Peran PPK Dan PPNS Berdasarkan UU Nomor 13 Tahun 2003 # Rutinitas para rekan serikat buruh,
khususnya pekerja yang berperkara di Pengadilan Perselisihan Hubungan Industrial (PHI) ternyata bukan merupakan jawaban solusi yang
menggembirakan dalam menyelesaikan setiap adanya sengketa atau perkara antara
pekerja/buruh dengan pengusaha/majikan, malahan sebaliknya menimbulkan masalah
baru dimana sang buruh harus bolak-balik ke pengadilan PHI tidak saja
hanya sekedar mengikuti
jadwal persidangan, melainkan juga diwajibkan untuk
mempertanyakan keberlanjutan tentang kasus yang telah
diajukannya, misalnya tentang gugatan phk. Akibatnya, si buruh selalu berada pada posisi dirugikan, dimana hak-haknya yang telah dirampas oleh
pengusaha (majikan) tidak pernah diperoleh dengan cepat. Tidak jarang
perkara perselisihan perburuhan yang diajukannya melalui proses di sidang pengadilan Perselisihan Hubungan Industrial (PHI), akhirnya tidak jelas dan mengantung begitu
saja karena yang bersangkutan tidak tahan
menunggu lamanya proses penyelesaian
sengketa perburuhan tersebut, yang terkadang sampai bertahun-tahun
belum membuahkan hasil (belum
putus), sehingga menimbulkan
keputus-asaan ataupun pesimis
terhadap kasus perburuhan yang dialaminya.
Realita dari metode dan adanya proses yang diberlakukan dalam penyelesaian perselisihan perburuhan hubungan industrial Pancasila melalui pengadilan PHI di atas, maka sesuai dengan Undang-Undang Ketenagakerjaan (UUK) Nomor 13 Tahun 2003, sebenarnya masih ada harapan baru bagi buruh/pekerja Indonesia untuk mendapatkan keadilan dan kepastian hukum yang lebih efektif dan cepat, yaitu proses penanganannya melalui Pegawai Pengawas Ketenagakerjaan (PPK) dan Penyidik Pegawai Negeri Sipil (PPNS).
Adanya PPK dan PPNS diatas, secara
tegas diatur dalam Pasal 176 UUK PPK/PPNS dan menurut kami juga mempunyai
kompetensi dan independen guna menjamin pelaksanaan peraturan
perundang-undangan ketenagakerjaan. Nah, mengapa kami
mengatakan bahwa PPK dan PPNS mempunyai kompetensi dan independen adalah
didasarkan UUK menetapkan bahwasanya pengangkatan PPK
ditetapkan oleh Menteri atau pejabat yang ditunjuknya. Dengan demikian PPK
dapat lebih independen dan terlepas dari pengaruh-pengaruh
kebijakan politik yang berkembang di daerah-daerah (termasuk kabupaten/kota).
Jadi PPK dapat dengan tegas "menolak" kepentingan-kepentingan yang dipesan oleh siapapun penguasanya dan/atau para pengusaha di
daerahnya.
KEWENANGAN YANG DIMILIKI PPK DAN PPNS
Mengenai adanya kewenangan PPK
sebagai Penyidik Pegawai Negeri Sipil (PPNS) secara khusus adalah melakukan
penyidikan di bidang ketenagakerjaan (identik dengan kewenangan yang dimiliki oleh Penyidik dari Pejabat POLRI)
sebagaimana diatur pada pasal 182 ayat (2) UUK, yang menyatakan sebagai berikut:
- melakukan pemeriksaan atas kebenaran laporan serta keterangan tentang tindak pidana di bidang ketenagakerjaan;
- melakukan pemeriksaan terhadap orang yang diduga melakukan tindak pidana di bidang ketenagakerjaan;
- meminta keterangan dan bahan bukti dari orang atau badan hukum sehubungan dengan tindak pidana di bidang ketenagakerjaan;
- melakukan pemeriksaan atau penyitaan bahan atau barang bukti dalam pekara tindak pidana di bidang ketenagakerjaan;
- melakukan pemeriksaan atas surat dan/atau dokumen lain tentang tindak pidana di bidang ketenagakerjaan;
- meminta bantuan tenaga ahli dalam rangka pelaksanaan tugas-tugas penyidikan tindak pidana di bidang ketenagakerjaan; dan
- menghentikan penyidikan apabila tidak terdapat cukup bukti yang membuktikan tentang adanya tindak pidana di bidang ketenagakerjaan;
Dalam hal menjalankan
kewenangan sebagaimana kami
sebutkan diatas, tentu saja tidaklah tidak mudah,
karena yang diawasi adalah aktivitas para pengusaha yang memiliki kekuasaan melalui kekuatan uang. Sehingga, dengan adanya kekuasaan yang
dimiliki oleh pengusaha, sedikit banyaknya dapat
mempengaruhi berbagai pihak demi mempertahankan dan melindungi kepentingannya (khususnya modal). Hal ini tidak dapat kita pungkiri dan
juga telah menjadi rahasia umum, bahwasanya selama ini para pengusaha banyak mengeluarkan biaya
yang tidak jelas (siluman) demi kelancaran operasional usahanya, baik secara terpaksa
maupun dengan sukarela.
Oleh karena itu, melihat kondisi diatas PPK dan PPNS dalam menjalankan
peran dan fungsinya harus memiliki komitmen dan integritas yang kuat sebagai konsistensi
melakukan kewenangan tugas-tugas
pengawasannya. Timbulnya rasa kekecewaan terhadap
proses dari praktek persidangan PHI akhir-akhir
ini, akan memaksa kaum buruh untuk mencari jalan alternatif lain yang lebih efektif dan efesien untuk menemukan
keadilan dan kepastian hukum, khususnya mengenai pelanggaran hak-hak buruh sebagaimana diatur oleh peraturan perundang-undangan yang
berlaku di Indonesia.
Tentu saja, dalam menjalankan kewenangan
yang dimiliki oleh PPK/PPNS untuk menegakkan pelaksanaan hak-hak
buruh yang diabaikan oleh pengusaha, harus didukung penuh oleh banyak pihak, yang tentu saja
secara khusus dalam hal ini adalah dari serikat buruh atau serikat pekerja itu
sendiri.
Berdasarkan pengalaman, pelanggaran
hak-hak buruh yang acap kali terjadi yang dilakukan pengusaha adalah:
- pelanggaran atas adanya pemberian upah dibawah upah minimum provinsi (UMP) atau upah minimum kabupaten/kota (UMK);
- buruh tidak didaftarkan menjadi anggota peserta jaminan sosial tenaga kerja (Jamsostek);
- terjadinya penggelapan dana jamsostek;
- dan lain sebagainya;
Akan tetapi, realitasnya sampai sekarang berapa orang pengusaha yang sudah
diperiksa dan diadili di pengadilan atas perbuatannya melanggar hak-hak
buruh/pekerja? Sangat minim bukan.
Sehingga, secercah harapan yang tidak berlebihan ditumpukan pada kewenangan
yang dimiliki oleh PPK dan juga PPNS.
JENIS TINDAK
PIDANA BIDANG KETENAGAKERJAAN
Kalau kita telusuri dan analisa UUK, jenis pelanggaran ketenagakerjaan atas hak-hak buruh
dibagi dalam 2 (dua) kategori, yaitu:
1. Tindak Pidana Kejahatan
Adanya jenis pelanggaran
tindak pidana kejahatan pada bidang ketenagakerjaan, dapat kita lihat pada hal sebagai
berikut:
- Pelanggaran atas ketentuan Pasal 74 UUK (larangan mempekerjakan anak-anak pada pekerjaan terburuk);
- Pelanggaran atas ketentuan Pasal 167 ayat (5) UUK (buruh yang diphk karena pensiun tetapi pengusaha tidak mau membayar pesangonnya 2 x ketentuan Pasal 156 UUK;
- Pelanggaran atas ketentuan Pasal 42 ayat (1) dan ayat (2) (larangan pekerja asing tanpa ijin dan perorangan yang mempekerjakan pekerja asing);
- Pelanggaran atas ketentuan Pasal 68 (larangan mempekerjakan anak);
- Pelanggaran atas ketentuan Pasal 69 ayat (2) (mempekerjakan anak tanpa ijin orang tuanya);
- Pelanggaran atas ketentuan Pasal 80 (jaminan kesempatan beribadah yang cukup);
- Pelanggaran atas ketentuan Pasal 82 (cuti karena melahirkan dan keguguran);
- Pelanggaran atas ketentuan Pasal 90 ayat (1) (pembayaran upah di bawah Upah Minimum);
- Pelanggaran atas ketentuan Pasal 143 (menghalang-halangi kebebasan buruh utk berserikat);
- Pelanggaran atas ketentuan Pasal 160 ayat (4) dan ayat (7) (mempekerjakan buruh yang tidak bersalah dalam 6 bulan sebelum perkara pidana diadili dan kewajiban pengusaha membayar uang penghargaan masa kerja bagi buruh yang diphk karena diadili dalam perkara pidana);
- Tindak pidana kejahatan atas pelanggaran hak-hak buruh juga diatur dalam Undang-Undang Nomor 3 tahun 1992 tentang Jaminan Sosial Tenaga Kerja;
- Tindak pidana kejahatan atas pelanggaran UU No. 21 Tahun 2000 tentang Serikat Pekerja/Serikat Buruh;
Sanksi yang akan diberikan terhadap
pengusaha bila melakukan segala perbuatan yang melanggar
ketentuan-ketentuan sebagaimana tersebut di atas, diancam dengan hukum
pidana (penjara) bervariatif sekurang-kurangnya 1 (satu) tahun dan
paling lama 5 (lima) tahun. Juga
masih ada ancaman berupa sanksi denda
sekurang-kurangnya Rp. 100.000.000,- (seratus juta rupiah) dan Rp. 500.000.000,- (lima ratus juta rupiah).
2. Tindak Pidana
Pelanggaran
Pengaturan tentang adanya sanksi atas
adanya perbuatan tindak pidana pelanggaran dalam bidang ketenagakerjaan, jelas
terlihat dengan perincian sebagai berikut:
- Pelanggaran atas ketentuan Pasal 35 ayat (2) UUK (kewajiban pelaksana penempatan tenaga kerja memberi perlindungan sejak rekruitment sampai penempatan tenaga kerja);
- Pelanggaran atas ketentuan Pasal 35 ayat (3) UUK (perlindungan oleh pemberi kerja atas kesejahteraan, keselamatan dan kesehatan mental dan fisik);
- Pelanggaran atas ketentuan Pasal 93 ayat (2) UUK (pembayaran upah karena sakit/karena tugas negara/pengusaha tdk mau mempekerjakan buruh sesuai perjanjian/hak istirahat buruh/tugas melaksanakan fungsi serikat);
- Pelanggaran atas ketentuan Pasal 137 UUK (hak mogok);
- Pelanggaran atas ketentuan Pasal 138 ayat (1) UUK (menghalangi maksud serikat buruh untuk mogok kerja);
- Pelanggaran atas ketentuan Pasal 37 ayat (2) UUK (lembaga penempatan tenaga kerja tanpa ijin tertulis dari Menteri/pejabat yg ditunjuk);
- Pelanggaran atas ketentuan Pasal 44 ayat (1) UUK (pemberi tenaga kerja asing wajib menaati standar dan kompetensi yang berlaku);
- Pelanggaran atas ketentuan Pasal 45 ayat (1) UUK (tenaga kerja WNI sebagai pendamping tenaga kerja asing);
- Pelanggaran atas ketentuan Pasal 67 ayat (1) UUK (pembayaran pesangon bagi buruh yang pensiun);
- Pelanggaran atas ketentuan Pasal 71 ayat (2) UUK (syarat-syarat mempekerjakan anak);
- Pelanggaran atas ketentuan Pasal 76 UUK (perlindungan bagi buruh perempuan);
- Pelanggaran atas ketentuan Pasal 78 ayat (2) UUK (wajib bayar upah pada jama kerja Lembur);
- Pelanggaran atas ketentuan Pasal 79 ayat (1) dan ayat (2) UUK (waktu istirahat bagi buruh);
- Pelanggaran atas ketentuan Pasal 85 ayat (3) UUK (pembayarn upah lembur pada hari libur resmi);
- Pelanggaran atas ketentuan Pasal 144 UUK (mengganti buruh yang mogok dengan buruh yan baru);
- Pelanggaran atas Pasal 14 ayat (2) UUK (perijinan bagi lembaga pelatihan kerja swasta);
- Pelanggaran atas ketentuan Pasal 38 ayat (2) UUK (biaya penempatan tenaga kerja oleh swasta);
- Pelanggaran atas ketentuan Pasal 63 ayat (1) UUK (PKWT secara lisan, pengusaha wajib membuat surat pengangkatan);
- Pelanggaran atas Pasal 78 ayat (1) UUK syarat-syarat mempekerjakan buruh di luar jam kerja);
- Pelanggaran atas ketentuan Pasal 108 ayat (1) UUK (wajib membuat peraturan perusahaan dengan 10 orang buruh);
- Pelanggaran atas ketentuan Pasal 111 ayat (3) UUK (masa berlaku Peraturan 2 tahun dan wajib diperbaharui);
- Pelanggaran atas ketentuan Pasal 114 UUK (peraturan perusahaan wajib dijelaskan kepada buruh dan perubahannya);
- Pelanggaran atas ketentuan Pasal 148 UUK (syarat-syarat lock out);
- Pelanggaran atas ketentuan di bidang ketenagakerjaan juga diatur pada UU No. 3 Tahun 1992 tentang Jaminan Sosial Tenaga Kerja (Jamsostek);
- Pelanggaran atas ketentuan UU No. 21 Tahun 2000 tentang Serikat Pekerja/Serikat Buruh;
Sanksi yang akan diberikan terhadap
pengusaha bila melakukan segala perbuatan yang melanggar
ketentuan-ketentuan sebagaimana tersebut di atas, diancam dengan sanksi hukuman kurungan
sekurang-kurangnya 1 (satu) bulan dan paling
lama 4 (empat) bulan. Juga diancam
dengan hukuman tambahan denda
sekurang-kurangnya Rp. 10.000.000,- (sepuluh juta rupiah) dan sebanyak-banyaknya Rp. 100.000.000,- (seratus juta rupiah).
Adanya pengaturan tindak pidana
kejahatan dan tindak pidana pelanggaran di bidang ketenagakerjaan yang kami uraikan tersebut diatas, dipandang merupakan tumpuan harapan baru bagi para kalangan pejuang
buruh/pekerja untuk
memperjuangkan hak-hak dari kaum buruh yang selama ini ditindas. Oleh karena itu, para pegiat (aktivis) perburuhan jangan hanya terfokus pada
penyelesaian melalui proses
persidangan pada Pengadilan Perselisihan Hubungan Industrial (PHI) semata. Tetapi setiap
pelanggaran yang terjadi atas hak-hak buruh
harus didorong melalui jalur pidana yaitu dengan menggunakan kewenangan yang dimiliki oleh PPK/PPNS ataupun
langsung kepada Polri selaku penyidik tindak pidana sesuai dengan Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana/KUHAP (UU No. 8
tahun 1981).
Memang, pengaturan tindak
pidana dalam UU belum mengatur semua jenis kejahatan-kejahatan yang terjadi dan dialami buruh, seperti: adanya penerapan
outsourcing, pekerja kontrak, borongan
dan pekerja harian lepas secara berlebihan. Namun, apa yang menjadi kewenangan dari
PPK/PPNS tersebut, jika dimaksimalkan akan dapat memberikan shock
therapy dan efek jera bagi pengusaha agar taat dan lebih menghargai hukum
dan para pekerja/buruh sebagai salah satu tulang punggung meningkatkan perekonomian suatu
bangsa.
Dalam praktek, pelaksanaan tugas dan wewenang PPK dan juga PPNS ini tidaklah mudah, karena diperhadapkan pada beragam situasi internal pada lembaga pemerintahan yang
mengakibatkan tugas dan wewenang PPK/PPNS tidak dapat
berjalan secara optimal. Misalnya kami melihat lemahnya dukungan
pemerintah mengenai pemberian fasilitas pendukung, rendahnya tingkat
profesionalisme, dan rendahnya
militansi PPK/PPNS dalam berhadapan
dengan pengusaha. Untuk itu, sangat diharapkan pemerintah agar serius mendukung
dan membenahi kinerja para PPK/PPNS dibidang ketenagakerjaan. Di samping itu dalam
melaksanakan tugasnya, PPK/PPNS diharapkan mau bekerja sama atau meminta informasi dan data-data secara
rutin atau reguler kepada seluruh pengurus-pengurus
serikat buruh/pekerja tingkat kabupaten/kota, termasuk juga serikat buruh pada
tingkat perusahaan. Dari adanya informasi dan
data-data yang berasal dari
serikat-serikat buruh inilah akan menjadi
informasi awal yang sangat
penting tentang ada atau tidak adanya pelanggaran hak-hak buruh di
perusahaan-perusahaan. Dengan demikian,
tugas pengawasan dan penyidikan yang dilakukan PPK/PPNS atas adanya pelanggaran terhadap hak-hak buruh pada perusahaan-perusahaan. Disamping itu, PPK dan PPNS akan semakin jelas dan efektif jika PPK
mampu membangun koordinasi dan kerjasama dengan pihak Kepolisian dan
Kejaksaan.
Demikian pembahasan kami tentang peran
efektif dari PPK dan PPNS bidang ketenagakerjaan dalam menjalankan tugas dan
wewenangnya memproses dan menindak para pengusaha-pengusaha
nakal yang selalu melanggar dan atau melawan ketentuan UU Ketenagakerjaan. Sekian dan terima kasih, semoga
bermanfaat bagi perkembangan tenaga kerja Indonesia kedepannya.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
No Link Aktif, Harap Maklum BOSS.....