Tingginya keinginan pebisnis berinvestasi
dalam usaha berbasis bisnis belanja online (e-commerce) dengan membuka
toko-toko online di internet, telah diprediksikan oleh para ekonom dan ahli/pakar
bisnis online akan memiliki prospek yang cerah di masa depan, semakin terjawab
dengan kehadiran dan pembukaan beberapa toko online. Tak tanggung-tanggung,
para pebisnis ini berani menginvestasikan dananya berjumlah ratusan juta dollar
amerika untuk toko online-nya. Sebut saja 1 (satu) contoh, Lippo Group telah mengumumkan
investasi yang akan ditanamkan di website/situs belanja online yang bernama
matahari mall sebesar 500 juta dollar Amerika atau setara dengan Rp. 7,1
triliun. Hal ini membuktikan, bahwa bisnis belanja online merupakan salah satu
pangsa pasar bisnis yang masih sangat menjanjikan dapat memberikan keuntungan
yang besar.
Menurut riset para ekonom dan pebisnis
internet online, saat ini bisnis e-commerce di Indonesia baru memiliki investasi
sekitar 1% dari total investasi pada industri retail secara keseluruhan. Dengan
kata lain, bahwa angka 1% tersebut berarti nilainya baru setara dengan Rp. 1,3
triliun. Sehingga harapan terjadinya peningkatan nilai investasi dari pelaku
usaha bisnis e-commerce di Indonesia akan meningkat 15-20 kali lipat dalam kurun
waktu 5-10 tahun mendatang.
Nah, tentu saja resiko yang mungkin timbul
dari kegiatan usaha bisnis e-commerce di Indonesia pasti ada, karena itulah
pada kesempatan kali ini, kita akan membahas sedikit tentang aspek hukum bisnis
e-commerce di Indonesia berdasarkan ketentuan hukum dan peraturan
perundang-undangan yang berlaku saat ini, khususnya dalam hal tata cara penyelesaian
sengketa dan atau kejahatan yang timbul dalam kegiatan bisnis online ini. Tidak
hanya itu saja, pengaturan kaidah-kaidah terhadap penerapan hukum bisnis yang berhubungan langsung
dengan kegiatan usaha bisnis e-commerce harus tetap dipertimbangan agar tidak
menyalahi.
Salah satu langkah yang bisa dipergunakan untuk
menyelesaikan bila terjadi sengketa e-commerce adalah melalui penggunaan badan
arbitrase online, yakni dengan menggunakan Online Dispute Resolution (ODR),
yang merupakan perkembangan dari cara penyelesaian sengketa non-litigasi yang
ada di dunia nyata. Cara penyelesaian sengketa dengan menggunakan ODR telah dianggap
oleh para pelaku bisnis di dunia maya online (e-commerce) sebagai salah satu solusi
terbaik dalam menyelesaikan setiap adanya masalah sengketa bisnis yang timbul dalam
kegiatan transaksi di dunia maya, namun banyak kendala hukum dalam penerapan
sistem penyelesaian model sengketa ini di Indonesia.
Seandainya, dari kegiatan bisnis online ini
terjadi kejahatan e-commerce yang sudah masuk pada ranah hukum pidana, maka
ketentuan hukum yang dapat dipergunakan untuk menyelesaikannya adalah dengan
menggunakan Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi
Elektronik. Secara khusus pasal-pasal termaktub dalam UU ITE yang secara
spesifik mengatur tentang kejahatan dalam e-commerce adalah pada Pasal 30, yang
berbunyi sebagai berikut:
- Ayat 1 menyatakan: Setiap Orang dengan sengaja dan tanpa hak atau melawan hukum mengakses Komputer dan/atau Sistem Elektronik milik Orang lain dengan cara apa pun;
- Ayat 2 menyatakan: Setiap Orang dengan sengaja dan tanpa hak atau melawan hukum mengakses Komputer dan/atau Sistem Elektronik dengan cara apa pun dengan tujuan untuk memperoleh Informasi Elektronik dan/atau Dokumen Elektronik;
- Ayat 3 menyatakan: Setiap Orang dengan sengaja dan tanpa hak atau melawan hukum mengakses Komputer dan/atau Sistem Elektronik dengan cara apa pun dengan melanggar, menerobos, melampaui, atau menjebol sistem pengamanan;
Sedangkan mengenai sanksi pidana atau ancaman
hukum yang bisa menjerat para pelaku pada tindak pidana e-commerce, dapat
dengan jelas tercantum dalam Pasal 46, sebagai berikut:
- Ayat 1 menyatakan: Setiap Orang yang memenuhi unsur sebagaimana dimaksud dalam Pasal 30 ayat (1) dipidana dengan pidana penjara paling lama 6 (enam) tahun dan/atau denda paling banyak Rp. 600.000.000,00 (enam ratus juta rupiah);
- Ayat 2 menyatakan: Setiap Orang yang memenuhi unsur sebagaimana dimaksud dalam Pasal 30 ayat (2) dipidana dengan pidana penjara paling lama 7 (tujuh) tahun dan/atau denda paling banyak Rp. 700.000.000,00 (tujuh ratus juta rupiah);
- Ayat 3 menyatakan: Setiap Orang yang memenuhi unsur sebagaimana dimaksud dalam Pasal 30 ayat (3) dipidana dengan pidana penjara paling lama 8 (delapan) tahun dan/atau denda paling banyak Rp. 800.000.000,00 (delapan ratus juta rupiah);
Nah, jikalau anda mengalami kerugian akibat
terjadinya kejahatan dalam bertransaksi atau perkara e-commerce, maka hal itu
dapat segera dilaporkan ke penegak hukum, yakni Polri. Karena hal tersebut
adalah kejahatan e-commerce yang mana adalah merupakan perbuatan tindak pidana
yang hukumannya tergolong berat sebagaimana telah kami kemukakan diatas.
Sekian tulisan tentang tinjauan terhadap aspek hukum bisnis
transaksi e-commerce di Indonesia, semoga ada manfaatnya, bagi para rekan-rekan
advokat dan atau lawyer/pengacara yang ada di Nusantara, khususnya Kota Medan,
Sumatera Utara. Terima kasih.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
No Link Aktif, Harap Maklum BOSS.....