Halaman

16 Oktober 2016

Contoh Surat Perjanjian Pra Nikah (Prenuptial Agreement)

Perlukah surat perjanjian pranikah (prenuptial agreement) bagi calon pasangan suami isteri (agama Kristen Protestan, Islam, Katolik, Hindu Budha, Khonghucu dan aliran kepercayaan)? Bagaimanakah cara membuatnya? Adakah syarat-syarat hukum tertentu yang harus dipenuhi dalam pembuatan surat perjanjian pra nikah tersebut? Dan apa-apa saja contoh yang boleh atau tidak bisa dituangkan dalam perjanjian pra-nikah tersebut? Pertanyaan-pertanyaan inilah yang sering muncul dibenak calon pasangan suami istri ketika hendak melangsungkan pernikahan atau perkawinan dalam konteks pembuatan surat perjanjian pra nikah.

Contoh Terlengkap Format dan Draft Surat Perjanjian Pra Nikah atau Sebelum Kawin

Dalam peristiwa yang berhubungan dengan perbuatan pada hukum dalam bidang hukum perkawinan yang terjadi ditengah-tengah masyarakat Indonesia, sudah tidak dapat dipungkiri bahwa telah banyak calon suami isteri yang membuat surat perjanjian pranikah (prenuptial agreement) atau disebut juga surat perjanjian prakawin (prenuptual agreement). Kondisi ini tentu saja, harus dimaknai secara positif demi mengukuhkan tujuan perkawinan/pernikahan, yakni: mewujudkan rumah tangga atau keluarga yang sejahtera dan bahagia lahir dan batin.

Kalau ditelisik dari ketentuan Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang perkawinan, adanya pengaturan tentang perjanjian pranikah atau perjanjian pra-kawin (prenuptial agreement) secara tegas dan jelas diatur dalam Pasal 29 UU No. 1 Tahun 1974, dimana arti, definisi dan atau pengertian dari perjanjian perkawinan adalah => “perjanjian yang dilakukan oleh calon suami ataupun isteri mengenai kedudukan harta setelah mereka melangsungkan pernikahan”.

Selain pengaturan diatas, mengenai adanya perjanjian dalam perkawinan atau pernikahan juga diatur dalam ketentuan hukum perdata (KUHPerdata) sebagaimana disebutkan dalam BAB Ketujuh pada Pasal 139 s/d 167 dan juga secara tegas diatur dalam BAB VII Pasal 45 – 52 Kompilasi Hukum Islam (KHI). Kalau kita telaah inti dari ketentuan yang termaktub dalam BAB Ketujuh pada Pasal 139 – 167 KUHPerdata dinyatakan bahwa perjanjian perkawinan adalah => “suatu perjanjian yang menyimpang dari asas atau peraturan perundang-undangan terkait persatuan harta kekayaan suami istri selama perkawinan, sejauh perjanjian tersebut tidak menyalahi tata susila yang baik atau tata tertib umum (norma-norma dan kepatutan-kepatutan yang berkembang ditengah-tengah masyarakat). Mengenai apa itu arti, definisi dan pengertian tentang hukum perdata, silahkan baca tulisan yang berjudul "apa sih arti dan pengertian hukum perdata" agar dapat memahaminya secara komprehensif.

Dinamika perkembangan penggunaan perjanjian untuk perkawinan, memang lazim dimaknai sebagai pemisahan harta kekayaan bawaan, namun sebenarnya bila kita perhatikan secara detail dasar hukum dari adanya perjanjian dalam perkawinan/pernikahan tidak terbatas pada hal pemisahan harta bawaan semata (lebih luas dari hanya sekedar pengaturan atas materi kebendaan), misalnya pelarangan adanya poligami ataupun poliandri, pengaturan penggunaan harta bersama dalam perkawinan, tidak dibenarkan adanya pelarangan untuk meraih prestasi atau jenjang karir maupun pendidikan lanjutan suami atau isteri, pelarangan adanya kekerasan dalam rumah tangga (KDRT), jadwal menjemput ataupun mengantar anak, dlsb.

Berdasarkan ketentuan yang diatur dalam UU Perkawinan Nomor 1 Tahun 1974, harta perkawinan itu sendiri dapat dibagi menjadi 2 (dua) kategori, yaitu:
Harta asal/harta bawaan, yaitu harta benda yang dibawa masing-masing suami atau istri ke dalam perkawinan (baik dalam hal ini berupa harta benda berbentuk harta dari hadiah atau warisan, di mana pengurusannya diserahkan pada masing-masing pihak (vide Pasal 35 ayat (2) jo Pasal 36 ayat (2));
Harta bersama (vide Pasal 35 ayat (1)), yaitu harta benda yang dibentuk atau diperoleh selama perkawinan, dimana suami atau isteri dapat bertindak atas atas persetujuan kedua belah pihak (vide Pasal 36 ayat (1));

Nah kalau ditelaah makna perjanjian dalam sebuah perkawinan dalam KUH Perdata, pada prinsipnya terdapat 3 (tiga) hal yang terkait dengan perjanjian kawin khususnya dalam hal pemisahan harta, yakni:
Perjanjian kawin untung rugi;
Perjanjian kawin hasil dan pendapatan;
Perjanjian kawin yang sama sekali terpisah, baik harta bawaan atau harta benda asal maupun harta yang diperoleh selama perkawinan, dimana hal ini lazim dibuat dalam sebuah surat perjanjian pisah harta yaitu suatu perjanjian yang mengatur pemisahan harta bawaan/asal maupun harta bersama yang diperoleh selama berlangsungnya perkawinan/pernikahan.

Sementara dalam Kompilasi Hukum Islam (KHI), pengaturan tentang perjanjian dalam perkawinan/pernikahan dimaknai lebih luas lagi yang substansinya berisi tentang:
Pemisahan harta bersama (harta syarikat);
Percampuran semua harta pribadi yang dibawa masing-masing ke dalam perkawinan maupun harta-harta yang akan diperoleh selama berlangsungnya pernikahan;
Percampuran harta pribadi yang dibawa pada saat perkawinan, namun tidak meliputi harta pribadi yang diperoleh selama perkawinan ataupun sebelum terjadinya perkawinan (pengaturan terbatas);
Termasuk taklik talak;
Perjanjian lainnya sejauh perjanjian perkawinan/pernikahan tersebut tidak bertentang dengan Hukum Islam;

Dari pengertian dan adanya pengaturan-pengaturan diatas, diperoleh kesimpulan bahwa dengan adanya perjanjian dalam perkawinan dimaksud, maka harta asal/bawaan suami ataupun isteri dapat tetap terpisah dan tidak terbentuk melebur menjadi harta bersama, suami maupun isteri memisahkan harta yang didapat masing-masing selama perkawinan. Sementara kalau kita perhatikan dalam penjelasan Pasal 29 UU No. 1 Tahun 1974 juncto Peraturan Pemerintah (PP) No. 9 Tahun 1975 jelas disebutkan bahwa tak’ilik-talak tidak termasuk dalam perjanjian perkawinan. Perjanjian perkawinan itu dibuat pada waktu atau sebelum (pra) berlangsungnya perkawinan sebelum calon pasangan suami isteri mencatatkan perkawinannya pada Kantor Urusan Agama (KUA) bila beragama Islam dan Kantor Catatan Sipil bila yang beragama non-muslim (beragama Kristen Protestan, Katolik, Budha, Hindu, Konghucu ataupun aliran kepercayaan), dimana surat perjanjian pra nikah/prakawin harus dibuat dalam bentuk “akta notariil” oleh pejabat notaris. Apabila telah disahkan, maka isinya mengikat para pihak dan juga pihak ketiga sepanjang pihak ketiga tersebut terikat. Perjanjian perkawinan dalam konteks perjanjian pranikah atau pra kawin ini mulai berlaku sejak perkawinan berlangsung dan tidak boleh dirubah kecuali atas persetujuan kedua belah pihak dengan syarat tidak merugikan pihak ketiga yang terkait.

Nah, terkadang perbuatan hukum berupa perjanjian pra nikah (praperkawinan) maupun sering disebut dengan perjanjian kawin/perjanjian nikah ini sangat dibutuhkan dalam kehidupan sehari-hari. Oleh karenanya, kami akan membagikan contoh konsep surat perjanjian pra nikah atau contoh surat perjanjian pra-kawin lengkap yang lazim dan populer disebut sebagai perjanjian kawin / perjanjian nikah.

SURAT PERJANJIAN PRANIKAH/PRA-KAWIN (PRENUPTIAL AGREEMENT)

Pada hari Sabtu, 15 Oktober 2016 (lima belas oktober tahun dua ribu enam belas), di Kota Medan, Provinsi Sumatera Utara (SUMUT), para pihak telah sepakat untuk membuat surat perjanjian pranikah atau prakawin dari dan antara:

Nama: Pratama Putra Hasibuan, SE, MSAP., Laki-laki, Kewarganegaraan Indonesia, Lahir di Kota Medan, 10 September 1976 (Umur 40 Tahun), Agama Kristen Protestan, Pekerjaan Karyawan PT Nusantara IV, Alamat Jalan Sutomo Barat No. 150, Lk VII, Kelurahan Medan Timur, Kota Medan, Provinsi Sumatera Utara (Sumut), Indonesia.

Dalam hal ini bertindak untuk dan atas nama pribadi, yang selanjutnya disebut sebagai PIHAK PERTAMA (PIHAK-I);

Nama: Ani Beatrix Siregar, SE, MM., Perempuan, Kewarganegaraan Indonesia, Lahir di Medan, 24 Mei 1977 (Umur 39 Tahun), Pekerjaan Karyawan PT. Bank Central Asia (BCA), Alamat Jalan Bambu VII No. 10-A, Lk V, Kelurahan Medan Timur, Kota Medan, Provinsi Sumatera Utara (Sumut), Indonesia.

Dalam hal ini bertindak untuk dan atas nama pribadi, yang untuk selanjutnya disebut sebagai PIHAK KEDUA (PIHAK-II);

Kedua belah pihak, berdasarkan adanya itikad baik dan tanpa adanya unsur paksaan dari pihak manapun, telah sepakat untuk mengikatkan diri dalam sebuah perkawinan resmi dan untuk itu bersepakat pula untuk mengikatkan diri dan tunduk pada isi surat perjanjian pranikah atau pra kawin ini, dengan syarat-syarat dan ketentuan sebagai berikut:

PRINSIP DASAR
Pasal 1
Kedua belah pihak mengaku adalah saling sama hak, saling sama martabat, dan saling sama kedudukan di depan hukum, serta menjunjung tinggi hak asasi manusia (HAM).

Pasal 2
Perjanjian ini berazaskan pada prinsip keadilan, kesetaraan gender, kesamaan kedudukan sosial, hukum, dan penghormatan terhadap prinsip-prinsip hak asasi manusia (HAM).

PERKAWINAN MONOGAMI
Pasal 3
Kedua belah pihak sepakat bahwa pada prinsipnya perkawinan ini hanya tunduk pada perkawinan monogami dan menentang keras adanya poligami ataupun poliandri.

Pasal 4
Dalam keadaan khusus, kedua belah pihak sepakat untuk mengabaikan prinsip monogami.
Keadaan khusus tersebut adalah :
Dalam jangka waktu 2 (dua) tahun setelah perkawinan disahkan oleh pejabat yang berwenang, salah satu pihak berdasarkan surat keterangan dari Rumah Sakit yang ditunjuk oleh Surat Perjanjian Pranikah ini, dinyatakan tidak mempunyai kemampuan untuk memperoleh keturunan dan;
Kedua belah pihak sepakat untuk tidak melakukan pengangkatan anak (adopsi).
Rumah Sakit yang ditunjuk dalam perjanjian prakawin ini adalah Rumah Sakit Umum Haji Adam Malik Medan.

Pasal 5
Pengabaian prinsip monogami ini, selain harus memenuhi ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 4, harus berdasarkan pada ketentuan perundang-undangan yang berlaku dan disertai dengan putusan pengadilan yang telah berkekuatan hukum tetap.

HARTA KEKAYAAN DAN PENGELOLAAN KEKAYAAN
Pasal 6
Harta kekayaan Pihak Pertama saat ini meliputi :
2 buah mobil toyota avanza warna hitam tahun 2013 dan 2015 (mohon No. Pol – No. Rangka dan Nomor Mesin disebutkan secara jelas), 2 unit rumah yang terletak di Perumnas Simalingkar Medan tepatnya terletak di Jalan Kopi Raya No. 1 dan Karet Raya No.5 (mohon disebutkan Nomor Sertifikatnya).
Pengelolaan harta kekayaan Pihak Pertama merupakan hak dari Pihak Pertama.
Pihak Pertama berhak untuk melakukan tindakan hukum yang patut terhadap harta kekayaan sebagaimana disebutkan dalam ayat (1).
Tindakan hukum tersebut termasuk namun tidak terbatas pada menjual, menggadaikan, hibah, dan menjaminkan kepada pihak ketiga (Pihak-III).

Pasal 7
Harta kekayaan Pihak Kedua saat ini meliputi : xxxx (sebutkan secara jelas dan lengkap satu persatu).
Pengelolaan harta kekayaan Pihak Kedua merupakan hak dari Pihak Kedua.
Pihak Keduaa berhak untuk melakukan tindakan hukum yang patut terhadap harta kekayaan sebagaimana disebutkan dalam ayat (1) diatas.
Tindakan hukum tersebut termasuk namun tidak terbatas pada menjual, menggadaikan, hibah, dan menjaminkan kepada pihak ketiga (Pihak III)

Pasal 8
Harta Kekayaan yang diperoleh oleh kedua belah pihak selama berlangsungnya perkawinan adalah menjadi harta milik bersama.
Pengelolaan harta kekayaan bersama tersebut dijalankan secara bersama-sama.
Salah satu pihak tidak dibenarkan untuk melakukan tindakan hukum tanpa ijin terhadap harta bersama, namun tidak terbatas pada menjual, membeli, menggadaikan, hibah, dan menjaminkan harta bersama kepada pihak ketiga

PERLINDUNGAN ANAK DAN KEKERASAN TERHADAP RUMAH TANGGA
Pasal 9
Kedua belah pihak sepakat untuk tidak melakukan perbuatan tindak pidana kekerasan terhadap rumah tangga (KDRT), sebagaimana telah diatur dalam UU RI No. 23 Tahun 2004 tentang Penghapusan Kekerasan Dalam Rumah Tangga (KDRT).
Kedua belah pihak sepakat segala bentuk kekerasan terhadap rumah tangga harus ditiadakan baik terhadap anggota keluarga inti maupun terhadap orang-orang yang bekerja dalam rumah yang merupakan tempat kediaman bersama dan/atau tempat tinggal dari kedua belah pihak.

Pasal 10
Kedua belah pihak sepakat untuk memberikan perhatian yang baik dan berimbang terhadap pertumbuhan dan perkembangan kejiwaan anak.
Kedua belah pihak sepakat untuk memberikan waktu yang seimbang terhadap perawatan dan pendidikan anak.
Kedua belah pihak sepakat untuk menerapkan prinsip-prinsip umum sebagaimana diatur dalam Konvensi Hak Anak dan UU RI No 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak joucto (jo) UU No. 35 Tahun 2014.

PERUBAHAN PERJANJIAN
Pasal 11
Perubahan perjanjian hanya dapat dilakukan atas persetujuan kedua belah pihak dan juga tidak merugikan pihak ketiga.


Pasal 12
Perubahan atas perjanjian pranikah atau kesepakatan prakawin hanya dimungkinkan terhadap ketentuan yang belum diatur jelas dalam sruat perjanjian ini serta tidak bertentangan dengan hukum, norma-norma kesusilaan serta kepatutan-kepatutan yang berkembang ditengah-tengah masyarakat.

Pasal 13
Perubahan perjanjian tersebut bersifat penambahan, sehingga akan melekat dan merupakan bahagian yang tidak terpisahkan (mutatis mutandis) terhadap isi perjanjian ini.

Pasal 14
Perubahan perjanjian hanya sah, berlaku, dan mengikat secara hukum bagi kedua belah pihak apabila telah mendapatkan pengesahan dari Ketua Pengadilan Negeri dimana perjanjian ini didaftarkan.

PERSELISIHAN
Pasal 15
Apabila terjadi perselisihan mengenai isi dan atau penafsiran atas perjanjian ini, kedua belah pihak sepakat untuk menyelesaikannya secara damai dengan terlebih dahulu mendahulukan jalan musyarawah dan mufakat.
Apabila penyelesaian sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) tersebut gagal, maka kedua belah pihak sepakat untuk menunjuk satu atau lebih mediator.
Mediator berjumlah ganjil yang jumlahnya sekurang-kurangnya satu dan sebanyak-banyaknya lima orang mediator.
Pengaturan tentang mediasi akan diatur lebih lanjut dalam perjanjian lain yang nantinya turut melekat pada perjanjian ini.
Pengaturan tentang mediasi dan juga tata caranya dapat dilakukan pada waktu terjadinya perselisihan.

Pasal 16
Apabila mediator gagal dalam menjalankan tugasnya dan/atau kedua belah pihak tidak mencapai persetujuan terhadap hasil mediasi, kedua belah pihak sepakat untuk menunjuk Pengadilan Negeri Jakarta Pusat sebagai tempat penyelesaian perselisihan.

Pihak Pertama,                                   Pihak Kedua,



(Pratama Putra Hasibuan, SE, MSAP) (Ani Beatrix Siregar, SE, MM)


Saksi-Saksi:

1. Selamat Rambe

2. Melati Jayanti

Catatan: Bahwa segala sesuatu dalam contoh surat perjanjian pra-nikah atau perjanjian praperkawinan ini harus disesuaikan dengan data-data anda para calon pasangan suami istri, dan diisi dengan selengkap-lengkapnya sesuai kondisi dan realitas apa yang akan diperjanjikan. Bahwa data-data para pihak yang kami cantumkan diatas hanya sebagai contoh belaka. Jangan lupa untuk membaca artikel kami tentang contoh surat perjanjian perkawinan dan juga contoh surat permohonan cerai talak dari suami (silahkan langsung diklik).

Semoga apa yang kami buat tentang contoh surat perjanjian pranikah (prenuptial agreement) ataupun sering dimaknai sebagai surat perjanjian kawin ini bermanfaat bagi anda. Atas perhatian dan kunjungannya ke WEBSITE RESMI KANTOR ADVOKAT SILAEN & ASSOCIATES diucapkan terima kasih.

Salam hormat,

N. HASUDUNGAN SILAEN, SH
Advokat/Pengacara & Penasihat Hukum

NIA. 98.10796

4 komentar:

No Link Aktif, Harap Maklum BOSS.....