Ada keistimewaan lembaga pengawas Pemilu dan Pilkada
di Provinsi Aceh, yaitu antara Bawaslu Aceh dengan Panwaslih (Panitia Pangawas
Pemilihan) Pilkada Aceh, dimana untuk menjawab dinamika yang akan terjadi pada
pelaksanaan pilkada serentak 2017, sekitar akhir Januari 2016 yang lalu, perwakilan Pemerintah
Aceh dan juga anggota DPR Aceh mengadakan rapat koordinasi (rakor) dengan Badan
Pengawas Pemilu (Bawaslu) RI tentang keberadaan lembaga pengawas pemilu dan atau
panitia pengawas pemilihan pilkada di provinsi dan kabupaten/kota yang ikut
menyelenggarakan pilkada serentak 2017. Hal ini tentu saja berkaitan dengan
adanya ketentuan dalam Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2006 tentang Pemerintahan
Aceh (UUPA) yang pada pokoknya menegaskan => “bahwa Aceh
bisa membentuk lembaga pengawas Pilkada sendiri”. Dengan kata lain bahwa dalam
pelaksanaan pilkada serentak 2017 yang akan datang, tiap kabupaten/kota
berkewenangan untuk membentuk dan atau mengangkat serta memilih orang-orang
yang akan bertugas sebagai pengawas pilkada (panwaslu/panwaslih). Berbeda
dengan daerah-daerah lainnya, dimana kewenangan untuk membentuk lembaga
pengawas pilkada berada ditangan Bawaslu Provinsi yang nota bene merupakan
hasil bentukan dari Bawaslu RI.
Dengan adanya Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2006 tentang
Pemerintahan Aceh (UUPA) dimaksud, maka Bawaslu Aceh tidak mempunyai
kewenangan membentuk lembaga pengawas pilkada serentak 2017 yang mana tugas pengawasannya
telah mulai berlangsung pada pertengahan 2016 ini. Jadi secara prinsipil, Bawaslu
Aceh hanya punya mandat dan atau kewenangan hanya untuk mengawasi Pemilu
legislatif dan Pemilu Presiden semata, dan tidak punya mandat atau kewenangan
untuk mengawasi jalanannya pemilihan kepala daerah (pemilukada) di Aceh.
Lalu, siapakah yang
diberi tugas untuk membentuk lembaga pengawas pilkada (panwaslu/panwaslih) di
Aceh? Kalau kita mengacu pada Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2006 tentang Pemerintahan Aceh (UUPA),
maka yang diberikan wewenang untuk itu adalah Dewan Perwakilan Rakyat Aceh (DPRA).
Implementasi dari ada kewenangan ini, telah diterapkan atau dijalankan oleh Dewan
Perwakilan Rakyat Kabupaten (DPRK) Aceh Timur yang telah menetapkan 5 (lima)
nama yang lulus dalam seleksi pemilihan panitia pengawas pemilihan (panwaslih)
Aceh Timur. Disamping kelima nama yang telah dinyatakan lulus seleksi tersebut,
turut juga diumumkan 5 (lima) nama yang lulus di bangku cadangan. Nah, ke-10
(kesepuluh) nama inilah yang selanjutnya akan dikirimkan ke Bawaslu untuk
mendapatkan penetapan secara legal formal untuk bertugas sebagai panitia pengawas
pilkada (panwaslih) di pemilihan Bupati/Wakil Bupati Aceh Timur. Berikut
nama-nama yang lulus dan juga lulus cadangan panwaslih Aceh Timur:
Nama-nama Yang Lulus:
- Heri Saputra;
- Zainal Abidin;
- Faisal;
- Hermasyah;
- Fahlial;
- Yusri;
- Marnigawati;
- Usman;
- Indra Kusmera;
- Agus Rian Purnama;
Berbicara tentang
pembentukan lembaga pengawas pemilu (pilkada) sebenarnya tidak terlepas dari
ketentuan yang diatur dalam Undang-Undang Nomor 15 Tahun 2011 tentang
Penyelenggara Pemilihan Umum. Namun khusus untuk pilkada di Aceh, pembentukan
lembaga pengawas pilkada adalah mengacu
pada Undang-Undang Nomor 11 tahun 2006 tentang Pemerintahan Aceh.
Tentu saja, kalau
kita kilas balik kejadian-kejadian dan dinamika yang terjadi pada beberapa tahun yang lalu, perdebatan tentang dualisme pembentukan lembaga pengawas pemilu selalu muncul, dikarenakan adanya 2 (dua)
ketentuan perundang-undang yang saling bertolak belakang, yaitu => Undang-Undang Nomor 15 Tahun 2011 tentang Penyelenggara
Pemilihan Umum dan Undang-Undang Nomor 11 tahun 2006 tentang
Pemerintahan Aceh.
Dalam ketentuan Undang-Undang
Nomor 15 Tahun 2011 menegaskan, bahwasanya lembaga pengawas Pemilu dan Pilkada adalah
dibentuk dan disahkan oleh Bawaslu Pusat dengan jumlah anggota 3 (tiga) orang.
Sementara, dalam ketentuan Undang-Undang Pemerintah Aceh (UUPA) menyatakan => bahwasanya lembaga pengawas pemilihan di Aceh dipilih oleh Dewan Perwakilan
Rakyat Aceh (DPRA) untuk kemudian ditetapkan oleh Bawaslu, dimana komisionernya
adalah berjumlah 5 (lima) orang.
Sebelum berlaku
Undang-Undang Nomor 15 Tahun 2011, bahwa sistem penyelenggaraan
Pemilu dan Pilkada di Indonesia adalah merujuk kepada Undang-Undang Nomor 12
Tahun 2003 dan Undang-Undang Nomor 22 Tahun 2007. Bagai setali tiga uang, semua
peraturan tersebut menegaskan bahwa Bawaslu provinsi diseleksi dan
disahkan oleh Bawaslu pusat (RI). Hal inilah yang menjadi masalah bagi Propinvi
yang berjulukan “Serambi Mekah” ini.
Sehingga kondisi ini sempat memanas, dimana perdebatan serupun tidak dapat
dihindari pada saat pelaksanaan Pemilu Legislatif Tahun 2009 yang
lalu. DPRA dan Pemerintah Aceh bersikukuh akan membentuk sendiri pengawas
Pemilu berdasarkan ketentuan yang ditegaskan dalam UUPA. Tidak mau
kalah, Bawaslu juga merasa bahwasanya mereka memiliki hak dan
kewenangan untuk melakukan seleksi dan mensahkan anggota-anggota Bawaslu Aceh.
Meskipun akhirnya, perdebatan ini tidak berkepanjangan dan dapat dinamika yang berkembang tersebut dapat diselesaikan
dengan jalan musyawarah (kompromi). Nah, pada saat itu diambilkan jalan “win-win solution” dengan menyepakati
keputusan bahwa Bawaslu merekrut 3 (tiga) orang komisioner pengawas yang
didanai Anggaran Pendapatan Belanja Negara (APBN), sedangkan untuk DPRA merekrut
2 (dua) orang komisioner lagi dengan dana dari Anggaran Pendapatan Belanja Daerah
Aceh (APBA). Dengan demikian jumlah komisioner Bawaslu Aceh menjadi 5 (lima)
orang.
Itu kondisi pada
Pemilu Legislatif 2009, lain pula kondisinya pada pelaksanaan Pemilihan Kepala
Daerah (Pilkada/Pemilukada) Tahun 2012 yang lalu, dimana situasinya lebih seru dan memanas, sebab DPRA menuntut agar otoritas pembentukan lembaga pengawas
pemilu sepenuhnya adalah menjadi milik Aceh. Anehnya,
Pemerintah Aceh meminta agar anggaran lembaga pengawas pilkada tersebut dialokasikan
dari anggaran Bawaslu Pusat RI. Permintaan tersebut tentu saja tidak masuk akal
dan langsung ditolak oleh Bawaslu Pusat. Karena dinamikan dan kondisi yang demikian itu,
berakibat pembentukan Bawaslu Aceh sempat terseok-seok. Pada saat itu, DPR
Aceh berdalih tidak punya anggaran untuk membentuk pengawas pilkada di Aceh. Atau bisa juga DPRA memang ingin mengulur-ngulur waktu yang ada, agar proses
Pilkada saat itu tidak diawasi oleh lembaga pengawas yang berkompeten. Asumsi
ini muncul, diakibatkan pada pilkada tahun 2012 yang lalu, ada kekuatan yang
ingin mendominasi dan selalu merasa paling benar dan harus menang calonnya. Melihat
kondisi yang terjadi saat itu, Bawaslu RI mengambil inisiatif untuk membentuk
sendiri pengawas Pemilu Aceh versi Bawaslu. Meskipun banyak yang melakukan
protes, namun proses pembentukannya tetap berjalan, hingga akhirnya terpilih 3
(tiga) komisioner Bawaslu Aceh sebagaimana yang diamanatkan dalam ketentuan
Undang-Undang Nomor 15 tahun 2011.
Meskipun pada saat
itu, banyak yang protes tentang keberadaan 3 komisioner Bawaslu Aceh, namun
secara politis posisi Bawalu Aceh sangat kuat karena didukung oleh
organisasi-organisasi masyarakat sipil di Aceh yang sebelumnya telah dibuktikan
dengan profesionalisme kerja yang dilakukan oleh Bawaslu Aceh dalam mengawasi
seluruh tahapan dan proses demokrasi pada pilkada tersebut.
Adanya percekcokan
tentang dualisme pengaturan pembentukan lembaga pengawas pemilu ini juga masih terjadi pada pelaksanaan
Pemilu Legislatif 2014. Dimana, Bawaslu tetap jalan dengan otoritas dan
kewenangannya, walaupun pada saat itu DPRA melakukan protes keras dengan langkah-langkah Bawaslu yang kembali membentuk sendiri Bawaslu Aceh. Akibatnya, dalam setiap
pertemuan untuk membahas Pemilu di Aceh, Bawaslu Aceh tidak pernah diikutsertakan. Kalaupun
ada komisioner Bawaslu hadir, posisi mereka hanya jadi pendengar yang baik dan
budiman saja. Tidak diberi ruang untuk berbicara apalagi melakukan. Bagi
DPRA, Bawaslu Aceh pada saat itu adalah lembaga yang ilegal.
Kondisi dilematis
juga dialami oleh lembaga penyelenggara pemilu, yaitu KIP Aceh yang mana KIP
Aceh pada saat itu diibaratkan bagai kerbau yang dicokok hidungnya. KIP Aceh cenderung
mematuhi seluruh sikap dari DPRA karena pembentukan KIP Aceh berlandaskan
Undang-Undang Pemerintah Aceh (UUPA). Dipermukaan, KIP Aceh menolak kehadiran
Bawaslu Aceh, tetapi di dalam
praktiknya, tidak bisa menolak langkah-langkah pengawasan yang dilakukan oleh Bawaslu
Aceh pada saat itu. Dengan kata lain, antara ada dan tiada posisi Bawaslu Aceh
pada pelaksanaan Pemilu 2014 yang lalu. Namun posisi lembaga pengawas
pemilu ini tetap kokoh, disebabkan langkah-langkah tugas pengawasan yang dilakukan
didukung penuh oleh organisasi masyarakat sipil di "bumi Iskandar Muda" ini.
Kewenangan Bawaslu Aceh Saat Ini
Sesuai ketentuan Undang-Undang
yang berlaku, masa jabatan komisioner Bawaslu provinsi Aceh adalah selama
5 (lima) tahun. Artinya, sampai sekarang pun sebenarnya legitimasi Bawaslu Aceh
masih tetap kuat. Lantas, apakah lembaga pengawas pemilu ini berhak
melakukan pengawasan untuk Pilkada serentak di Aceh 2017 yang akan datang? Jawaban
tentu tidak! Hali ini disebabkan, setelah lahir dan diberlakukannya Undang-Undang Nomor
8 Tahun 2015 tentang Perubahan atas Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2015 tentang
Penetapan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2014
Tentang Pemilihan Gubernur, Bupati, Dan Walikota Menjadi Undang-Undang yang
secara tegas menyatakan: => bahwa Pemilu tidak sama dengan Pilkada. Pemilu
untuk memilih kepala negara dan anggota legislatif, sedangkan Pilkada memilih
kepala daerah, yang mana hal ini diperkuat dengan adanya Putusan MK No. 97 yang
menyatakan dengan tegas bahwa Pilkada bukan lagi bagian dari rezim Pemilu.
Dengan hadirnya keputusan ini, maka, pelaksanaan dan penerapan Undang-Undang
Pemerintah Aceh semakin kuat sebagai rujukan dalam pelaksanaan Pilkada serentah
di Aceh. Dengan demikian pula, Bawaslu Aceh dipastikan tidak lagi terlibat
dalam pemantauan Pilkada serentak Aceh 15 Februari 2017 yang akan datang.
Dengan adanya
kejelasan ini, maka wewenang untuk DPRA semakin jelas dan tegas untuk memilih 5 (lima)
anggota komisioner yang selanjutnya diangkat atau ditetapkan sebagai anggota lembaga pengawas pemilihan kepala daerah atau Panwaslih sebagaimana telah terpilih di
Kabupaten Aceh Timur (uraiannya ada diatas). Dengan kata lain, hanya
Aceh yang berhak menetapkan kebijakan seperti ini, disebabkan Aceh punya
undang-undang tersendiri yang mengatur tentang pemilihan lembaga pengawas
pilkada (panwaslih). Sementara untuk provinsi-provinsi lain tetap kewenangannya
berada pada Bawaslu Provinsi sebagai pengawas Pilkadanya. Tapi meskipun
demikian, berdasarkan ketentuan Pasal 60 Undang-Undang Pemerintah Aceh bahwa
para komisioner Panwaslih yang telah diplih dan atau ditetapkan oleh DPRA tersebut
haruslah mendapatkan pengesahan dari Bawaslu Pusat. Dalam konteks ini, Bawaslu
Pusat tidak bisa mencampuri proses seleksi yang dilakukan DPRA. Dengan kata lain pula, 5 (lima) komisioner Panwaslih Aceh hasil seleksi DPRA dipastikan
bakal mendapat pengesahan dari Bawaslu Pusat untuk menjadi anggota Panwaslih
yang bertugas mengawasi jalannya demokrasi pada Pilkada serentak 2017. Sama
seperti lembaga panwaslih di daerah lain, sifat lembaga pengawas ini juga
adalah “ad hoc” yang masa
tugasnya hingga 3 (tiga) bulan setelah hasil Pilkada yang bersangkutan ditetapkan.
Inilah salah satu
keistimewaan atau keunikan mekanisme pembentukan lembaga pengawas pemilihan di Aceh, dimana pada
hakekatnya akan ada 2 (dua) badan pengawas dalam pesta demokrasi di Aceh, yaitu satu sisi ada Bawaslu daerah untuk Pemilu dan pada sisi lain
ada lembaga panitia pengawas pemihan atau Panwaslih untuk mengawasi pelaksanaan Pilkada (pemilihan kepala daerah).
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
No Link Aktif, Harap Maklum BOSS.....