Pada setiap
pelaksanaan pemilihan umum (pemilu) dan/atau pilkada serentak 2017 yang makin
dekat, para tokoh-tokoh yang akan menjadi kontestan untuk maju dan akan dipilih
menjadi kepala daerah maupun para partai politik (parpol) yang menyeleksi para tokoh-tokoh
yang berhasrat maju dalam pelaksanaan pemilu (pemilukada) tersebut, sudah mulai
menyiapkan langkah dan strategi yang jitu untuk bisa memenangkan pemilu.
Jika kita simak
lebih lanjut dari setiap adanya pelaksanaan pilkada, meskipun tahapan pemilu berupa kampanye
belum dimulai, sedikit banyaknya telah melakukan kampanye terselubung, misalnya
dengan mulai turun ke desa-desa menemui para masyarakat ataupun audiens-nya,
atau juga dengan secara sengaja melemparkan jargon-jargon dan juga harapan-harapan
melalui media massa (baik cetak maupun elektronik), meskipun terkadang kurang
begitu efektif dan sulit untuk dimengerti oleh masyarakat calon pemilih. Dengan
kata lain, apa sih yang menjadi tujuan dari kampanye, baik itu dilakukan dengan
secara terselubung (belum memasuki masa tahapan kampanye) maupun kampanye yang
telah masuk masa tahapan untuk berkampanye? Apakah tujuannya hanya sekedar
untuk mendapatkan popularitas dengan sering tampil, atau hnaya untuk
meningkatkan elektabilitas semata?
Dalam pandangan
masyarakat umum, istilah arti, pengertian popularitas dan elektabilitas dimaknai
hampir sama, padahal kedua istilah tersebut mempunyai makna dan konotasi yang
berbeda satu sama lain, meskipun kedua-duanya mempunyai kedekatan dan hubungan
korelasi yang besar.
Biasanya kata popularitas
=> lebih banyak digunakan dengan hal-hal yang berhubungan dengan memperkenalkan
seseorang, baik dalam artian positif, maupun negatif. Sedangkan elektabilitas =>
berhubungan dengan kesediaan orang-orang yang akan memilihnya untuk posisi jabatan
tertentu. Dengan kata lain, elektabilitas itu berkaitan dengan jenis jabatan
yang akan diraih. Contoh tentang elektabiltas pada jabatan untuk menjadi Gubernur/Walikota
tidak sama dengan elektabilitas untuk jabatan menjadi Ketua Partai Politik (Parpol).
Dalam pandangan masyarakat,
sering menganggap bahwa orang yang populer sudah dapat dipastikan mempunyai
elektabilitas yang tinggi. Sebaliknya, seorang yang mempunyai elektabilitas yang
tinggi adalah orang-orang yang populer. Memang, sedikit banyaknya kedua pendapat
ini ada benarnya. Tapi, tidak selalu demikian faktanya, dimana popularitas dan
elektabilitas tidak selalu berjalan berbarengan dan terkadang saling bertolak
belakang.
Orang bisa menjadi
popular karena sering tampil di depan umum, atau juga bisa karena sering muncul
pada persoalan-persoalan yang menyangkut masyarakat umum (publik), nah
persoalan bagaimana dianya tampil di depan umum tersebut, merupakan persoalan
lanjutan untuk menilai tingkat elektabilitasnya di mata umum. Kalau tampilnya bersifat
negatif, misalnya dengan menjadi koruptor atau sering melakukan perbuatan yang
melanggar etika, maka hal ini akan sangat berpengaruh terhadap tingkat elektabilitas
yang bisa saja bernilai minus.
Misalnya Ahmad
Dhani yang sekarang sudah menjadi sangat populer. Sudah dikenal secara meluas, dan
sering tampil atau wari-wiri di media massa, apakah dianya memiliki
elektabilitas yang tinggi untuk maju sebagai Calon Gubernur DKI Jakarta Tahun 2017 yang akan datang? Mari sama-sama kita nantikan.
Orang-orang yang
memiliki elektabilitas tinggi adalah orang yang dikenal baik secara meluas
dalam lapisan masyarakat. Namun, untuk dapat dikenal secara lebih luas lagi,
perlu kiranya ada usaha lagi untuk lebih memperkenalkannya. Di sinilah peran
publikasi dan kampanye memegang andil yang sangat penting. Ada orang baik, yang
memiliki kinerja tinggi dalam bidang pekerjaan yang berhubungan dengan jabatan
publik yang ingin dicapai, tapi karena tidak ada yang memperkenalkannya menjadi
tidak elektabel. Sebaliknya, orang-orang yang berprestasi tinggi dalam bidang
yang tidak ada keterkaitannya dengan jabatan publik, boleh jadi mempunyai
elektabilitas tinggi karena ada yang mempopulerkannya secara benar dan tepat. Maka
dari itu, dalam hal penerapannya sangat tergantung pada dua aspek, yaitu:
- Pertama, teknik kampanye yang dipergunakan;
- Kedua, tingkat kematangan masyarakat;
Kedua hal diatas
terjadi, disebabkan dalam masyarakat yang belum berkembang, kecocokan profesi
tidak menjadi persoalan, sedangkan dalam masyarakat yang relative maju latar
belakang profesi para calon menjadi cukup penting dan sangat mempengaruhi. Pemahaman
akan hal ini, perlu kami kemukakan dengan maksud dan tujuan untuk memperjelas
bagi tokoh-tokoh masyarakat yang ingin maju sebagai calon gubernur, bupati, walikota
maupun beserta wakilnya pada waktu pelaksanaan pilkada serentak tanggal 15
Februari 2017 yang akan datang. Begitu juga dengan orang-orang yang akan
berperan aktif sebagai juru kampanye dan atau tim sukses pemenangan para bakal
calon ataupun pasangan calon (paslon) kepala daerah.
Satu hal yang
terpenting bahwasanya tidak semua kegiatan kampanye yang dilakukan akan berhasil
untuk meningkatkan elektabilitas para calon tertentu. Hal ini disebabkan, ada
kampanye yang menyentuh, ada kampanye yang tidak populis dan berhubungan dengan
kepentingan rakyat. Bila kampanye yang dilakukan tersebut bisa menyentuh kepentingan
rakyat, maka bisa diharapkan dapat meningkatkan elektabilitas calon tersebut.
Tapi sebaliknya, bila kampanyenya asal-asalan, tanpa menampilkan kinerja tokoh yang
faktual atau menggunakan kata-kata yang tidak relevan atau juga yang tidak
dapat dipahami secara langsung oleh rakyat, maka akan sia-sia dan hampa adanya.
Disamping itu
untuk meningkatkan popularitas dan juga elektabilitas seseorang, diera modern
ini juga telah mempergunakan kampanye yang berkedok sebagai hasil survei,
dengan tujuan untuk mempengaruhi orang yang sulit membuat keputusan dan atau sekaligus
untuk mematahkan semangat dan keinginan lawan yang akan maju pada pemilu. Memang,
kampanye seperti ini jikalau dilakukan secara periodik dan berkesinambungan dengan
hasil yang sudah didesain sedemikian rupa, juga terkadang sangat efektif dan
efesien. Tetapi, penggunaan teknik kampanye seperti ini dapat merusakkan “image survei” di mata masyarakat pada
masa yang akan datang. Disamping itu juga, secara ilmiah dapat dipandang
sebagai pengkhianatan terhadap ilmu pengetahuan. Karena itu, kami memandang pemerintah
perlu membuat peraturan dan syarat yang ketat kalau memang tidak bisa melarang.
Dengan begitu, kampanye dengan menggunakan survei ini, datanya benar-benar
faktual dan dapat dipertanggungjawabkan bila saatnya nanti terjadi komplain
dari pihak-pihak tertentu.
Demikian tulisan kami tentang popularitas dan juga elektabiltas dalam kaitannya dengan pemilu (pilkada) serentak pemilihan kepala daerah gubernur, bupati, walikota beserta dengan para wakilnya yang sebentar lagi akan dilaksanakan. Semoga bermanfaat. Sekian dan terima kasih.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
No Link Aktif, Harap Maklum BOSS.....