dari pengaruh
para pelacur kekuasaan.
Dalam era politik modern yang liberal
ini, sudah bukan rahasia umum lagi bahwasanya biaya yang dibutuhkan untuk bisa
maju sebagai calon apapun juga (termasuk mau menjadi kepala daerah) adalah
membutuhkan biaya yang sangat besar, yang mana untuk ukuran daerah yang tidak
terlalu besar, biaya yang diperlukan untuk pasangan calon yang maju dalam
pilkada, estimasinya bisa berkisar belasan miliar rupiah. Karena itu, kalau
boleh dikatakan bahwa tidak ada seorang pun calon kepala daerah yang membiayai
pencalonannya sendiri, tanpa ada dukungan dan bantuan dana dari pihak lain.
Dalam konteks inilah para calon perseorangan tersebut berada pada persimpangan
jalan terbebas dari kungkungan kepentingan para penyumbang.
Kondisi diataslah yang merupakan salah
satu celah dan jalan masuk bagi pelacur kekuasaan untuk memasukkan berbagai
tujuan dan kepentingannya dibalik keikutsertaannya mendanai pencalonan calon kepala daerah.
Termasuk tujuan tersebut adalah supaya ketika calon yang mereka dukung menang
dalam pilkada, mereka bisa mendapatkan bagian keuntungan materi dengan terlibat
dalam pelaksanaan dan pengerjaan berbagai proyek pemerintah daerah, yang mana pada
era otonomi daerah, kepala daerah memiliki kewenangan yang sangat luas dan besar
dalam mengelola setiap jengkal daerahnya.
Adanya kewenangan yang besar itulah, acap kali digunakan untuk mengatur
pembagian jatah rupiah dari berbagai sumber daya kekayaan daerah, hal ini
sangat dimungkinkan karena dalam salah satu jalan untuk hal pengelolaan daerah adalah
ada banyak pihak yang berasal dari luar pemerintahan yang harus dan turut serta
dilibatkan, disebabkan tidak mungkin pemerintah daerah akan mampu mengerjakan sendiri
setiap proyek yang ada di daerahnya.
Memang harus kita akui, bahwa jalan untuk
mengoptimalkan pembangunan daerah, diperlukan pihak-pihak di luar struktur
pemerintahan untuk turut serta berperan aktif (disamping sumber daya manusia
yang dimiliki pemerintah daerah sangat terbatas). Namun, tidak sedikit pula dari
orang-orang yang mau berkorban memberikan dukungan finansial, karena
semata-mata ingin membantu tanpa pamrih kemenangan pasangan calon kepala daerah
yang dianggap memiliki kapasitas, kapabilitas, kompetensi dan juga elektabilitas yang
mumpuni untuk memajukan daerah.
Nah, indikasi adanya jalan masuk bagi para
pelacur kekuasaan yang mempunyai niat buruk inilah, acap kali menimbulkan
terjadinya penyelewengan kekuasaan yang dilakukan oleh para kepala daerah untuk kepentingan para supportingnya. Misalnya,
lelang proyek bisa diatur sedemikian rupa sehingga pihak-pihak yang dulunya telah
berkontribusi dalam pemenangan pilkada bisa dikondisikan akan menjadi pemenang
lelang proyek. Di sinilah “main mata” itu terjadi antara kepala daerah dengan
para pelacur kekuasaan dalam pilkada. Karena itu, tidak lain yang terjadi
adalah merupakan perpindahan ketergantungan kepala daerah yang sebelumnya
kepada partai politik dengan institusi yang jelas, kepada pihak-pihak yang
tidak tampak di permukaan tapi telah turut berkontribusi (khususnya dalam
konteks finansial) dalam pelaksanaan pertarungan di pilkada. Memang, mereka (pelacur
kekuasaan) tidak memiliki kontribusi sama sekali dalam pembangunan kehidupan
politik di daerah, karena memang tujuannya bukan untuk itu, dan hanya untuk
mendapatkan keuntungan material semata apabila calon yang mereka dukung
nantinya memangkan pilkada. Disinilah para pelacur kekuasaan akan terus mengkungkung independensi calon perseorangan yang dimaksud.
Dengan uraian kami diatas, posisi sebagai calon perseorangan juga bisa dijadikan sebagai “kamuflase” belaka sebagai jalan memunculkan image positif bagi calon pemilih. Padahal, sesungguhnya hal tersebut tidak menutup kemungkinan akan ada pihak-pihak lain yang terlibat dan berkontribusi dalam pilkada dengan harapan akan dapat mengeruk kekayaan daerah untuk kepentingan sendiri. Bahkan ada juga konstelasi para pelacur kekuasaan ini yang bermuka 2 (dua), dimana mereka bisa berkontribusi kepada semua calon kepala daerah yang akan ikut maju, baik dari calon perseorangan maupun dari partai politik (parpol), dengan maksud dan tujuan agar siapa pun yang menang, pelacur kekuasaan ini akan tetap mendapatkan kesempatan untuk bermain dan mengeruk keuntungan material. Karena itu, masyarakat sebaiknya harus tetap menggunakan logika berpikir dalam menilai bahwa calon perseorangan yang merupakan calon kepala daerahnya adalah calon yang benar-benar bersih dan/atau steril dari berbagai kepentingan sesaat yang bisa mengganggu komitmen kepala daerah untuk membangun daerahnya dan rakyat. Serta juga masyarakat harus memahami bahwa bila tanpa adanya dukungan partai politik yang memiliki kekuatan politik penyeimbang di lembaga legislatif (DPRD), kepala daerah bisa mengalami kesulitan dalam menjalankan setiap program yang telah dicanangkannya. Dengan kata lain, bisa saja program dimaksud tidak akan mendapatkan persetujuan dari lembaga legislatif. Disamping itu pula, masyarakat jangan terlalu cepat menilai bahwa sikap dan/atau kebijakan politik yang tidak menyetujui kebijakan politik kepala daerah kemudian dianggap sebagai sikap politik yang tidak pro rakyat atau anti pembangunan daerah.
Dengan uraian kami diatas, posisi sebagai calon perseorangan juga bisa dijadikan sebagai “kamuflase” belaka sebagai jalan memunculkan image positif bagi calon pemilih. Padahal, sesungguhnya hal tersebut tidak menutup kemungkinan akan ada pihak-pihak lain yang terlibat dan berkontribusi dalam pilkada dengan harapan akan dapat mengeruk kekayaan daerah untuk kepentingan sendiri. Bahkan ada juga konstelasi para pelacur kekuasaan ini yang bermuka 2 (dua), dimana mereka bisa berkontribusi kepada semua calon kepala daerah yang akan ikut maju, baik dari calon perseorangan maupun dari partai politik (parpol), dengan maksud dan tujuan agar siapa pun yang menang, pelacur kekuasaan ini akan tetap mendapatkan kesempatan untuk bermain dan mengeruk keuntungan material. Karena itu, masyarakat sebaiknya harus tetap menggunakan logika berpikir dalam menilai bahwa calon perseorangan yang merupakan calon kepala daerahnya adalah calon yang benar-benar bersih dan/atau steril dari berbagai kepentingan sesaat yang bisa mengganggu komitmen kepala daerah untuk membangun daerahnya dan rakyat. Serta juga masyarakat harus memahami bahwa bila tanpa adanya dukungan partai politik yang memiliki kekuatan politik penyeimbang di lembaga legislatif (DPRD), kepala daerah bisa mengalami kesulitan dalam menjalankan setiap program yang telah dicanangkannya. Dengan kata lain, bisa saja program dimaksud tidak akan mendapatkan persetujuan dari lembaga legislatif. Disamping itu pula, masyarakat jangan terlalu cepat menilai bahwa sikap dan/atau kebijakan politik yang tidak menyetujui kebijakan politik kepala daerah kemudian dianggap sebagai sikap politik yang tidak pro rakyat atau anti pembangunan daerah.
Mudah-mudah kehadiran anak bangsa melalui penggunaan jalur perseorangan (independen) dalam ikut serta dalam pilkada serentak tahap kedua yang akan datang, bisa menanggalkan atau terlepas dari kungkungan banyaknya kepentingan yang bisa saja berada pada saat sebelum berlangsungnya pilkada. Sekian dan terima kasih.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
No Link Aktif, Harap Maklum BOSS.....