Pasca
Surat Ketua Mahkamah Agung (SKMA) Nomor 73/KMA/HK.01/IX/2015, hampir tiap bulan
kita disuguhkan adanya gambar dan pemberitaan tentang pelantikan dan
pengambilan sumpah dari para advokat baru. Bahkan, tidak heran di era digitalisasi dan
maraknya penggunaan jaringan media sosial (medsos) seperti facebook, instagram,
whatapps dan twitter, para advokat baru tersebut juga memanfaatkan halaman
akunnya untuk memajangkan foto-foto terbaik yang penuh senyum kegembiraan
ketika moment pelantikan dan pengucapan sumpah/janji advokat berlangsung.
Tidak
hanya paras wajah penuh kebahagiaan saja yang terlihat, tapi foto-foto dengan
latar tersematnya jubah atau toga hitam yang lengkap dengan dasi lidah putih (bef) menghiasi dan sekaligus
memberitahukan ke seluruh kolega dan atau para sahabat bahwa dianya telah sah
menjadi advokat dan sah pula menjalankan profesi advokat. Tak lupa juga diikuti
adanya penyampaian kata-kata selamat dan sukses secara formal sampai dengan
gaya canda humoris terucap dalam setiap komentar di halaman akun-akun media sosial
tersebut.
Memang
beberapa tahun belakangan ini, mengenai pelantikan dan pengambilan sumpah calon
advokat oleh ketua pengadilan tinggi setempat telah menjadi persoalan yang
sangat krusial di berbagai daerah di Indonesia, khususnya oleh organisasi advokat
itu sendiri, sehingga dengan keluarnya Surat Ketua Mahkamah Agung (SKMA) Nomor
73/KMA/HK.01/IX/2015 tanggal 25 September 2015 merupakan tonggak sejarah bagi
organisasi advokat untuk menelurkan dan sekaligus menjadi puncak euforia bagi rekan-rekan alumnus sarjana
hukum yang selama ini bergelut atau berkutat dalam lingkup bidang praktisi
hukum, namun masih sulit mencari ”nafkah”
sesuai profesi karena terhalang dengan berbagai aturan atau regulasi yang
tersaji dalam UU No. 18 Tahun 2003 tentang Advokat.
Nah,
adanya halangan atau hambatan dimaksud, bagi sebahagian kalangan ada yang
berasumsi bahwa hal tersebut adalah telah diatur sedemikian rupa (telah disetting
atau telah diskenario) oleh para oknum ”seniorita
advokat” yang duduk di organisasi advokat. Masalah benar atau tidaknya
pendapat diatas, sudah barang tentu dengan berbagai macam dalil pembenaran
versi masing-masing, ataupun hal lainnya yang terkadang membuat kita para
praktisi dunia hukum dan advokat tersenyum simpul sendiri dengan alasan yang
dikemukakan sebagai dasar pembenaran pendapatnya (seperti gara-gara tidak
dilantik dan disumpah jadi sulit mencari nafkah untuk membiayai kebutuhan keluarga,
dan lain sebagainya).
Terbitnya
Surat Ketua Mahkamah Agung Nomor 73/KMA/HK.01/IX/2015 tanggal 25 September 2015
yang telah mengeluarkan aturan bahwa: “setiap ketua pengadilan tinggi memiliki
kewenangan untuk melakukan penyumpahan terhadap para advokat yang telah memenuhi
syarat, baik yang diajukan oleh organisasi advokat yang mengatasnamakan PERADI maupun
pengurus organisasi advokat lainnya,
hingga terbentuknya Undang-Undang Advokat yang baru”. Nah, Surat Nomor
73/KMA/HK.01/IX/2015 tanggal 25 September 2015 ini juga membatalkan Surat Ketua
MA Nomor 089/KMA/VI/2010 tanggal 25 Juni 2010 perihal Penyumpahan Advokat dan
Surat Ketua MA Nomor 52/KMA/HK.01/III/2011 tanggal 23 Maret 2011 perihal
Penjelasan Surat Ketua Mahkamah Agung Nomor 089/KMA/VI/2010. Seperti kita
ketahui bersama bahwa dalam Surat Nomor 089/KMA/VI/2010 diatur bahwa Para Ketua
Pengadilan Tinggi dapat mengambil sumpah para calon advokat yang telah memenuhi
syarat dengan ketentuan bahwa usul penyumpahan tersebut harus diajukan oleh
pengurus Peradi, sesuai dengan adanya isi kesepakatan bersama tanggal 24 Juni
2010. Dengan terbitnya SKMA baru tersebut, maka rezim mempertanyakan keabsahan
izin beracara seorang advokat yang beracara di pengadilan telah berakhir.
Di
Indonesia, dari sekian banyaknya profesi yang ada, Advokat atau pengacara
adalah salah satu profesi yang disandang seseorang sampai mati. Mungkin karena
hal tersebutlah yang mengakibatkan, profesi ini tetap menjadi skala prioritas
tidak saja dari kaum muda tetapi juga telah dilirik oleh para “kaum pensiunan” yang berlatarbelakangkan
pendidikan sarjana hukum. Tentu saja, berbagai cara dan upaya yang penuh dengan
perjuangan akan dilakukan untuk bisa mendapatkan keabsahan status sebagai advokat
(pengacara atau lawyer), baik secara ”de facto” maupun ”de jure”. Kejadian yang
terjadi sekarang ini adalah salah satu implementasinya untuk mendapatkan
pengakuan secara de facto dan de jure, di mana semua organisasi advokat keblinger
beramai-ramai mewisuda, melantik dan mengambil sumpah para advokatnya, dan sudah
barang tentu sebanyak mungkin pula jumlahnya.
Pertanyaan
yang sangat sederhana, pernahkah organisasi advokat tersebut menanyakan atau
memikirkan akan ke mana para advokat yang baru saja mereka lantik tersebut? Ataukah
para advokat yang bersangkutan menanyakan kepada organisasi advokatnya tentang
kemana tujuan mereka setelah ini? Pertanyaan ini mungkin tidak pernah terlintas
dalam alam pikiran kita bersama, dan munculnya pertanyaan yang kami kemukakan
diatas bukanlah merupakan kedengkian akibat semakin membanjirnya advokat atau
pengacara yang akan membuat hiruk pikuk persaingan lahan untuk mendapatkan
perkara atau klien menjadi lebih sempit. Pertanyaan ini didasari kepedulian
kami profesi advokat itu sendiri, dimana fakta telah berbicara bahwa terlalu
mudah seorang sarjana hukum dilantik menjadi advokat tanpa ada suatu patokan yang
jelas tentang standar sertifikasi keahlian, atau ambang batas syarat yang jelas
dan mengikat untuk seseorang dilantik menjadi advokat. Dengan kata lain,
seakan-akan organisasi advokat lebih mementingkan segi kuantitas ketimbang
kualitas yang dimiliki oleh para advokat baru tersebut.
Munculnya
pendapat kami diatas, bukan isu tong kosong yang nyaring bunyinya, karena banyak
sahabat saya menggunakan berbagai cara dan upaya untuk ”mengakali”
ketentuan-ketentuan untuk dapat disahkan menjadi advokat. Salah satu contohnya,
ketika sahabat saya tersebut tidak lulus ujian advokat yang diselenggarakan
oleh Peradi, maka dianya dengan mudah beralih mengikuti ujian pada organisasi
advokat lain, dan dinyatakan lulus. Kalau sudah begini ceritanya, siapa yang harus
dimintai pertanggungjawaban ketika suatu hari nanti ada pencari keadilan yang
merasa dirugikan oleh ulah-ulah oknum “advokat
nakal” yang sebenarnya belum berkompeten untuk menjadi dan menjalankan
profesi advokat. Mereka ini bisa menjadi advokat karena ada organisasi advokat
yang ingin memenuhi target ”setoran”
kuantitas anggota di organisasinya.
Tidak
hanya itu saja, ketika ada seorang advokat yang telah dijatuhi sanksi disiplin
melanggar Kode Etik Advokat Indonesia oleh organisasi advokat yang satu, maka sang
advokat tetap saja bisa menjalankan profesi advokatnya, dengan cara cukup
pindah saja ke organisasi advokat milik ”tetangga sebelah” dan hal ini telah
dicontohkan langsung oleh para “senior advokat”
dan atau “dedengkot advokat” itu
sendiri (tak perlu kami menunjukkan langsung siapa nama advokat tersebut). Hal
ini tentu akan menurunkan kredibilitas, citra dan kualitas advokat Indonesia (dan
ini tidak perlu untuk ditiru). Apalagi, dimasa invasi para advokat atau lawyer asing di Indonesia serta pemberlakukan pasar bebas global (MEA), maka tidak
tertutup kemungkinan para advokat lokal hanya akan menjadi ”kurir” advokat asing untuk mengantarkan
surat ke pengadilan dan atau instansi/organisasi lain. Jadi, sedikit banyaknya
kualitas dan integritas advokat Indonesia akan menjadi pertaruhannya. Terjadinya
satu atau dua kekeliruan yang dilakukan oleh oknum advokat akan berdampak
massif pada diri profesi advokat secara menyeluruh. Karena, cara pandang
masyarakat terkadang hanya didasarkan pada adanya perbuatan negatif yang
dilakukan oleh segelintir para advokat nakal, yang akhirnya advokat yang tidak
berbuatpun akan terkena getahnya.
Sebenarnya
salah satu fungsi dan peran yang cukup strategis bisa dimainkan oleh organisasi
advokat yang melantik para advokat barunya adalah haruslah terlebih dahulu
memastikan tentang keberadaan kualitas advokat yang bersangkutan, apakah memang
telah sesuai dengan prosedur dan standar mulianya profesi ini. Dengan kata
lain, para calon advokat harus telah melewati standarisasi dan jenjang karier, tahap
kualifikasi yang benar, sehingga advokat yang akan dilantik tersebut adalah benar-benar
sudah matang dan siap terjun untuk melayani permasalahan hukum yang dialami
oleh para pencari keadilan, dengan kata lain pula para advokat atau pengacara tersebut telah memiliki bekal untuk bisa menjadi seorang pengacara yang hebat dan sukses dalam karir advokatnya.
Meskipun
kami tidak setuju atas terbitnya Surat Ketua Mahkamah Agung Nomor 73/KMA/HK.01/IX/2015,
namun kami memandang bahwa adanya surat Ketua Mahkamah Agung tersebut telah membuka
adanya lapangan kerja bagi para alumni fakultas hukum (yang katanya sulit
mencari pekerjaan dan nafkah), serta para pengurus organisasi advokat dan juga
para advokat senior akan lebih mudah membuat “master plan” mengenai pokok-pokok pikiran tentang hal perencanaan
kaderisasi advokat secara berjenjang, serta memiliki banyak pilihan dalam merekrut
para advokat yang siap pakai (associate) untuk bergabung dalam kantor firma
hukumnya (law firm). Disamping itu, masyarakat pencari keadilan juga akan semakin
terlayani secara kuantitas dengan banyaknya pilihan advokat atau pengacara yang
berpraktek. Dengan kata lain, fungsi-fungsi sosial yang melekat dan diemban
oleh profesi advokat sesuai dengan Kode Etik Advokat Indonesia (KEAI) berupa
pemberian layanan jasa bantuan hukum ataupun konsultasi hukum secara gratis atau cuma-cuma (pro bono) juga menjadi lebih luas lagi, kuantitas
(penambahan jumlah) advokat di Indonesia juga akan bermuara pada membanjirnya lembaga-lembaga
bantuan hukum (LBH) yang sangat bermanfaat bagi masyarakat yang kurang mampu
(miskin).
Apakah
setelah musim panen jumlah advokat ini, euforia akan terus berlanjut tanpa
pernah bercita-cita bagi seluruh stakeholder profesi advokat Indonesia untuk bisa
bersatu dan duduk bersama dalam mencari, memikirkan dan untuk memutuskan bagaimana
pola dan teknik manajemen mendapatkan advokat Indonesia yang baik dan
berkualitas. Kami rasa, bila masing-masing dari kita menanggalkan ego dan juga
kepentingan sesaat, tentu akan mampu mencari formula yang efektif untuk membuat
kualitas dan kompetensi yang dimiliki oleh advokat Indonesia menjadi lebih tinggi
dan terhormat lagi dari sekarang ini, sehingga kemuliaan profesi advokat
sebagai profesi terhormat (officum nobile)
dapat selalu kita jaga dan miliki. Pemikiran diatas juga harus didukung oleh
adanya suatu produk legislasi, berupa adanya produk peraturan
perundang-undangan yang secara khusus mengatur tentang profesi advokat. Mendorong
harus adanya UU Advokat yang benar-benar bisa menjadi payung hukum yang jelas
dan kuat untuk mempersatukan semua advokat Indonesia yang selama ini terpecah
belah oleh kepentingan sesaat. Siapapun yang menjadi pemimpin di organisasi
advokat haruslah memikiki sikap kenegarawanan selaku pimpinan, dan juga para senior-senior
advokat mempunyai visi dan misi yang sama agar advokat Indonesia bisa tampil
menjadi tuan rumah di negerinya sendiri, khususnya dalam menghadapi para
advokat atau lawyer asing di pasar global.
Sebelum
kami akhiri tulisan ini, kami dari Kantor Advokat Silaen & Associates di Medan mengucapkan selamat dan sukses buat para rekan-rekan sejawat advokat Indonesia
yang baru dilantik dan diambil sumpahnya. Semoga sumbangsih dan kontribusi yang
rekan-rekan advokat berikan dapat berguna bagi kemajuan bangsa dan negara, khususnya
untuk nama besar advokat Indonesia. Sekian dari terima kasih.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
No Link Aktif, Harap Maklum BOSS.....