Halaman

15 Maret 2016

Antisipasi Pemanfaatan ASN Oleh Calon Petahana Di Pilkada 2017

Calon petahana (incumbent) dalam pemilihan kepala daerah (pilkada) serentak 2017 yang akan datang, perlu mendapat pengawasan secara khusus (khususnya oleh Badan Pengawas Pemilu/BAWASLU). Alasannya disebabkan kedekatan petahana dengan kalangan birokrasi aparatur sipil negara (ASN) setempat, sehingga akan memunculkan potensi penyalahgunaan fasilitas negara untuk kepentingan kemenangan calon petahana yang bersangkutan, tentu saja yang memiliki hubungan lebih kuat dengan birokrasi dibanding calon-calon lain. Dengan kata lain, birokrasi berpotensi dimanfaatkan dalam masa pilkada ataupun pemilu.

Kiprah Calon Petahana Di Pilkada (Pemilukada) Serentak Indonesia 2017

Dalam prakteknya, pemanfaatan birokrasi dapat berlangsung secara terselubung dengan cara memobilisasi pemilih, pemanfaatan fasilitas daerah untuk kepentingan kampanye, ataupun penyalahgunaan bantuan sosial yang sangat berpotensi politisasi birokrasi rawan terjadi. Apalagi, mengingat dari 102 daerah yang menggelar pilkada serentak 2017 tentu akan masih banyak diikuti oleh calon kepala daerah ialah calon petahana.

Menurut pengamatan kami, bahwa mobilisasi dan pemanfaatan fasilitas daerah secara terselubung dalam rangka menyokong calon incumbent sedikit banyaknya akan menciptakan pelayanan publik yang tidak maksimal dan pemborosan, sehingga sangat patut bagi Badan Pengawas Pemilu (Bawaslu) perlu mencari dan/atau merumuskan formula strategi jitu sebagai pedoman pengawasan bagi pengawas daerah. Hal ini sangat penting dalam rangka untuk mencegah politisasi birokrasi oleh petahana, khususnya untuk memikirkan sanksi tegas bagi para pelanggarnya. Pengawasan yang dimaksud dapat juga dilakukan untuk menyelusuri bagaimana birokrasi bekerja, ketika terjadi pemanfaatan birokrasi secara terselubung untuk mendukung dan beroperasi secara tidak sah untuk pasangan calon yang sedang berkompetisi. Hanya dengan adanya strategi pengawasan jitu dimaksud, maka pemanfaatan birokrasi di tiap daerah yang menyelenggarakan pilkada dapat dicegah sedini mungkin. Jadi, Bawaslu haruslah secepatnya menyusun strategi yang tepat, ampuh dan mempunyai sanksi yang tegas.

Seperti yang terjadi pada pelaksanaan pilkada (pemilukada) serentak tahap I tanggal 9 Desember 2015 yang lalu, pola yang sama berupa kegiatan politisasi birokrasi oleh para calon petahana kemungkinan besar akan berulang kembali pada pelaksanaan pilkada tahap II tanggal 15 Februari 2017 yang akan datang. Dan biasanya, menjelang pilkada berlangsung, daerah yang ikut pilkada bakal semakin banyak intensitas pertemuan kepala daerah bertemu dengan masyarakat audiens yang difasilitasi dengan menggunakan uang negara, khususnya intensitas pertemuan-pertemuan pada masa jadwal tahapan kampanye tentu akan sangat menguntungkan para pihak dari calon incumbent. Sebagai contoh: akan banyak ditemukan peningkatan penggunaan anggaran bantuan sosial pada masa pelaksanaan pilkada yang akan terus naik, serta ada juga yang dialokasikan untuk program yang memang disengaja atau dirancang khusus untuk dilakukan saat pilkada.

Memang, program-program dimaksud tidak ada dilarang dalam undang-undang ataupun aturan tentang pemilu. Namun, kiranya Badan Pengawas Pemilu (Bawaslu) harus menemukan model pengawasan yang lebih efektif untuk hal ini. Bawaslu juga harus memaksimalkan pengawasan dari masyarakat, misalnya memberikan dan/atau mendapat pendidikan politik yang cukup untuk bisa membedakan mana program-program daerah yang diselubungi motif-motif politis dalam pelaksanaan pilkada.

Sebenarnya pemerintah telah berupaya agar birokrasi daerah Aparatur Sipil Negara (ASN) tidak turut terlibat dalam kegiatan-kegiatan yang bermotifkan politis, dengan kata lain pemerintah telah mengingatkan seluruh Aparatur Sipil Negara (ASN) untuk bersikap netral dalam pilkada (pemilukada), yaitu dengan menerbitkan Surat Edaran Menteri PANRB Nomor B/2355/M.PANRB/07/2015 tertanggal 22 Juli 2015, tentang Netralitas ASN dan Larangan Penggunaan Aset Pemerintah dalam pilkada serentak. Surat tersebut ditujukan kepada para menteri Kabinet Kerja, panglima TNI, Kapolri, Jaksa Agung, para kepala lembaga pemerintah non-kementerian (LPNK), para sekjen lembaga negara, para pemimpin kesekretariatan lembaga non struktural, para gubernur, bupati, dan wali kota.

Kalau kita kaitkan Surat Edaran Menteri PANRB Nomor B/2355/M.PANRB/07/2015 tertanggal 22 Juli 2015 dengan Undang-Undang (UU) Nomor 5 Tahun 2014 tentang ASN, maka telah sangat jelas bahwa Pegawai Negeri Sipil (PNS) yang menjadi anggota dan/atau pengurus partai politik akan dijatuhi hukuman berupa diberhentikan dengan tidak hormat. Selain kedua peraturan diatas, tentang pelarangan PNS terlibat dalam kegiatan yang bermotif politik, juga diatur dalam Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 53 Tahun 2010 tentang Disiplin PNS yang dengan jelas menegaskan bahwa: => “PNS dilarang memberikan dukungan kepada calon kepala daerah/wakil kepala daerah”.

Strategi Pengawasan Terhadap Politisasi Pegawai ASN Oleh Calon Incumbent (Petahana) Di Pilkada

Adanya Surat Edaran (SE) dari  Menteri PANRB Nomor B/2355/M.PANRB/07/2015 tertanggal 22 Juli 2015 bertujuan mengingatkan para ASN dan pihak-pihak yang terkait atas keberadaan aturan-aturan tersebut. Dengan kata lain Surat Edaran memastikan bahwa aturan yang telah ditetapkan tersebut berjalan sesuai dengan prosedurnya, dan sekaligus untuk menyegarkan ingatan para ASN serta semua pihak untuk tidak mengikutsertakan ASN dalam kegiatan kampanye pilkada, khususnya pilkada tahun 2017 yang akan datang. Sehubungan dengan hal tersebut, juga sangaat perlu untuk menekankan pemberian sanksi yang tegas bagi para ASN yang terlibat dalam pilkada mengacu haruslah mengacu pada UU yang berlaku, sesuai dengan kategori keterlibatan ASN dalam pilkada, apakah sudah masuk pada taraf pelanggaran sedang atau hingga pelanggaran yang berat. Atau dengan kata lain, sanksi yang dijatuhkan tidak lagi berupa sanksi ringan, melainkan telah menjadi sanksi sedang hingga berat. Misalnya: sanksi sedang yang bisa dijatuhkan antara lain berupa:
  • Penundaan tunjangan gaji berkala;
  • Penundaan pembayaran kinerja;
  • Penundaan kenaikan jabatan dan promosi jabatan;
Sedangkan sanksi berat yang dapat dijatuhkan berupa:
  • Pemberhentian dari jabatan;
  • Penurunan pangkat satu tingkat;
  • Pemberhentian dengan hormat;
  • Pemberhentian dengan tidak hormat;
  • Pemberhentian yang tidak mendapatkan pensiun;
Demikian artikel tentang perlunya pengawasan yang intensif terhadap para ASN yang mungkin dimanfaatkan oleh calon petahana (incumbent) pada penyelenggaraan Pilkada (Pemilukada) serentak tahun 2017 yang akan datang. Semoga ada manfaatnya. Sekian dan terima kasih.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

No Link Aktif, Harap Maklum BOSS.....