Perkembangan
dan keberadaan partai politik (parpol) di Indonesia, tidak terlepas dari kehadiran
kader partai politik sebagai salah satu “mesin” yang menggerakan roda-roda organisasi
partai. Namun, kecenderungan akhir-akhir disaat daerah sedang bereuforia dan
penuh semangat maupun kegembiraan menyambut pesta demokrasi melalui
penyelenggaraan pilkada (pemilihan kepala daerah) baik gubernur, bupati dan
walikota untuk periode 5 (lima) tahun mendatang, banyak menyisakan kekecewaan bagi
para kader partai politik maupun anggota kader parpol.
Memang
dalam alam demokrasi pilkada atau pemilu di Indonesia, partai politik (parpol)
mempunyai hak konstitusi dan atau legal standing mengusulkan nama seseorang
untuk ikut dalam perhelatan pilkada/pemilu. Karena begitu strategisnya peran
dan kehadiran partai politik (parpol) dalam sistem demokrasi dan juga
pelaksanaan pemilihan umum di Indonesia. Kondisi ini mengakibatkan banyak putra
putri terbaik Nusantara yang ikut terjun ke dalam partai politik (parpol),
apakah menjadi anggota, pengurus partai, dan lain sebagainya dengan harapan
nantinya dapat menduduki jabatan-jabatan strategis di internal maupun eksternal
partai.
Namun,
kehadiran partai politik (parpol) tersebut justru telah menciptakan kekecewaan
terhadap beberapa orang kader terbaiknya, misalnya kader terbaik tersebut tidak
direkomendasikan atau disetujui untuk menjadi salah satu bakal calon gubernur,
bupati dan walikota atupun untuk menjadi wakil gubernur, wakil bupati dan wakil
walikota yang akan bertarung di pilkada, misalnya pilkada tapteng 2017. Tidak adilkah? Dan fenomena apakah yang
terjadi dalam tubuh partai politik (parpol) tersebut? Atau apakah kriteria-kriteria
yang harus dipenuhi para kader agar dapat direkomendasikan dan atau disetujui
oleh partai politik (parpol)-nya?
Kalau
dikilas balik (review) pelaksanaan pemilihan umum (pemilu) di Indonesia, maka
sejak pemilu pertama sekali dilaksanakan pada tahun 1955 hingga penghujung tahun
2016 ini, banyak problematika yang terdengar dan terjadi bahwasanya sangat
kurang keberpihakan “politik nasional”
yang berpihak kepada para kader partai politik. Adanya fenomena ini dapat
ditelisik dari pasal demi pasal yang terdapat dalam rancangan undang-undang
(RUU) pemilu yang dibuat oleh pemerintah yang saat ini sedang digodok
pembahasannya. Dengan kata lain, realitas keberadaan kader politik (khususnya partisipasi parpol di pilkada), sangat kasat mata terlihat tidak memiliki jaminan dan atau
tempat yang layak ataupun jelas untuk mendapatkan hak politik, padahal selama
ini kader-kader partailah yang berjuang mati-matian menjalankan kerja-kerja
partai demi mencapai tujuan, visi dan misi serta perjuangan pendirian partai
politik sesuai dengan anggaran dasar (AD) dan anggaran rumah tangga (ART). Miris
memang, tapi itulah “pil pahit” yang harus ditelan bulat-bulat oleh para
anggota dan atau juga para kader yang terdaftar di organisasi partai.
Dalam
penalaran sistem kaderisasi dan perekrutan terkait anggota partai politik,
sangat wajar muncul berbagai pendapat bahwasanya kader partai politiklah yang
menjadi ujung tombak dan tulang punggung organisasi partai politik (parpol). Ujung
tombak dan tulang punggung organisasi parpol, pemaknaannya adalah sebagai
produk perkaderan dan bentuk pengabdian yang berjalan secara terus menerus, berkesinambungan
dan sistematis sampai seorang anggota (kader) partai politik mampu mengemban
kerja-kerja organisasi dan menjalankankan seluruh aktivitas keorganisasian.
Hak dan Kewajiban
Kader Partai
Hak
dan kewajiban yang melekat pada diri seorang kader sebenarnya telah tertuang
dalam anggaran dasar dan anggaran rumah tangga (AD/ART) maupun didalam
petunjuk-petunjuk teknis yang diterbitkan atau dikeluarkan oleh organisasi
tersebut. Bisa saja, hak dan kewajiban antara partai yang satu dengan partai
yang lain berbeda. Namun, bila kita ingin mengetahui dan atau melihat para
kadernya, cukup dengan mengamati pergerakan anggota aktif di dalam tubuh partai
tersebut.
Nah,
karena sudah sangat jelasnya ada hak dan kewajiban yang harus ditanggung oleh
para kader, maka seyogianya penalaran kita wajar menilai bahwa kader mempunyai
hak didahulukan untuk mendapat ruang-ruang politik di internal partai, posisi
strategis, dan juga kesempatan-kesempatan dalam pendistribusian partai di ranah
partisipasi politik untuk menduduki kursi pemerintahan atau menjadi kepala
daerah. Dengan kata lain, kader berhak untuk mendapatkan prioritas utama ketika
partai hendak menyusun nama-nama anggota untuk dapat menjadi pejabat, baik di
tubuh internal partai maupun di eksternal partai.
Dalam
sistem organisasi yang baik dan profesional, hak merupakan perwujudan dari
hasil bekerja dari pelaksanaan kewajiban-kewajiban yang telah diatur dalam
anggaran dasar, anggaran rumah tangga dan petunjuk-petunjuk teknis organisasi
partai. Oleh karena itu, kader partai berkewajiban untuk menjalankan perintah
organisasi dalam kehidupan bermasyarakat. Kewajiban inilah yang kemudian
melekat secara utuh dan tidak dapat dipisahkan antara kehidupan personal dan
anggota organisasi partai.
Namun
ada gium yang berkembang dalam dunia politik di Indonesia, bahwa “tidak ada
teman yang abadi”, “tidak ada musuh yang hakiki”, “semua hanya kepentingan” dan
atau “main politik itu membutuhkan biaya besar”, dlsb. Adanya pendapat yang
berkembang diatas, menjadikan partai politik (parpol) kecenderungannya terlihat
tidak memperdulikan para kader dalam pendistribusian keluar organisasi. Kader cenderung
hanya mendapatkan posisi ada pembagian jatah kekuasaan ditubuh internal partai.
Sehingga kondisi ini mengakibakan para kader menjadi "sapi perahan” untuk
menjalankan organisasi tanpa adanya jaminan memperoleh kepastian diakomodasikan
atau direkomendasikan untuk berpartisipasi dalam menduduki jabatan dalam
pemerintah, misalnya menjadi gubernur, bupati dan walikota ataupun menjadi
wakilnya.
Dalam
peraturan perundang-undangan kepemiluan Indonesia (baik pemilihan presiden/pilpres,
pemilihan legislatif/pileg, dan pemilihan kepala daerah/pilkada) tidak ada 1
(satu) pasal-pun yang bisa dijadikan sebagai dasar hukum yang dapat digunakan
untuk memberikan hak atas kerja-kerja dan prestasi-prestasi yang telah diraih
oleh para kadernya. Hal mana terlihat jelas dari syarat pencalonan yang secara
umum diberlakukan hanya dinyatakan dalam bentuk kata “terdaftar sebagai anggota”.
Adanya frase terdaftar sebagai anggota adalah bentuk yang terlihat nyata
tentang ketidakpedulian politisi terhadap “tongkat estafet” kepemimpinan yang
berbasis pada kaderisasi anggota partai. Alat bukti dokumen pun, hanya perlu
melampirkan foto copy kartu tanda anggota (KTA) partai politik.
Memang
dinamika yang berkembang dalam partai, anggota partai bisa bukan merupakan
kader partai, akan tetapi kader partai sudah jelas sebagai anggota partai.
Mengapa? Karena logikanya, anggota partai dipahami sebagai seseorang yang
terdaftar di partai (sering disebut dengan anggota pasif), sedangkan kader
partai adalah anggota partai yang menjalankan kerja-kerja atau program-program
partai. Oleh sebab itu, persyaratan untuk menjadi presiden, wakil presiden,
menteri, anggota legislatif dan kepala daerah seharusnya memuat kata-kata “kader
partai” dengan mencantumkan penjelasannya pada lembar penjelasan UU tersebut. Akibat
adanya ketentuan kader partai, maka dokumen persyaratan berbentuk lembar-lembar
bukti kaderisasi dan kegiatan pengabdian sebagai kader haruslah pula
dicantumkan.
Dengan
adanya kata kader partai, juga mengakibatkan tidak ada alasan partai untuk
mengakomodasikan “orang baru” atau yang berasal dari luar partai di setiap
kontestasi pemilu atau pilkada yang diselenggarakan di Indonesia. Karena banyak
beranggapan akomodasi yang diberikan oleh para pengusaha, pemodal, atau
keluarga pejabat partailah yang selama ini dinilai telah merusak tataran dan
tatanan politik nasional. Di lain pihak, pilihan adanya kata “seleksi secara
demokratis” terendus oleh tangan-tangan sang penguasa partai. Pemaknaan pemilihan
demokratis sesuai dengan anggaran dasar dan anggaran rumah tangga (AD/ART)
partai politik telah dipahami tertutup sebagai bentuk “hak preogratif” penguasa
partai untuk mengambil kebijakan menentukan siapa-siapa yang berhak dalam
pendistribusian anggota yang akan ikut berpesta dalam kontestasi demokrasi
rakyat.
Kondisi
realita diatas, menimbulkan harapan agar kiranya rancangan undang-undang (RUU)
tentang pemilu perlu memastikan nasib para kader partai. RUU pemilu yang telah
diajukan dan diserahkan oleh pemerintah kepada legislatif Dewan Perwakilan
Rakyat (DPR) RI, masih enggan untuk memuat frasa kader partai dan lebih memilih
frasa terdaftar sebagai anggota partai.
Mengingat RUU Pemilu dapat disahkan menjadi Undang-Undang atas adanya kesepakatan bersama antara legislatif dan eksekutif, sangat diharapkan wakil rakyat yang saat ini duduk di senayan menggunakan hak legislasinya untuk merevisi dan mengubah kata terdaftar sebagai anggota partai dengan frasa menjadi kader partai politik, yang kemudian diikuti dengan adanya penjelasan kata kader ini dalam lampiran UU dengan memuat ketentuan khusus berupa adanya kartu tanda anggota, sertifikasi perkaderan (pernah mendapatkan pendidikan politik), jenjang pengabdian di tubuh internal partai, adanya penilaian pengabdian dengan tambahan surat keputusan (SK) pucuk pimpinan partai, terkait dasar pemilihan nama-nama bakal calon (balon) yang akan diusung atau disetujui partai politik (parpol) baik pada pelaksanaan pilpres, pileg maupun pilkada yang saat ini berlangsung pada berbagai daerah di Indonesia. Mudah-mudahan dapat terwujud, agar para anggota dan juga kader partai politik terus bekerja yang terbaik untuk meraih prestasi-prestasi gemilang dalam berorganisasi. (Silaen Lawyer)
Mengingat RUU Pemilu dapat disahkan menjadi Undang-Undang atas adanya kesepakatan bersama antara legislatif dan eksekutif, sangat diharapkan wakil rakyat yang saat ini duduk di senayan menggunakan hak legislasinya untuk merevisi dan mengubah kata terdaftar sebagai anggota partai dengan frasa menjadi kader partai politik, yang kemudian diikuti dengan adanya penjelasan kata kader ini dalam lampiran UU dengan memuat ketentuan khusus berupa adanya kartu tanda anggota, sertifikasi perkaderan (pernah mendapatkan pendidikan politik), jenjang pengabdian di tubuh internal partai, adanya penilaian pengabdian dengan tambahan surat keputusan (SK) pucuk pimpinan partai, terkait dasar pemilihan nama-nama bakal calon (balon) yang akan diusung atau disetujui partai politik (parpol) baik pada pelaksanaan pilpres, pileg maupun pilkada yang saat ini berlangsung pada berbagai daerah di Indonesia. Mudah-mudahan dapat terwujud, agar para anggota dan juga kader partai politik terus bekerja yang terbaik untuk meraih prestasi-prestasi gemilang dalam berorganisasi. (Silaen Lawyer)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
No Link Aktif, Harap Maklum BOSS.....