Bagi seorang yang berprofesi sebagai advokat,
tentu memahami apa itu “EKSEPSI” dan
bagaimana cara mengajukannya dipersidangan. Eksepsi dalam konteks hukum acara
perdata, lazim dimaknai sebagai tangkisan atau bantahan (Objection). Namun, bisa
juga diartikan sebagai pembelaan (Plea) yang diajukan tergugat sebagai jawaban terhadap
materi gugatan penggugat. Namun, tangkisan atau bantahan yang diajukan dalam
bentuk eksepsi ini, ditujukan kepada hal-hal yang menyangkut syarat formalitas sebuah
gugatan gugatan, yakni seandainya gugatan yang diajukan mengandung cacat atau
pelanggaran formil yang mengakibatkan gugatan tersebut tidak sah, oleh karena gugatan
tidak dapat diterima (inadmissible).
Nah, dengan demikian keberatan yang diajukan dalam bentuk eksepsi tidak
ditujukan dan tidak menyinggung bantahan terhadap pokok perkara (Verweer ten principale).
Dalam hukum acara perdata yang berlaku di
Indonesia, secara garis besar eksepsi dapat dikelompokkan sebagai berikut:
I. Eksepsi kompetensi
(a). Eksepsi tidak berwenang mengadili secara
absolut:
Kompetensi absolut berkaitan dengan
kewenangan absolut pada 4 (empat) lingkungan pengadilan (Peradilan Umum,
Peradilan Tata Usaha Negara, Peradilan Agama, dan Peradilan Militer), Peradilan
Khusus (Arbitrase, Pengadilan Niaga, dan lain sebagainya);
Atas eksepsi kompetensi absolut dapat
diajukan pada tingkat banding dan kasasi, dan apabila selanjutnya berdasarkan Pasal
132 Rv, telah mengatur sebagai berikut: “dalam hal hakim tidak berwenang karena
jenis pokok perkaranya, maka ia meskipun tidak diajukan tangkisan tentang
ketidakwenangannya, karena jabatannya wajib menyatakan dirinya tidak berwenang”.
Yang dimaksud dalam Pasal 132 Rv ini adalah => Hakim secara ex officio, wajib menyatakan diri tidak berwenang
mengadili perkara yang diperiksanya, apabila perkara diajukan secara absolut
berada diluar yurisdiksinya atau termasuk dalam kewenangan lingkungan peradilan
lain, kewajiban tersebut mesti dilakukan secara ex-officio meskipun tergugat
tidak mengajukan eksepsi tentang itu;
(b). Eksepsi tidak berwenang mengadili secara
relatif:
Kompetensi relatif berkaitan dengan wilayah
hukum dari suatu pengadilan dalam 1 (satu) lingkungan peradilan yang sama, hal
ini sebagaimana diatur dalam Pasal 118 Herziene Inlandsch Reglement (“HIR”).
Menurut ketentuan Pasal 134 HIR maupun Pasal
132 Reglement op de Rechsvordering (“Rv”), eksepsi kewenangan absolut dapat
diajukan oleh tergugat setiap saat selama proses pemeriksaan berlangsung pada persidangan
tingkat pertama sampai sebelum putusan dijatuhkan. Sedangkan menurut Pasal 125
ayat (2) dan Pasal 133 HIR eksepsi tentang kompetensi relatif diajukan
bersamaan dengan pengajuan jawaban pertama terhadap materi pokok perkara. Tidak
terpenuhinya syarat tersebut mengakibatkan hak tergugat untuk mengajukan
eksepsi relatif menjadi gugur. Pasal 136 HIR memerintahkan hakim untuk
memeriksa dan memutus terlebih dahulu pengajuan eksepsi kompetensi tersebut
sebelum memeriksa pokok perkara. Penolakan atas eksepsi kompetensi dituangkan
dalam bentuk putusan sela (Interlocutory), sedangkan pengabulan eksepsi
kompetensi, dituangkan dalam bentuk bentuk putusan akhir (Eind Vonnis);
Bahwa pengajuan eksepsi kompetensi relatif
dapat diajukan secara lisan, hal tersebut diatur dalam Pasal 133 HIR, oleh
karenanya Pengadilan Negeri (PN) tidak boleh menolak dan mengenyampingkannya,
dan hakim harus menerima dan mencatatnya dalam berita acara sidang, untuk
dinilai dan dipertimbangkan sebagaimana mestinya.
Selain itu, pengajuan eksepsi kompetensi
relatif diatur dapat diajukan secara tulisan (in writing) hal tersebut diatur dalam pasal 125 ayat (2) Jo. Pasal
121 HIR. Menurut ketentuan Pasal 121 HIR, tergugat pada hari sidang yang telah ditentukan
diberi hak untuk mengajukan jawaban tertulis, sedang Pasal 125 ayat (2) HIR
menyatakan dalam surat jawaban tergugat dapat mengajukan eksepsi
kompetensi relatif yang menyatakan perkara yang disengketakan tidak termasuk
kewenangan relatif PN yang bersangkutan. Oleh karenanya eksepsi itu dikemukakan
dalam surat jawaban, berarti pengajuannya bersama-sama dan merupakan bagian
yang tidak terpisah dari bantahan terhadap pokok perkara.
II. Eksepsi syarat formil
(a). Eksepsi Surat kuasa khusus tidak sah:
Surat kuasa khusus dapat dinyatakan tidak sah
karena sebab-sebab tertentu, misalnya suarat kuasa bersifat umum (Putusan
Mahkamah Agung Nomor Resgister 531 K/SIP/1973), surat kuasa tidak mewakili
syarat formil sebagaimana dimaksud dalam Pasal 123 HIR, surat kuasa dibuat
bukan atas nama yang berwenang (Putusan Mahkamah Agung no. 10.K/N/1999);
(b). Eksepsi Error in Persona:
Suatu gugatan/permohonan dapat dianggap error
in persona apabila gugatan diajukan oleh anak dibawah umur (Pasal 1330
Kitab Undang-Undang Hukum Perdata (“KUH Perdata”)), mereka yang berada dibawah
pengampuan / curatele (Pasal 446 dan Pasal 452 KUH Perdata), seseorang yang
tidak memiliki kedudukan hukum / legal standing untuk mengajukan gugatan (persona
standi in judicio);
(c). Eksepsi Nebis in Idem:
Nebis in Idem pengertiannya adalah
sebuah perkara yang memiliki para pihak yang sama, obyek yang sama, dan materi
pokok yang sama sehingga perkara tersebut tidak dapat diperiksa kembali;
(d). Eksepsi Gugatan Prematur:
Suatu gugatan/permohonan disebut prematur
apabila ada faktor hukum yang menangguhkan adanya gugatan/permohonan tersebut,
misalnya gugatan waris disebut prematur jika pewaris belum meninggal dunia;
(e). Eksepsi Obscuur Libel:
Obscuur libel dapat disebut secara
sederhana sebagai “tidak jelas”. Ketidakjelasan yang dimaksud misalnya terletak
pada:
*) hukum yang menjadi dasar gugatan;
*) ketidakjelasan mengenai objek
gugatan, misalnya dalam hal tanah tidak disebutkan luas atau letak atau
batas dari tanah tersebut;
*) petitum yang tidak jelas, atau;
*) terdapat kontradiksi antara posita dan
petitum;
Berdasarkan ketentuan Pasal 125 ayat (2) jo Pasal
133, Pasal 134 dan Pasal 136 HIR, eksepsi lain dan eksepsi kompetensi relatif
hanya dapat diajukan secara terbatas, yaitu: pada jawaban pertama bersama sama
dengan bantahan atas pokok perkara. Tidak terpenuhinya syarat tersebut
mengakibatkan hak tergugat untuk mengajukan eksepsi menjadi gugur.
Sedangkan berdasarkan ketentuan Pasal 136 HIR,
penyelesaian eksepsi lain diluar eksepsi kompetensi diperiksa dan diputus
bersama-sama dengan pokok perkara. Dengan demikian pertimbangan dan amar
putusan mengenai eksepsi dan pokok perkara, dituangkan bersama secara
keseluruhan dalam putusan akhir. Apabila eksepsi dikabulkan maka putusan
bersifat negatif, sedangkan apabila eksepsi ditolak maka putusan bersifat
positif berdasarkan pokok perkara.
Mudah-mudahan penjelasan tentang eksepsi sebagaimana
yang dimaksudkan dalam hukum acara perdata yang berlaku di Pengadilan Negeri
(PN) yang secara singkat ini, dapat bermanfaat bagi anda para pemerhati hukum
maupun dunia kepengacaraan / advokat. Terima kasih atas kunjungannya ke web
blog advokat silaen & associates ini. Salam Advokat Indonesia & sukses selalu.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
No Link Aktif, Harap Maklum BOSS.....