Adanya pandangan miring terhadap dunia hukum Indonesia,
baik dunia peradilan maupun yang dilakukan para pelaku penegak hukum di
Indonesia (baik Hakim, Jaksa, Polisi dan Advokat/Pengacara/Lawyers), telah menurunkan
tingkat kepercayaan masyarakat atas hakikat/kaedah hukum dan keadilan yang
sebenarnya. Belum lagi ditambah dengan besarnya biaya yang harus dikeluarkan
bila berurusan dengan permasalahan hukum. Sehingga, tidak dapat kita salahkan, tiba-tiba
muncul ungkapan yang berbau sindiran seperti: “kalah jadi abu, menang jadi
arang” atau “berperkara hanya untuk orang yang berduit”, dsb.
Bila demikian terus, bagaimana tindakan dan sikap kita?
Sementara kita hidup tidak terlepas dari aturan-aturan dan norma hukum yang
berlaku ditengah-tengah masyarakat, yang terkadang tanpa sadar sudah kita
langgar. Apakah kita harus tetap menghindar untuk tidak berperkara di
pengadilan seandainya bila ada hak-hak kita yang dirugikan oleh orang lain?
Nah, disinilah sebenarnya sangat dibutuhkan kebijakan atau kearifan seseorang
untuk menelaah ataupun mencermati seandainya bila suatu saat nanti mempunyai
masalah apa saja dengan orang lain, selesaikanlah dengan itikad baik,
musyawarah dan mufakat, damai, ataupun dengan menggunakan alternative dispute resolution (ADR) untuk menghindari adanya
tuntutan lanjutan di kemudian hari.
Nah, bagi anda yang sudah sampai pada keputusan terakhir
untuk menempuh jalur hukum ke sidang pengadilan, tentu saja harus berperkaralah
dengan baik-baik, hati-hati dan jangan mengikuti arus mafia peradilan (misalnya
dengan melakukan perbuatan yang tidak benar dengan menyogok hakim, jaksa,
polisi, panitera/sekretaris/pegawai pengadilan, saksi-saksi dan atau menciptakan
bukti-bukti surat baru atau menghalalkan segala cara dan upaya agar menang
berperkara. Intinya, agar hati-hati dan waspada dengan tetap mempertimbangkan
seluruh aspek yang berhubungan erat dengan seluk beluk yang ada di pengadilan
Indonesia, misalnya aspek proses/acara yang berlaku di pengadilan dan
biaya-biaya yang timbul nantinya untuk perkara tersebut.
Secara umum, perkara atau kasus yang dimohonkan untuk
diselesaikan melalui pengadilan negeri (PN) ada 2 (dua) jenis, yaitu:
perkara/kasus yang menyangkut hukum perdata dan hukum pidana. Perkara perdata
maksudnya adalah perkara yang timbul antara diri kita dengan pihak lain,
misalnya saja masalah hutang piutang, pinjam meminjam, sewa menyewa, jual beli
tanah dan rumah, jual beli mobil atau sepeda motor, masalah yang menyangkut
dengan pembagian warisan, masalah wan prestasi atau ingkar janji atas
perjanjian yang telah disepakati sebelumnya, pada pokoknya perkara perdata
adalah menyangkut antara perorangan dengan perorangan ataupun badan hukum,
bukan dengan negara ataupun pejabat tata usaha negara. Sedangkan perkara/kasus
pidana maksudnya adalah perkara yang timbul akibat adanya perbuatan salah atau
tidak benar yang kita lakukan dan dilarang oleh hukum negara, sehingga harus
mendapat sanksi dari negara (misalnya perampasan kebebasan kita dalam kurun waktu
tertentu, ganti kerugian yang harus kita berikan kepada negara, dsb).
Namun, pada tulisan ini fokus pembahasannya adalah
menyangkut tentang perkara perdata. Perkara perdata berarti kita akan menggugat
seseorang yang menjadi lawan kita atau bisa saja orang lain yang menggugat
kita, atau dengan kata lain kita yang digugat orang lain. Secara umum,
menggugat dapat diartikan sebagai tindakan atau perbuatan menuntut sesuatu hak
dan sebaliknya arti dan pengertian digugat berarti kita dituntut untuk memberikan
hak atau memberikan sesuatu kewajiban kepada orang yang menuntutnya. Kalau
dalam bahasa hukum, yang menuntut disebut dengan penggugat dan yang dituntut disebut dengan tergugat atau bisa juga disebut dengan para pihak yang berperkara.
Para pihak dalam perkara perdata, bisa saja
menghadapinya sendiri (sering disebut dengan pihak inperson) atau bisa juga
diwakili dengan menghunjuk kuasa hukumnya, baik seseorang maupun beberapa orang
pengacara. Istilah pengacara ini adalah
persamaan dari advokat, lawyer. Sementara konsultan hukum belum tentu
berprofesi sebagai pengacara, advokat atau lawyer, sedangkan
pengacara/advokat/lawyer sudah pasti dapat dikatakan sebagai konsultan hukum
ataupun penasihat hukum. Namun pasca diberlakukannya Undang-Undang Nomor 18
Tahun 2003 tentang ADVOKAT, maka secara hukum istilah penggunaan kata pengacara,
lawyer sudah dileburkan menjadi ADVOKAT.
Dengan kata lain, yang bisa menjadi wakil para pihak
yang sedang berperkara untuk beracara di depan sidang pengadilan adalah
orang-orang yang telah memiliki ijin praktek sebagai advokat sebagaimana
pengaturan pengangkatan dan pemberhentiannya diatur dalam UU No. 18/2003
tentang advokat. Kalau tidak memiliki ijin praktik sebagai advokat, maka hakim
yang memimpin sidang dapat seketika itu juga mengeluarkan wakil/kuasa hukum
yang bersangkutan dari ruang sidang.
Banyak hal yang harus dipersiapkan sebelum kita
mengambil suatu keputusan untuk menggugat seseorang, dimana harus dipersiapkan
1 (satu) buah surat permohonan gugatan (bila tidak bisa baca tulis, maka
gugatan tersebut bisa dalam bentuk lisan yang nantinya akan dicatat langsung
oleh panitera pengadilan). Nah dalam rangka membuat gugatan inilah sangat
dibutuhkan jasa bantuan hukum dari seorang advokat/pengacara/lawyers. Karena
surat gugatan dalam perkara perdata bukanlah seperti surat biasa, tetapi ada
hal-hal atau formula tertentu yang harus dimaksukkan ke dalam surat gugatan
tersebut, seperti identitas diri kita sebagai penggugat dan identitas siapa
yang akan digugat, apa yang menjadi obyek sengketa dalam gugatan, apa yang
menjadi dalil, alasan atau dasar kita menggugat, apa yang kita minta kepada
pengadilan atau hakim yang sedang memeriksa untuk memutuskannya. Dimana hal-hal
ini adalah merupakan rutinitas yang sehari-hari yang dilakukan oleh orang-orang
yang berprofesi sebagai pengacara, termaksud langkah-langkah hukum selanjutnya
sesuai dengan hal yang telah diatur dan dibenarkan dalam hukum acara perdata,
misalnya memberikan tanggapan atau jawaban tergugat atas gugatan, replik dan
duplik, menyiapkan dan mengumpulkan bukti surat maupun saksi-saksi, meminta
atau mengajukan pertanyaan kepada saksi-saksi yang dihadirkan pada sidang
pengadilan, membuat kesimpulan atau konklusi, hingga bila dianggap perlu
mengajukan memori banding dan atau kontra memori banding ke Pengadilan Tinggi
ataupun memori kasasi dan atau kontra memori kasasi ke Mahkamah Agung RI bila
tetap merasa tidak puas atas putusan pengadilan yang ada.
Persoalannya adalah bagaimana caranya memilih pengacara
handal, mahir dan profesional, karena hal ini menyangkut terhadap hak kita yang
telah dirugikan orang lain dan tentunya saja berhubungan dengan biaya-biaya atau
tarif untuk menyewa atau bagaimana metode cara membayar jasa pengacara (apakah bayarannya disebut dengan namanya upah, honor,
gaji, fee ataupun succes fee) yang dalam hal ini adalah bertugas untuk mewakili
kepentingan hukum kita dalam perkara (apakah nantinya perkara tersebut
menyangkut sengketa perdata maupun menjadi penasihat hukum yang akan
mendampingi didalam kasus yang berhubungan dengan tindak pidana). Kadang
sewaktu kita (sebagai klien) meminta bantuan dari seorang advokat untuk
mendampingi kita sebagai kliennya, maka diwajibkan terlebih dahulu untuk
membayar uang administrasi bisa mulai dari Rp 100 ribu dan bahkan bisa mencapai
Rp 10 juta. Kemudian setiap kali sidang, para klien juga membayar biaya-biaya
transportasi ataupun akomodasi pengacara yang bersangkutan, demikian juga
setiap membuat surat gugatan atau jawaban atas gugatan, mengumpulkan barang
bukti, mendatangi saksi-saksi, mengambil putusan, membuat memori banding atau
kasasi ataupun kontra memori yang diperlukan untuk itu, tetap membayar lagi dan
membayar lagi. Kalau dijumlahkan seluruhnya bisa mencapai puluhan juta, ratusan
juta dan bahkan bisa sampai milyaran rupiah. Kalau menang dan sukses, masih
harus membayar lagi yang namanya “succes fee” atau bagi hasil dari perkara
tersebut kepada pengacara yang dipakai.
Memang semuanya tergantung kesepakatan diawal antara
kita (sebagai klien) dengan para pengacara yang dipakai, karena metode atau
cara pembayaran bisa saja berbeda-beda antara satu kantor pengacara dengan
kantar jasa pengacara lainnya. Namun, biasanya adalah mempertimbangkan besar
kecilnya perkara (dipandang dari nilai obyek materi yang diperkarakan), kemudian
tingkat kesulitan atau kerumitan dari perkara perdata yang bersangkutan untuk
bisa dimenangkan, dan juga tergantung dari bobot, bibit dan bebet nama
pengacara itu sendiri. Biasanya, kecenderungan semakin terkenal atau ngetopnya
nama seorang pengacara, maka semakin tinggi/besar pula bayaran yang akan
diminta oleh advokat dimaksud. Walaupun pada hakekatnya seorang advokat yang
meminta bayaran tinggi belum pasti hebat, terbaik, ahli atau pakar dan memiliki
kemampuan tinggi untuk menyelesaikan perkara perdata yang ada. Jadi, ingat agar
selalu berhati-hati.
Tentu enak juga jadi pengacara ya. Ya, memang profesi
pengacara atau advokat hidupnya dari membantu para kliennya untuk memenangkan
atau mempertahankannya dan untuk melakukan hal tersebutlah sang pengacara
tersebut harus dibayar, meskipun ada juga pengacara yang mau membantu kliennya
tanpa terlebih dahulu meminta bayaran. Ataupun ada juga penggunaan sistem
pembayaran fee untuk pengacara tersebut tidak sama, seperti yang telah kami
jelaskan diatas. Atau bahkan ada juga pengacara yang mau mengeluarkan uangnya
terlebih dahulu untuk menyelesaikan kasus kliennya yang dianggap atau
dikategorikan sebagai “kasus kakap” atau “kasus besar”, sehingga diprediksikan
dapat mengangkat nama besar si pengacara menjadi lebih baik lagi dan semakin
populer atau terkenal.
Pastinya, ketika kita akan menggugat maka terlebih
dahulu harus membuat gugatan, mendaftarkan gugatan tersebut kepada kepaniteraan
perdata di Pengadilan Negeri tempat dimana nantinya perkara kita itu disidangkan
(sesuai dengan lokasi atau domisili obyek perkara). Dan untuk melaksanakan
hal-hal ini, kita harus membayar sejumlah uang kepada panitera pengadlan
tersebut sebagai biaya-biaya resmi untuk pendaftaran perkara (yang sering
disebut dengan SKUM = Surat Keterangan Untuk Membayar, dimana apa bila nantinya
dianggap masih kurang maka akan diminta lagi kepada pihak penggugat, dan
seandainya berlebih akan dikembalikan). Besarnya jumlah biaya perkara ini akan
disebutkan dalam putusan pengadilan pada saat kasus tersebut diputuskan, hal
mana juga berlaku pada tingkat banding di Pengadilan Tinggi dan tingkat kasasi
di Mahkamah Agung Republik Indonesia.
Namun, sangat penting kita ingat bahwa ketika membayar
biaya-biaya tersebut saat pendaftaran gugatan atau perkara tersebut adalah
didasarkan pada perkiraan besarnya biaya-biaya administrasi, pemanggilan bagi
para pihak baik penggugat maupun tergugat untuk datang menghadiri sidang dan
biaya-biaya resmi lainnya ada di pengadilan. Pada prinsipnya, berapa biaya yang
akan kita bayar untuk keperluan pendaftaran gugatan di pengadilan akan
dibuatkan kuitansi tanda bukti pembayaran.
Setelah gugatan dimaksud resmi terdaftar, surat gugatan
terlebih dahulu akan dipelajari pengadilan, dibentuklah atau ditunjuklah
majelis hakim dan panitera pengganti (dalam hal ini biasanya 3 (tiga) orang
hakim dan 1 (satu) orang panitera pengganti) yang akan bertugas untuk memeriksa
kasus perdata tersebut, kemudian surat panggilan sidang berikut 1 (satu) helai
gugatan akan dikirimkan panitera melalui juru sita pengganti kepada para pihak
yang menjadi tergugat, maka pada tanggal yang telah ditentukan dalam surat
panggilan tersebut akan dilaksanakan atau digelar sidang.
Kemudian sidang mulai berjalan, biasanya jadwal
persidangan adalah 1 (satu) kali seminggu, namun terlebih dahulu akan diadakan
mediasi, penggugat membacakan isi gugatannya, kemudian minggu depannya tergugat
jawaban atau eksepsinya, berikutnya penggugat mengajukan replik yang kemudian
seminggu kemudian dibalas dengan duplik dari tergugat. Bila telah selesai,
selanjutnya penggugat akan mengajukan bukti-bukti surat dan atau juga
menghadirkan saksi-saksi, demikian juga kepada tergugat akan diberikan
kesempatan yang sama untuk mengajukan bukti-bukti surat dan saksi setelah
selesai dari penggugat. Habis itu, penggugat dan juga tergugat mengajukan
konklusi atau kesimpulannya atas kasus/perkara perdata tersebut, kemudian
terakhir majelis hakim akan mengambil keputusan dan membacakan putusan
tersebut. Kalau kita hitung waktu proses gugatan perdata ini, paling cepat
waktunya adalah 4 (tiga) bulan baru ada putusan dari hakim Pengadilan Negeri,
nah kalau kita hitung berapa biaya yang akan dikeluarkan, ya silahkan hitung
sendiri.
Pada prinsipnya dalam perkara perdata, setiap kali akan
dimulainya sidang maka hakim akan memberikan kesempatan dengan menayakan kepada
masing-masing pihak untuk mengutamakan perdamaian, bila ingin berdamai maka
silahkan berdamai. Bila perdamaian ini tercapai, maka sidang akan dihentikan
dalam artian yang menjadi putusan hukum (vonis) adalah hasil perdamaian
dimaksud, dan jika tidak tercapai kesepakatan damai, maka tidak ada kata lain
sidangpun akan dilanjutkan terus sampai nanti hakim akan memberikan keputusan
(vonis). Bila tetap masih belum puas juga dapat selanjutnya mengajukan banding
ke Pengadilan Tinggi dan dalam kurun waktu 3, 4, 5 atau 6 bulanan dan atau
mungkin bahkan dalam setahun atau dua tahun baru turunlah putusan banding dari
Pengadilan Tinggi (PT). Bila masih juga tidak merasa puas atas putusan
Pengadilan Tinggi (PT) ini, masih dapat mengajukan kasasi ke Mahkamah Agung
Republik Indonesia (MARI) di Jakarta dan masih menunggu 1, 2, 3 tahun dan
bahkan bisa sampai 5, 6 atau puluhan tahun baru kemudian keluar putusan dari
para hakim agung ini.
Tentu saja, atas semua proses-proses hukum diatas
adalah dengan harus mengeluarkan biaya-biaya perkara yang tidak sedikit untuk
itu, kalaupun seandainya memperkarakan sebidang tanah berikut dengan bangunan
rumah yang ada diatasnya seharga Rp 300 juta, mungkin biaya yang dihabiskan
untuk memperkarakannya mencapai Rp 100 juta atau bahkan bisa lebih dan
mendekati angka Rp 150 juta. Karena memang tidak terasa apabila kita
mengeluarkan biaya Rp 100 ribu, Rp 250 ribu, Rp 500 ribu, Rp 1 juta, Rp 5 juta,
Rp 10 juta dan seterusnya, hingga kalau ditotal tidak terasa sudah berjumlah
ratusan juta rupiah.
Apalagi jikalau perkara kita mengalami kekalahan,
sehingga secara spontan keluar umpatan “yang beginilah, yang begitulah” atau
juga keluar ungkapan “memperkarakan kerugian 2 ekor sapi, hilang 1 ekor sapi
lagi”, dan bla bla bla. Hal inilah yang menjadi pikiran dan tugas kita bersama
untuk memperbaiki sistem peradilan kita agar menjadi sederhana, cepat dan biaya
yang ringan atau murah seperti yang idealnya terjadi dan diamanatkan dalam
hukum acara perdata yang diberlakukan di Indonesia. Paling tidak kita mulai
dari diri kita sendiri untuk mengontrol perilaku kotor terlebih-lebih dalam hal
mengontrol setiap keputusan yang bertentangan dengan kaidah hukum dan
kepatutan-kepatutan hukum yang diambil oleh lembaga hukum dan peradilan
terhadap suatu perkara yang ada, dengan begitu secara perlahan-lahan akan
tercipta etika untuk secara bersama-sama memperbaiki potret atau wajah hukum, peradilan
atau pengadilan dan jasa bantuan hukum di Indonesia. Semoga bermanfaat, sekian
dan terima kasih.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
No Link Aktif, Harap Maklum BOSS.....