Keberadaan
dan pengakuan terhadap berdirinya serikat buruh atau serikat pekerja diatur
secara tegas dalam Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2000 tentang serikat pekerja.
Tidak hanya itu saja, berdasarkan ketentuan yang diamanatkan dalam Pasal 104
ayat (1) UU Nomor 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan (selanjutnya sering
disebut dengan “UUK”) jo ketentuan Pasal 5 ayat (1) UU No. 21 Tahun 2000
tentang Serikat Pekerja/Serikat Buruh (selanjutnya sering disebut dengan “UU
Serikat Pekerja”), maka setiap pekerja/buruh berhak untuk membentuk dan menjadi
anggota serikat pekerja/serikat buruh. Serikat pekerja/serikat buruh ini dapat dibentuk
oleh sekurang-kurangnya 10 (sepuluh) orang pekerja/buruh sebagaimana yang
ditentukan dalam Pasal 5 ayat (2) UU Serikat Pekerja/Serikat Buruh.
Pada
saat akan dilakukan pembentukan serikat buruh/pekerja, tentu ada proses-proses
yang harus dijalani, dimana suatu serikat pekerja/serikat buruh (sering
disingkat dengan SP) yang akan didirikan harus memiliki anggaran dasar (AD) dan
juga anggaran rumah tangga (ART). Hal mana diatur secara tegas di dalam Pasal
11 Serikat Kerja/Serikat Buruh, yang menyatakan:
Ayat
(1) Setiap serikat pekerja/serikat buruh, federasi dan konfederasi serikat
pekerja/serikat buruh harus memiliki anggaran dasar dan anggaran rumah tangga;
Ayat
(2) Anggaran dasar sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) sekurang-kurangnya harus
memuat:
a.
nama dan lambang;
b.
dasar negara, asas, dan tujuan;
c.
tanggal pendirian;
d.
tempat kedudukan;
e.
keanggotaan dan kepengurusan;
f.
sumber dan pertanggungjawaban keuangan; dan
g.
ketentuan perubahan anggaran dasar dan/atau anggaran rumah tangga.
Setelah
proses pembentukannya selesai, maka tahapan selanjutnya yang harus dilakukan adalah
memberitahukan secara tertulis kepada instansi pemerintah yang bertanggung
jawab di bidang ketenagakerjaan (dalam hal ini adalah Dinas Tenaga Kerja dan
Transmigrasi, baik yang ada pada pemerintah Kabupaten atau Walikota madya di
mana perusahaan tersebut berdomisili) untuk dilakukan pencatatan atas
pembentukan SP tersebut. Hal ini diatur di dalam Pasal 18 UU Serikat
Pekerja/Serikat Buruh, yang menyatakan:
Ayat
(1) Serikat pekerja/serikat buruh, federasi dan konfederasi serikat
pekerja/serikat buruh yang telah terbentukmemberitahukan secara tertuliskepada
instansi pemerintah yang bertanggung jawab di bidang ketenagakerjaan
setempatuntuk dicatat.
Ayat
(2) Pemberitahuan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) dengan dilampiri:
a.
daftar nama anggota pembentuk;
b.
anggaran dasar dan anggaran rumah tangga;
c.
susunan dan nama pengurus.
Selain
syarat-syarat yang ditentukan diatas, ditentukan pula bahwa nama dan lambang
serikat pekerja/serikat buruh tidak boleh sama dengan nama dan lambang serikat
pekerja/serikat buruh yang telah tercatat terlebih dahulu (Pasal 19 UU Serikat
Pekerja/Serikat Buruh).
Dalam
proses pembentukannya, undang-undang mengamanatkan tidak boleh ada pihak yang
menghalang-halangi atau memaksa pekerja/buruh untuk membentuk serikat
pekerja/serikat buruh dengan cara melakukan pemutusan hubungan kerja (PHK),
sehingga nantinya akan menimbulkan perselisihan hubungan industrial.
Barangsiapa yang menghalang-halangi dan atau memaksa pekerja/buruh untuk
membentuk SP, dikenakan sanksi pidana paling singkat 1 (satu) tahun dan paling
lama 5 (lima) tahun dan atau denda paling sedikit Rp 100 juta dan paling banyak
Rp 500 juta (pengaturannya terdapat dalam Pasal 28 jo Pasal 43 ayat (1) UU
Serikat Pekerja/Serikat Buruh), yang mana ini menurut kami adalah merupakan bahagian dari adanya perbuatan intimidasi perburuhan yang mungkin saja terjadi pada perusahaan pasca pembentukan SP.
Setelah
seluruh proses pembentukan SP ini selesai, maka pengurus serikat
pekerja/serikat buruh yang telah mempunyai nomor bukti pencatatan dari
pemerintah harus memberitahukan secara tertulis keberadaannya kepada pihak
perusahaan (manajemen perusahaan). Hal ini diatur dalam ketentuan Pasal 23 UU
Serikat Pekerja/Serikat Buruh yang berbunyi sebagai berikut => “Pengurus
serikat pekerja/serikat buruh, federasi dan konfederasi serikat pekerja/serikat
buruh yang telah mempunyai nomor bukti pencatatan harus memberitahukan secara
tertulis keberadaannya kepada mitra kerjanya sesuai dengan tingkatannya.”
Mitra
kerja yang dimaksud disini adalah perusahaan, dimana hal ini sesuai dengan
penjelasan umum UU Serikat Pekerja/Serikat Buruh yang menyebutkan bahwa
pekerja/buruh merupakan mitra kerja pengusaha.
Dari
apa yang kami uraikan diatas, dapat kami simpulkan disini bahwasanya syarat dan
prosedur pendirian sebuah SP adalah:
1.
Ada setidaknya 10 orang anggota;
2.
Pembuatan AD/ART;
3.
Pencatatan di Dinas Tenaga Kerja dari pemerintah Kabupaten atau Walikota madya
setempat;
4.
Pemberitahuan ke pihak perusahaan mengenai keberadaan SP.
Semoga
tulisan kami yang berjudul tentang serikat buruh atau serikat pekerja/karyawan
yang dibentuk berdasarkan UU No. 21/2000 dapat bermanfaat bagi siapa saja yang
bermaksud untuk mendirikan sebuah SP pada perusahaan tempatnya bekerja dan juga bagi para advokat atau pengacara yang berminat untuk menekuni bidang sebagai konsultan hukum perburuhan di Indonesia. Atas
perhatiannya diucapkan terima kasih.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
No Link Aktif, Harap Maklum BOSS.....