Mati Surinya Kampanye Politik Online Pada Pilkada Serentak (Pemilu) ~ Pasca pilkada serentak (pemilu) langsung pemilihan Walikota/Wakil
Walikota Medan 9 Desember 2015 yang lalu, meninggalkan catatan penting tentang
rendahnya partisipasi masyarakat Kota Medan mengikuti pesta demokrasi hak
politik rakyat sekali dalam 5 tahun ini. Data tingkat partisipasi yang hanya
25,56 membuktikan adanya kelemahan yang terjadi dalam pelaksanaan pilkada
serentak (pemilu) langsung. Penyelenggara pemilu (KPU dan Bawaslu beserta masing-masing
jajarannya) tidak mau disalahkan dan menyatakan telah melakukan tahapan
sosialisasi secara maksimal. Atau karena masyarakat yang sudah apatis dengan
calon-calon yang maju dalam pilkada serentak (pemilu) langsung tersebut?.
Apapun alasannya, yang pasti pemimpin yang akan memimpin pemerintahan di Kota
Medan telah terpilih, dan sebentar lagi akan dilantik tepatnya akhir Maret
2016.
Kami melihat, rendahnya tingkat partisipasi pilkada serentak (pemilu)
tanggal 9 Desember 2015 yang salah satunya disebabkan mengenai tahapan kampanye
yang seluruhnya ditangani oleh penyelenggara Pemilu (dalam hal ini adalah KPU),
hal ini jelas terlihat dalam Pasal 58 Peraturan Komisi Pemilihan Umum (PKPU) No. 7
Tahun 2015 yang menyatakan bahwa: “media
massa cetak, media massa elektronik, dan lembaga penyiaran dilarang menayangkan
iklan kampanye komersial selain yang difasilitasi KPU provinsi/KIP Aceh atau
KPU/ KIP kabupaten/kota”, dimana apabila pasangan calon (Paslon) yang melanggar
ketentuan ini akan diberikan sanksi yang sangat berat sebagaimana telah
ditentukan dalam Pasal 73 ayat (ayat 2) PKPU No. 7 Tahun 2015 tentang kampanye pemilihan Gubernur
dan Wakil Gubernur, Bupati dan Wakil Bupati, dan atau Walikota dan Wakil Walikota,
yang secara tegas menyatakan, bahwa pelanggaran
atas ketentuan Pasal 58 tersebut akan dikenai sanksi berupa pembatalan sebagai
calon.
Pertanyaan
muncul, apakah mampu KPU melaksanakan atau menyelenggarakan kampanye kepada
para pasangan calon (paslon) yang ikut dalam pemilu (pilkada serentak) secara
adil? Mengingat banyak persoalan yang muncul dari pelaksanaan kampanye itu
sendiri, baik dari segi waktu yang potensial dan efektif (prime time), urutan
dan besarnya tampilan, kualitas suara dan gambar, media online atau offline
yang dipergunakan, posisi letak spanduk dan pamflet ataupun baliho, dan lain
sebagainya.
Nah,
dari adanya hak preogratif penyelenggara pemilu (KPU) mengenai penyelenggaraan kampanye
ini, sedikit banyaknya telah menguntungkan calon yang telah populer sebelumnya
(misalnya calon petahana karena selama ini telah berinteraksi dengan publik
ataupun konstituennya), dan bagi calon yang kurang populer tentu saja mematikan
kreatifitas dan strategi berkampanye untuk mengimbangi kepopuler calon yang
telah populer lebih dahulu.
Seandainya
dibuka kran untuk menyelenggarakan kampanye, tentu saja akan banyak ide-ide
cemerlang yang akan bermunculan dalam rangka meningkatkan elektabilitas dan
branding figur calon dengan cara pasang iklan ke banyak media dan melakukan
ekspose bertubi-tubi, baik melalui media online maupun media offline yang pasti
akan meramaikan dan memeriahkan pesta demokrasi tersebut. Dengan kata lain, dalam
hal ini mati suri kreatifitas tim pemenangan yang telah dibentuk sebagai salah
satu motor penggerak untuk memenangkan pasangan calon (paslon) yang menjadi favoritnya.
Memang dalam PKPU No. 7 Tahun 2015 tentang penyelenggaraan kampanye
dalam Pasal 26 ada diatur mengenai 9 jenis bahan kampanye yang boleh dibuat dan
dicetak pasangan calon (paslon), yakni: kaos, topi, mug, kalender, kartu nama,
pin, ballpoin, payung dan atau stiker yang paling besar berukuran 10 cm x 5 cm
yang apabila dikonversikan ke dalam bentuk uang nilainya paling tinggi adalah Rp.
25.000,- (dua puluh lima ribu rupiah) dan hanya boleh disebarkan dan atau dilakukan
pada saat kampanye pertemuan terbatas, pertemuan tatap muka dan dialog dan atau
di tempat umum. Tentu saja, hal ini masih dianggap kurang cukup mengingat
adanya jangkauan audiens yang sangat terbatas.
Karena adanya pembatasan diatas, disiasati dengan bermain online di
media sosial (misalnya facebook, WhatApps, Instagram, twitter, dll) baik dengan membuat akun resmi
ataupun akun tidak resmi dengan maksud untuk mengangkat citra dan popularitas
pasangan calon, meskipun kenyataannya tidak semua masyarakat kota Medan yang
melihat atau mengetahui telah dibukanya akun facebook atau twitter pasangan
calon. Tentu saja hal ini tidak cukup karena untuk bisa menyampaikan pesan politik yang efektif kepada seluruh para audiens, media online dan offline ataupun jenis yang lain, seperti televisi, koran, majalah, radio secara kontiniu kami rasa lebih efektif dan mengenai target sasaran.
Belajar dari banyaknya kelemahan-kelemahan dari penyelenggaraan kampanye
pada pilkada serentak (pemilu) tanggal 9 Desember 2015 lalu, sangat diharapkan
adanya introspreksi diri untuk mencari formula yang tepat agar tingkat
partisipasi masyarakat untuk ikut serta dalam pemilu bisa lebih tinggi lagi di
pilkada serentak (pemilu) kabupaten/kota yang lain, khususnya dalam pemilihan
gubernur/wakil gubernur Sumatera Utara di tahun 2017 mendatang.
Mungkin sudah kurang efektif lagi Mas...
BalasHapus