Perlukah surat perjanjian pranikah (prenuptial agreement)
bagi calon pasangan suami isteri (agama Kristen Protestan, Islam, Katolik,
Hindu Budha, Khonghucu dan aliran kepercayaan)? Bagaimanakah cara membuatnya?
Adakah syarat-syarat hukum tertentu yang harus dipenuhi dalam pembuatan surat
perjanjian pra nikah tersebut? Dan apa-apa saja contoh yang boleh atau tidak
bisa dituangkan dalam perjanjian pra-nikah tersebut? Pertanyaan-pertanyaan
inilah yang sering muncul dibenak calon pasangan suami istri ketika hendak
melangsungkan pernikahan atau perkawinan dalam konteks pembuatan surat
perjanjian pra nikah.
Dalam peristiwa yang berhubungan dengan perbuatan pada hukum dalam bidang hukum perkawinan
yang terjadi ditengah-tengah masyarakat Indonesia, sudah tidak dapat dipungkiri
bahwa telah banyak calon suami isteri yang membuat surat perjanjian pranikah (prenuptial
agreement) atau disebut juga surat perjanjian prakawin (prenuptual agreement).
Kondisi ini tentu saja, harus dimaknai secara positif demi mengukuhkan tujuan
perkawinan/pernikahan, yakni: mewujudkan rumah tangga atau keluarga yang
sejahtera dan bahagia lahir dan batin.
Kalau ditelisik dari ketentuan Undang-Undang Nomor 1
Tahun 1974 tentang perkawinan, adanya pengaturan tentang perjanjian pranikah
atau perjanjian pra-kawin (prenuptial agreement) secara
tegas dan jelas diatur dalam Pasal 29 UU No. 1 Tahun 1974, dimana arti, definisi dan atau pengertian
dari perjanjian perkawinan adalah => “perjanjian yang dilakukan oleh calon
suami ataupun isteri mengenai kedudukan harta setelah mereka melangsungkan
pernikahan”.
Selain pengaturan diatas, mengenai adanya perjanjian dalam perkawinan atau
pernikahan juga diatur dalam ketentuan hukum perdata (KUHPerdata) sebagaimana
disebutkan dalam BAB Ketujuh pada Pasal 139 s/d 167 dan juga secara tegas
diatur dalam BAB VII Pasal 45 – 52 Kompilasi Hukum Islam (KHI). Kalau kita
telaah inti dari ketentuan yang termaktub dalam BAB Ketujuh pada Pasal 139 –
167 KUHPerdata dinyatakan bahwa perjanjian perkawinan adalah => “suatu
perjanjian yang menyimpang dari asas atau peraturan perundang-undangan terkait
persatuan harta kekayaan suami istri selama perkawinan, sejauh perjanjian
tersebut tidak menyalahi tata susila yang baik atau tata tertib umum
(norma-norma dan kepatutan-kepatutan yang berkembang ditengah-tengah
masyarakat). Mengenai apa itu arti, definisi dan pengertian tentang hukum perdata, silahkan baca tulisan yang berjudul "apa sih arti dan pengertian hukum perdata" agar dapat memahaminya secara komprehensif.
Dinamika perkembangan penggunaan perjanjian untuk perkawinan, memang lazim
dimaknai sebagai pemisahan harta kekayaan bawaan, namun sebenarnya bila kita
perhatikan secara detail dasar hukum dari adanya perjanjian dalam
perkawinan/pernikahan tidak terbatas pada hal pemisahan harta bawaan semata
(lebih luas dari hanya sekedar pengaturan atas materi kebendaan), misalnya
pelarangan adanya poligami ataupun poliandri, pengaturan penggunaan harta
bersama dalam perkawinan, tidak dibenarkan adanya pelarangan untuk meraih
prestasi atau jenjang karir maupun pendidikan lanjutan suami atau isteri,
pelarangan adanya kekerasan dalam rumah tangga (KDRT), jadwal menjemput ataupun
mengantar anak, dlsb.
Berdasarkan ketentuan yang diatur dalam UU Perkawinan Nomor 1 Tahun 1974,
harta perkawinan itu sendiri dapat dibagi menjadi 2 (dua) kategori, yaitu:
Harta
asal/harta bawaan, yaitu harta benda yang dibawa masing-masing suami atau istri
ke dalam perkawinan (baik dalam hal ini berupa harta benda berbentuk harta dari
hadiah atau warisan, di mana pengurusannya diserahkan pada masing-masing pihak
(vide Pasal 35 ayat (2) jo Pasal 36 ayat (2));
Harta bersama (vide
Pasal 35 ayat (1)), yaitu harta benda yang dibentuk atau diperoleh selama
perkawinan, dimana suami atau isteri dapat bertindak atas atas persetujuan
kedua belah pihak (vide Pasal 36 ayat (1));
Nah kalau
ditelaah makna perjanjian dalam sebuah perkawinan dalam KUH Perdata, pada prinsipnya
terdapat 3 (tiga) hal yang terkait dengan perjanjian kawin khususnya dalam hal
pemisahan harta, yakni:
Perjanjian
kawin untung rugi;
Perjanjian
kawin hasil dan pendapatan;
Perjanjian
kawin yang sama sekali terpisah, baik harta bawaan atau harta benda asal maupun
harta yang diperoleh selama perkawinan, dimana hal ini lazim dibuat dalam
sebuah surat perjanjian pisah harta yaitu suatu perjanjian yang mengatur
pemisahan harta bawaan/asal maupun harta bersama yang diperoleh selama
berlangsungnya perkawinan/pernikahan.
Sementara dalam
Kompilasi Hukum Islam (KHI), pengaturan tentang perjanjian dalam
perkawinan/pernikahan dimaknai lebih luas lagi yang substansinya berisi
tentang:
Pemisahan harta
bersama (harta syarikat);
Percampuran
semua harta pribadi yang dibawa masing-masing ke dalam perkawinan maupun
harta-harta yang akan diperoleh selama berlangsungnya pernikahan;
Percampuran
harta pribadi yang dibawa pada saat perkawinan, namun tidak meliputi harta
pribadi yang diperoleh selama perkawinan ataupun sebelum terjadinya perkawinan
(pengaturan terbatas);
Termasuk taklik
talak;
Perjanjian
lainnya sejauh perjanjian perkawinan/pernikahan tersebut tidak bertentang
dengan Hukum Islam;
Dari pengertian
dan adanya pengaturan-pengaturan diatas, diperoleh kesimpulan bahwa dengan
adanya perjanjian dalam perkawinan dimaksud, maka harta asal/bawaan suami
ataupun isteri dapat tetap terpisah dan tidak terbentuk melebur menjadi harta
bersama, suami maupun isteri memisahkan harta yang didapat masing-masing selama
perkawinan. Sementara kalau kita perhatikan dalam penjelasan Pasal 29 UU No. 1
Tahun 1974 juncto Peraturan Pemerintah (PP) No. 9 Tahun 1975 jelas disebutkan
bahwa tak’ilik-talak tidak termasuk dalam perjanjian perkawinan. Perjanjian
perkawinan itu dibuat pada waktu atau sebelum (pra) berlangsungnya perkawinan
sebelum calon pasangan suami isteri mencatatkan perkawinannya pada Kantor
Urusan Agama (KUA) bila beragama Islam dan Kantor Catatan Sipil bila yang
beragama non-muslim (beragama Kristen Protestan, Katolik, Budha, Hindu,
Konghucu ataupun aliran kepercayaan), dimana surat perjanjian pra
nikah/prakawin harus dibuat dalam bentuk “akta
notariil” oleh pejabat notaris. Apabila telah disahkan, maka isinya
mengikat para pihak dan juga pihak ketiga sepanjang pihak ketiga tersebut
terikat. Perjanjian perkawinan dalam konteks perjanjian pranikah atau pra kawin
ini mulai berlaku sejak perkawinan berlangsung dan tidak boleh dirubah kecuali
atas persetujuan kedua belah pihak dengan syarat tidak merugikan pihak ketiga
yang terkait.
Nah, terkadang perbuatan hukum berupa perjanjian pra nikah (praperkawinan) maupun sering
disebut dengan perjanjian kawin/perjanjian nikah ini sangat dibutuhkan dalam
kehidupan sehari-hari. Oleh karenanya, kami akan membagikan contoh konsep surat
perjanjian pra nikah atau contoh surat perjanjian pra-kawin lengkap yang lazim dan
populer disebut sebagai perjanjian kawin / perjanjian nikah.
SURAT PERJANJIAN
PRANIKAH/PRA-KAWIN (PRENUPTIAL
AGREEMENT)
Pada hari Sabtu, 15 Oktober
2016 (lima belas oktober tahun dua ribu enam belas), di Kota Medan, Provinsi
Sumatera Utara (SUMUT), para pihak telah sepakat untuk
membuat
surat perjanjian pranikah atau prakawin dari dan antara:
Nama: Pratama Putra Hasibuan, SE,
MSAP., Laki-laki, Kewarganegaraan Indonesia, Lahir di Kota Medan, 10 September
1976 (Umur 40 Tahun), Agama Kristen Protestan, Pekerjaan Karyawan PT Nusantara
IV, Alamat Jalan Sutomo Barat No. 150, Lk VII,
Kelurahan Medan Timur, Kota Medan, Provinsi Sumatera Utara (Sumut), Indonesia.
Dalam hal ini bertindak untuk dan atas nama
pribadi, yang selanjutnya disebut sebagai PIHAK PERTAMA (PIHAK-I);
Nama: Ani Beatrix Siregar, SE, MM., Perempuan,
Kewarganegaraan Indonesia, Lahir di Medan, 24 Mei 1977 (Umur 39 Tahun),
Pekerjaan Karyawan PT. Bank Central Asia (BCA), Alamat Jalan Bambu VII No. 10-A, Lk V,
Kelurahan Medan Timur, Kota Medan, Provinsi Sumatera Utara (Sumut), Indonesia.
Dalam hal ini bertindak untuk dan atas nama
pribadi, yang untuk selanjutnya disebut sebagai PIHAK KEDUA (PIHAK-II);
Kedua belah pihak, berdasarkan adanya itikad
baik dan tanpa adanya unsur paksaan dari pihak manapun, telah sepakat
untuk mengikatkan diri dalam sebuah perkawinan resmi dan untuk itu bersepakat pula untuk
mengikatkan diri dan tunduk pada isi surat perjanjian
pranikah atau pra kawin
ini, dengan syarat-syarat dan ketentuan sebagai berikut:
PRINSIP DASAR
Pasal 1
Kedua belah pihak mengaku adalah
saling sama hak, saling sama martabat, dan saling sama kedudukan di depan hukum, serta menjunjung tinggi hak asasi manusia (HAM).
Pasal 2
Perjanjian ini berazaskan
pada prinsip keadilan, kesetaraan gender,
kesamaan kedudukan sosial, hukum, dan penghormatan terhadap prinsip-prinsip hak asasi manusia (HAM).
PERKAWINAN MONOGAMI
Pasal 3
Kedua belah pihak sepakat bahwa pada
prinsipnya perkawinan ini hanya tunduk pada perkawinan monogami dan menentang keras adanya poligami ataupun poliandri.
Pasal 4
Dalam keadaan khusus, kedua belah pihak
sepakat untuk mengabaikan prinsip monogami.
Keadaan khusus tersebut adalah :
Dalam jangka waktu 2 (dua) tahun
setelah perkawinan disahkan oleh pejabat yang berwenang, salah satu pihak
berdasarkan surat keterangan dari Rumah Sakit yang ditunjuk oleh Surat Perjanjian
Pranikah ini, dinyatakan tidak mempunyai kemampuan
untuk memperoleh keturunan dan;
Kedua belah pihak sepakat untuk tidak
melakukan pengangkatan anak (adopsi).
Rumah Sakit yang ditunjuk dalam perjanjian
prakawin ini adalah Rumah Sakit
Umum Haji Adam Malik Medan.
Pasal 5
Pengabaian prinsip monogami ini, selain
harus memenuhi ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 4, harus berdasarkan
pada ketentuan perundang-undangan yang berlaku dan disertai dengan putusan
pengadilan yang telah berkekuatan hukum tetap.
HARTA KEKAYAAN DAN PENGELOLAAN KEKAYAAN
Pasal 6
Harta kekayaan Pihak Pertama saat ini
meliputi :
2 buah mobil toyota avanza warna hitam tahun 2013 dan
2015 (mohon No. Pol – No. Rangka dan Nomor Mesin disebutkan secara jelas), 2
unit rumah yang terletak di Perumnas Simalingkar Medan tepatnya terletak di
Jalan Kopi Raya No. 1 dan Karet Raya No.5 (mohon disebutkan Nomor
Sertifikatnya).
Pengelolaan harta kekayaan Pihak Pertama
merupakan hak dari Pihak Pertama.
Pihak Pertama berhak untuk melakukan
tindakan hukum yang patut terhadap harta kekayaan sebagaimana disebutkan dalam
ayat (1).
Tindakan hukum tersebut termasuk namun
tidak terbatas pada menjual, menggadaikan, hibah, dan
menjaminkan kepada pihak ketiga (Pihak-III).
Pasal 7
Harta kekayaan Pihak Kedua
saat ini meliputi : xxxx (sebutkan secara jelas
dan lengkap satu
persatu).
Pengelolaan harta kekayaan Pihak Kedua
merupakan hak dari Pihak Kedua.
Pihak Keduaa berhak
untuk melakukan tindakan hukum yang patut terhadap harta kekayaan sebagaimana
disebutkan dalam ayat (1) diatas.
Tindakan hukum tersebut termasuk namun
tidak terbatas pada menjual, menggadaikan, hibah, dan
menjaminkan kepada pihak ketiga (Pihak III)
Pasal 8
Harta Kekayaan yang diperoleh oleh kedua
belah pihak selama berlangsungnya perkawinan adalah menjadi harta
milik bersama.
Pengelolaan harta kekayaan bersama tersebut
dijalankan secara bersama-sama.
Salah satu pihak tidak dibenarkan untuk
melakukan tindakan hukum tanpa ijin terhadap harta bersama, namun
tidak terbatas pada menjual, membeli, menggadaikan, hibah, dan
menjaminkan harta bersama kepada pihak ketiga
PERLINDUNGAN ANAK DAN KEKERASAN TERHADAP
RUMAH TANGGA
Pasal 9
Kedua belah pihak sepakat untuk tidak
melakukan perbuatan tindak pidana kekerasan terhadap rumah
tangga (KDRT), sebagaimana telah
diatur dalam UU RI No. 23 Tahun 2004 tentang Penghapusan
Kekerasan Dalam Rumah Tangga (KDRT).
Kedua belah pihak sepakat segala bentuk
kekerasan terhadap rumah tangga harus ditiadakan baik terhadap anggota keluarga
inti maupun terhadap orang-orang yang bekerja
dalam rumah yang merupakan tempat kediaman bersama
dan/atau tempat tinggal dari kedua belah pihak.
Pasal 10
Kedua belah pihak sepakat untuk memberikan
perhatian yang baik dan berimbang terhadap pertumbuhan dan perkembangan
kejiwaan anak.
Kedua belah pihak sepakat untuk memberikan
waktu yang seimbang terhadap perawatan dan pendidikan anak.
Kedua belah pihak sepakat untuk menerapkan
prinsip-prinsip umum sebagaimana diatur dalam Konvensi Hak Anak dan UU RI No 23
Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak joucto (jo) UU No. 35 Tahun 2014.
PERUBAHAN PERJANJIAN
Pasal 11
Perubahan perjanjian hanya dapat dilakukan
atas persetujuan kedua belah pihak dan juga tidak
merugikan pihak ketiga.
Pasal 12
Perubahan atas perjanjian
pranikah atau kesepakatan prakawin hanya
dimungkinkan terhadap ketentuan yang belum diatur jelas dalam
sruat perjanjian ini serta tidak bertentangan
dengan hukum, norma-norma
kesusilaan serta kepatutan-kepatutan yang berkembang ditengah-tengah
masyarakat.
Pasal 13
Perubahan perjanjian tersebut bersifat
penambahan, sehingga akan melekat dan merupakan bahagian yang tidak terpisahkan (mutatis mutandis) terhadap isi perjanjian
ini.
Pasal 14
Perubahan perjanjian hanya sah, berlaku,
dan mengikat secara hukum bagi kedua belah pihak apabila telah mendapatkan
pengesahan dari Ketua Pengadilan Negeri dimana perjanjian ini didaftarkan.
PERSELISIHAN
Pasal 15
Apabila terjadi perselisihan mengenai isi
dan atau penafsiran atas perjanjian
ini, kedua belah pihak sepakat untuk menyelesaikannya secara damai dengan terlebih dahulu mendahulukan jalan musyarawah dan mufakat.
Apabila penyelesaian sebagaimana dimaksud dalam
ayat (1) tersebut gagal, maka kedua belah pihak sepakat untuk menunjuk satu
atau lebih mediator.
Mediator berjumlah ganjil yang jumlahnya
sekurang-kurangnya satu dan sebanyak-banyaknya lima orang mediator.
Pengaturan tentang mediasi akan diatur lebih lanjut dalam perjanjian lain yang nantinya turut melekat pada perjanjian ini.
Pengaturan tentang mediasi dan juga tata caranya dapat dilakukan pada waktu terjadinya
perselisihan.
Pasal 16
Apabila mediator gagal dalam menjalankan
tugasnya dan/atau kedua belah pihak tidak mencapai persetujuan terhadap hasil
mediasi, kedua belah pihak sepakat untuk menunjuk Pengadilan Negeri Jakarta Pusat sebagai tempat penyelesaian
perselisihan.
Pihak Pertama, Pihak
Kedua,
(Pratama Putra Hasibuan, SE, MSAP) (Ani
Beatrix Siregar, SE, MM)
Saksi-Saksi:
1. Selamat Rambe
2. Melati Jayanti
Catatan: Bahwa segala sesuatu dalam contoh
surat perjanjian pra-nikah atau perjanjian praperkawinan
ini harus disesuaikan dengan data-data anda para calon pasangan suami istri, dan diisi
dengan selengkap-lengkapnya sesuai kondisi dan realitas
apa yang akan diperjanjikan. Bahwa data-data para pihak yang kami
cantumkan diatas hanya sebagai contoh belaka. Jangan lupa untuk membaca artikel kami tentang contoh surat perjanjian perkawinan dan juga contoh surat permohonan cerai talak dari suami
(silahkan langsung diklik).
Semoga apa yang kami buat
tentang contoh surat perjanjian pranikah (prenuptial agreement) ataupun sering dimaknai sebagai surat perjanjian kawin ini bermanfaat bagi anda. Atas perhatian dan kunjungannya ke
WEBSITE RESMI KANTOR ADVOKAT SILAEN & ASSOCIATES diucapkan terima kasih.
Salam hormat,
N. HASUDUNGAN SILAEN, SH
Advokat/Pengacara &
Penasihat Hukum
NIA. 98.10796
Good Info.
BalasHapusTerima kasih
HapusSangat bermanfaat
BalasHapusTerima kasih
Hapus