Halaman

10 Maret 2016

Tahapan Yang Rawan Pelanggaran Pilkada (Pemilukada)

Tahapan Yang Rawan Pelanggaran Pilkada (Pemilukada) # Pada setiap penyelenggaraan pemilu/pilkada (baik itu pemilihan presiden, legislatif, dan juga kepala daerah) ada beberapa tahapan yang selalu rawan dan menjadi langganan terjadinya pelanggaran pemilu, dan titik rawan pelanggaran ini sepertinya sangat sulit untuk diawasi apalagi dihilangkan, mengingat kita belajar dari pemilu-pemilu yang telah dilangsungkan di Indonesia, selalu saja titik rawan ini muncul kepermukaan dan juga sepertinya sulit untuk dihapuskan. Para penyelenggara pemilu (KPU dan Bawaslu beserta dengan jajarannya di daerah), dibantu oleh pemerintah dan seluruh stakeholder telah berupaya mengantisipasi dan melakukan pengawasan secara intensif agar titik rawan terjadinya pelanggaran pada tahapan penting pemilu ini bisa dihilangkan atau paling tidak diminimalisir, namun tetap saja hasilnya belum memuaskan banyak pihak.


Titik Rawan Tahapan Pemilu-Pilkada Yang Wajib Intensif Dan Fokus Dilakukan Pengawasan Oleh Panwaslu-Panwaslih

Titik Rawan Tahapan Pelaksanaan Pemilu
Berdasarkan hasil penglihatan dan pengamatan kami pada pelaksanaan pilkada serentak tahap I pada tanggal 9 Desember 2015 yang lalu, titik rawan pengawasan Pilkada yang sangat menguras tenaga dan pikiran terdapat pada 3 (tiga) tahapan yaitu:
  • pendataan dan pemutahiran data pemilih;
  • masa kampanye;
  • dan proses pemungutan dan penghitungan suara;

Penjelasan Terhadap Pendataan dan Pemutahiran Data Pemilih
Pada tahapan ini, titik rawan yang biasanya terjadi adalah:
  • Para Pemilih yang Belum Cukup Umur => kecurangan dan atau pelanggaran ini biasanya terjadi dengan cara memasukkan data-data pemilih yang belum berusia 17 (tujuh belas) tahun dan atau sudah kawin dengan tujuan untuk memperbesar perolehan suara bakal calon ataupun pasangan calon tertentu. Kegiatan ini akan disusun (tata) dengan strategi yang rapi dan sistematis, serta bisa dilakukan pada level terendah, mulai dari tingkat desa, kecamatan maupun KPUD, atau bisa juga karena data yang dikirim oleh BPS (Badan Pusat Statistik) dan atau Kantor Dinas Kependudukan dan Catatan Sipil yang tidak akurat. Nah, antisipasi pengawasan yang bisa dilakukan adalah dengan mengecek data kelompok umur ini dengan teliti dan seksama;
  • Para Pemilih Meninggal Dunia => pada pelaksanaan tahap ini, ada kecenderungan para pemilih terdaftar dalam DPS/DPT yang sudah meninggal dunia secara sengaja tidak dicoret (delleteagar) surat suaranya hingga bisa dipergunakan oleh orang lain, baik diberikan pada pemilih fiktif dari daerah lain maupun pemilih yang sama sekali tidak terdaftar. Langkah antisipasi dan pengawasan yang perlu dilakukan adalah dengan cara ikuti terus perkembangan data kematian pada tiap-tiap lingkungan RT/RW dan desa, bila ditemukan segera laporkan pada Panita Pemungutan Suara (PPS) dan juga pada Panitia Pengawas Lapangan (PPL);
  • Adanya Para Pemilih Ganda => Terjadinya perbuatan duplikasi data pemilih sering dilakukan baik dengan menuliskannya secara ganda persis sama atau dengan cara mengubah identitasnya. Hal ini, dimaksudkan agar terjadi penggelembungan dan atau pembengkakan data jumlah pemilih dan surat suara, serta juga surat undangannya (C-6) dapat dimanfaatkan dan bisa dipergunakan oleh orang lain, baik diberikan pada pemilih fiktif dari daerah lain maupun pemilih yang sama sekali tidak terdaftar dalam Daftar Pemilih Tetap (DPT). Langkah antisipasi yang perlu kita lakukan adalah dengan sesekali mencermati data penduduk di tiap RT/RW bahkan disinkronkan dengan tingkat desa;
  • Data Pemilih Fiktif => Pemilih fiktif maksudnya adalah pemilih yang masuk dalam daftar pemilih tetap, tetapi sebenarnya orangnya tidak ada dan atau tidak berdomisili ditempat tersebut. Artinya, ada nama pemilih yang terdaftar tetapi sejatinya orang tersebut tidak pernah atau bertempat tinggal disitu. Langkah antisipasinya dengan melakukan pengecekan daftar pemilih sampai tingkat RT/RW setempat, dan bila menemukan yang demikian segera laporkan kepada panitia pengawas (panwas) agar dijadikan sebagai temuan;
Penjelasan Terhadap Masa Kampanye
Pada masa kampanye, sering ditemukan hal-hal seperti:
  • Terjadinya Benturan Fisik => dalam setiap kegiatan pelaksanaan pemilu (pilkada) sangat lazim terjadi pengkotak-kotakan atau perbedaan pendapat atas pemberian dukungan terhadap calon Gubernur, Bupati/Wali Kota dan Wakilnya. Hal ini bisa terjadi baik pada skala kecil (misalnya dalam 1 (satu) rumah tangga), satu desa/kelurahan sampai pada satu kecamatan. Lebih parahnya lagi, pada saat masa kampanye ini sering terjadi benturan fisik akibat yel-yel atau juga berupa pancingan-pancingan yang rada emosi yang dilakukan salah satu kubu pada saat masa kampanye yang bisa menjurus pada tindakan pelanggaran pidana UU Pemilu. Langkah antisipasif yang dapat dilakukan adalah dimulai dengan memberikan penyadaran kepada para pemilih bahwa pesta demokrasi bukanlah ajang untuk mencari musuh tetapi untuk lebih menghargai adanya perbedaan pilihan diantara sesama warga masyarakat, dan yang tidak kalah penting lagi adalah membangun kerjasama dengan “SENTRA GAKKUMDU” (Penegakan Hukum Terpadu) antara BAWASLU, KEJAKSAAN DAN KEPOLISIAN, khususnya untuk POLRI agar bertindak tegas tanpa pandang bulu, jika dilapangan ditemukan adanya terjadi perbuatan tindak pidana, baik tindak pidana pemilu maupun tindak pidana umum;
  • Terjadinya Black Campaign (Kampanye Hitam) => Diera modernisasi ini, kita sering disuguhkan berbagai teknik kampanye dengan cara menjelek-jelekan para kandidat, misalnya dilakukan dengan cara penyebaran statement agar terjadi penarikan simpati atau dukungan para pemilih dari pasangan calon (paslon) tertentu. Padahal penyebaran itu bukan dari tim kampanye atau tim sukses yang bersangkutan. Ada memang kelompok tertentu yang berpolitik secara tidak sopan dan santun dengan cara membuat black campaign ini dengan cara menghembuskan isu Suku, Agama, Ras dan juga Adat Istiadat (SARA), tetapi kita jangan lengah dan mudah terjebak bahwa calon Gubernur, Bupati/Wali Kota dan Wakilnya yang terkena black campaign adalah sebagai korbannya, karena beberapa kasus pemilu (pilkada) membuktikan bahwa justru pembuat black campaign ini adalah tim suksesnya sendiri dengan tujuan agar masyarakat lebih merasa iba karena calonnya telah dianaiaya, meskipun memang ada beberapa contoh kasus yang black campaign dibuat oleh kubu lawan politik. Langkah antisipasif yang perlu dilakukan adalah dengan segera tarik selebaran kampanye hitam ini sebelum menyebar kemana-mana, jika perlu tangkap pelakunya dan dipidanakan ke meja hijau;
  • Saat Pemasangan Alat Peraga dan Bahan Kampanye (APK) => pada masa kampanye pemasangan alat peraga kampanye dan bahan kampanye adalah merupakan tahapan yang wajib dilakukan oleh para calon Gubernur, Bupati/Wali Kota dalam rangka mempromosikan visi, misi, dan program kerja para calon Gubernur, Bupati/Wali Kota. Justru yang terjadi adalah masing-masing para pasangan calon akan berlomba dan terjadilah “perang alat peraga kampanye” dengan tidak mengindahkan atau mengikuti aturan pemasangan alat peraga kampanye (apk) dan zona-zona yang telah ditetapkan sebelumnya. Hal ini terjadi karena memang para pemasangan APK tidak memahami aturannya (karena tidak diberitahu oleh tim sukses/pemenangan) atau memang disengaja untuk itu. “Perang APK“ ini sering kali menimbulkan berbagai benturan di tengah-tengah masyarakat. Langka antisipasif yang bisa dilakukan adalah dengan segera menegakkan aturan-aturan tentang pemasangan APK dan zonasinya. Bila masih ditemukan para pelanggar, segera tindak tegas pihak-pihak pelakunya tanpa pandang bulu;
  • Netralitas PNS, TNI, POLRI, dan Kepala Desa => Tidak dapat kita pungkiri lagi bahwasanya netralitas PNS, TNI, POLRI, dan Kepala Desa patut dipertanyakan dalam setiap penyelenggaraan pilkada. Baik caranya dengan terselubung maupun secara terbuka. Cara terselubung misalnya, dengan ikut menjadi penyandang dana untuk mensukseskan calon Gubernur, Bupati/Wali Kota tertentu dengan imbalan jika calon yang didukung nantinya menang akan mendapat jabatan tertentu atau proyek tertentu. Ada pula dengan cara terang-terangan yang ikut langsung berkampanye dan mengerahkan massa. Biasanya para pejabat menggunakan dan atau memanfaatkan kekuasannya dengan mengarahkan atau mengintervensi bawahannya untuk mendukung calon Gubernur, Bupati/Wali Kota tertentu. Langkah antisipasinya adalah dengan mengawasi dan meminta masukkan dari PNS itu sendiri tentang pejabat mana dan mendukung siapa. Bila ditemukan hal yang demikian, maka segera laporkan atau lakukan tindakan tegas jika ada pejabat yang ikut kampanye dengan aturan netralitas bagi PNS termasuk Kepala Desa;
Pada Masa Proses Sebelum Dan Saat Pemungutan Suara
Ada beberapa hal yang sering terjadi pada saat proses dilaksanakan pemungutan suara, yaitu:
  • Surat Undangan (C-6) Tidak Dibagikan => Pada saat penyelenggara pemilu (pilkada) atau panitia pelaksana pemilu sudah tidak netral lagi, maka yang terjadi adalah surat undangan bagi pemilih yang jelas-jelas berseberangan dengan pilihannya cenderung tidak dibagikan. Langka antisipatifnya yaitu dengan melakukan pengecekan ke rumah-rumah apakah maksimal 1 hari sebelum hari pemungutan suara, surat undangan (C-6) sudah dibagikan atau belum, jika belum agar menyuruh yang bersangkutan memintanya kepada KPPS setempat;
  • Money Politic (Politik Uang) => Money politic biasanya dilakukan 1 hari sebelum hari pencoblosan surat suara dan acap kali dilakukan dini hari (menjelang subuh) sehingga hal ini lazim disebut dengan “serangan fajar”. Caranya yaitu dengan memberikan sesuatu baik berupa uang atau barang tertentu dengan maksud dan tujuan agar yang bersangkutan memilih calon Gubernur, Bupati/Wali Kota tertentu. Politik uang (Money Politic) merupakan salah satu cara yang diindikasikan sering dilakukan oleh seseorang atau sekelompok orang tertentu untuk menjatuhkan lawan politik dengan cara-cara yang tidak benar, tidak sesuai etika, berbohong dan menyesatkan. Melalui praktek politik uang, dapat dikembangkan bahwa pemaknaan politik uang tidak hanya menekankan pada transaksional saja melainkan juga menekankan pada makna fungsional dengan memaknai uang dalam politik mempunyai fungsi bervariasi, yaitu sebagai => (1) modal politik, (2) biaya politik, (3) mendapatkan simpati dan (4) sebagai alat tukar yang bersifat transaksional untuk mendapatkan suara dari pemilih. Langka antisipasifnya, yaitu dengan cara melakukan pengawasan terhadap posko-posko tim sukses, memonitoring setiap gerakan tim pemenangan dan atau simpatisannya, bila masih ditemukan politik uang ini, maka segera tangkap pelakunya beserta barang buktinya dan serahkan kepada Panwas ataupun Polri di Sentra Gakkumdu agar di proses pelanggaran pidana pemilu;
  • Terdapatnya Pemilih Siluman (Fiktif) => Pemilih fiktif atau siluman adalah pemilih yang sebenarnya tidak tercantum dalam DPT (Daftar Pemilih Tetap) tetapi dapat secara legal menggunakan hak pilih. Hal ini terjadi karena adanya kerja sama dengan penyelenggara pemilu secara terstruktur untuk memenangkan pasangan calon (paslon) Gubernur, Bupati/Wali Kota tertentu. Caranya beragam mulai dari pembuatan KTP Aspal (asli tapi palsu), menggunakan daftar pemilih ganda atau yang sudah meninggal dunia, sampai menggunakan surat undangan atau surat suara yang tidak terpakai. Biasanya hal ini sering terjadi pada daerah-daerah dengan kondisi pengawasan yang kurang. Langkah antisipasi yang harus dilakukan adalah dengan mengawasi secara ketat daerah-daerah perbatasan dengan kabupaten/kota lain, serta TPS terisolir dan jangan lupa agar menjalin kerjasama dengan para saksi pasangan pasangan calon Gubernur, Bupati/Wali Kota dan juga dengan para pengawas independen;
  • Pembelian Kartu Pemilih => Cara ini sering dilakukan oleh tim sukses (pemenangan) atau oknum tertentu adalah dengan membeli dan atau membayar surat undangan pemilih (C-6). Caranya membeli/membayar surat undangan pemilih ini dengan menawarkan sejumlah uang agar pemilih lawan tidak menggunakan hak pilihnya. Hal ini biasanya dilakukan di daerah basis calon dukungannya tetapi ada beberapa pemilih yang beda pilihannya. Langkah antisipasinya dengan melakukan pengawasan pada daerah rawan ini, segera laporkan jika ada oknum yang melakukan hal ini;
  • Surat Suara Ilegal => Biasanya hal ini dilakukan dengan cara menggandakan surat suara sebelum hari pemungutan suara atau dengan modus KPPS sengaja memberikan surat suara lebih dari satu kepada pemilih. Langkah antisipasinya yaitu dengan selalu mengawasi dan memperhatikan KPPS pada saat akan memberi surat suara kepada pemilih;
Pada Waktu Penghitungan Surat Suara
Hal-hal yang sering terjadi di saat dilakukannya proses penghitungan suara adalah:
  • Suara Sah dan Tidak Sah => Modusnya biasanya dilakukan misalnya, ada surat suara yang tidak sah tapi dihitung sah atau sebaliknya. Ada pula surat suara sah tapi sengaja dirusak biar tidak sah. Oknum pelaku yang memiliki kesempatan ini adalah para penyenggara pemilu. Langkah antisipasi yang dapat dilakukan adalah dengan adanya kejelian pengawasan yang dilakukan oleh pengawas pemilu (panwaslu/panwaslih) dan saksi sangat dibutuhkan;
  • Terjadinya Beda Jumlah Pemilih dan Surat Suara => Dilapangan sering kali terjadi jumlah pemilih yang hadir dan jumlah suara yang diperoleh berbeda. Hal ini terjadi karena penyelenggara pemilu tidak menghitung terlebih dahulu jumlah surat suara yang telah dicoblos oleh pemilih, sehingga hasilnya bisa berlebih atau berkurang. Ketika terjadi perbedaan jumlah biasanya penyelenggara pemilu melakukan jalan pintas dengan cara mengurangi surat suara dan jika terjadi kekurangan biasa penyelenggara menambahkan pada suara rusak. Sesungguhnya hal ini tidak dibenarkan dan sangat merugikan salah satu pasangan calon. Langkah krusial dan antisipasif yang harus dilakukan khususnya oleh pengawas adalah dengan meminta KPPS menghitung surat suara dan hasilnya harus sesuai dengan jumlah pemilih yang hadir menggunakan hak pilihnya;
  • Manipulasi Perolehan Suara => Kegiatan memanipulasi perolehan suara biasanya terjadi karena ketidakjelian saksi-salso dan juga pengawas pemilu (pilkada). Apalagi biasanya bila saksi disuruh terlebih dahulu menandatangi lembaran berita acara dan juga sertifikat hasil penghitungan suara. Jika hal ini terjadi, maka sangatlah mudah bagi penyelenggara pemilu untuk melakukan manipulasi perolehan suara. Langkah antisipasi yang harus dilakukan adalah para saksi dan juga pengawas jangan mau menandatangani terlebih dahulu hasil pemungutan suara sebelum proses penghitungan suara selesai. Kawal terus hasilnya sampai tingkat di atasnya, misal dari KPPS ke PPS, dari PPS ke PPK, dari PPK ke KPU Daerah Kabupaten/Kota, kemudian ke Provinsi;
Rakyat Atau Masyarakat Mempunyai Tugas Wajib Untuk Melakukan Pengawasan Terhadap Seluruh Tahapan Pemilu Di Daerah Indonesia

Itulah sedikit penjelasan kami mengenai tahapan pemilu (pilkada) yang selalu menjadi titik rawan terjadinya pelanggaran, dimana hal ini sangat diperlukan pengawasan yang lebih intensif dan ketat dari seluruh komponen masyarakat. Dengan kata lain, pengawasan partisipatif masyarakat di dalam penyelenggaraan pemilu, pilkada atau pemilukada adalah sangat diharapkan. Semoga tulisan ini bermanfaat penyelenggaraan pilkada serentak tahap II tanggal 15 Februari 2017 yang akan datang. Sekian dan terima kasih.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

No Link Aktif, Harap Maklum BOSS.....