Pentingnya pengetahuan hukum tentang kepemilikan
hak atas tanah bagi warga negara Indonesia (WNI) dan juga asing (WNA), sudah
tidak bisa ditawar-tawar lagi. Hal ini disebabkan tanah telah dijadikan sebagai
salah satu sumber mata pencaharian dan kehidupan yang sangat vital bagi kelangsungan
hidup manusia. Dimana fungsi tanah sebagai sarana untuk mencari penghidupan pada
pelbagai bidang keagrariaan, dapat dengan jelas kita lihat dipergunakan pada bidang pertanian,
perkebunan, peternakan, perikanan, industri, perusahaan maupun agen properti profesional, maupun yang secara
khusus dipergunakan sebagai tempat tinggal. Nah, oleh karena begitu pentingnya
tanah dimaksud, tentu saja sangat dibutuhkan pengaturannya, baik yang bersifat
umum maupun khusus agar tidak terjadi saling serobot menyerobot tanah dan jenis
pelanggaran hukum lainnya.
Eksistensi yuridis formal pengaturan
tentang tanah dapat kita lihat dalam Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1960 tentang
Peraturan Dasar Pokok-Pokok Agraria (yang selanjutnya disebut dengan UUPA). Roh terbentuknya dan/atau diberlakukannya
UUPA ini, kalau kita cermati lebih dalam adalah merupakan pelaksanaan dari
ketentuan Pasal 33 ayat (3) Undang-Undang Dasar 1945 (UUD’45) yang dengan jelas
menyatakan bahwa => “bumi dan air dan kekayaan alam yang terkandung di
dalamnya dikuasai oleh negara dan dipergunakan untuk sebesar-besar kemakmuran
rakyat”.
UUPA No. 5/1960 adalah merupakan peraturan
yang mengatur tentang “hukum” mengenai pertanahan yang pengaturannya bersifat
umum (lex generalis). Sehingga,
aplikasinya masih membutuhkan peraturan perundang-undangan lainnya (bersifat lex spesialis), dimana pengejawantahan mengenai
hukum yang berhubungan dengan tanah (“hukum pertanahan”) misalnya dapat kita lihat pada:
- Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 40 Tahun 1996 tentang Hak Guna Usaha (HGU), Hak Guna Bangunan (HGB), dan Hak Pakai atas Tanah;
- Peraturan Menteri Agraria/Kepala Badan Pertanahan Nasional Nomor 3 Tahun 1999 tentang Pelimpahan Kewenangan Pemberian dan Pembatalan Keputusan Pemberian Hak atas Tanah;
- dan lain-lain;
Dalam ruang lingkup agraria, tanah
merupakan bagian dari bumi yang disebut permukaan bumi. Tanah yang dimaksudkan
di sini bukan mengatur tanah dalam segala aspeknya, melainkan hanya mengatur
salah satu aspeknya yaitu tanah dalam pengertian yuridis yang disebut hak.
Tanah sebagai bagian dari bumi disebutkan dalam Pasal 4 ayat (1) UUPA, yaitu
=> “Atas dasar hak menguasai dari negara sebagai yang dimaksud dalam Pasal 2
ditentukan adanya macam-macam hak atas permukaan bumi yang disebut tanah, yang
dapat diberikan kepada dan dipunyai oleh orang-orang baik sendiri maupun
bersama-sama dengan orang lain serta badan-badan hukum”.
Hak Warga Negara Asing Terhadap Penguasaan Tanah di Indonesia
SUBJEK HAK MILIK ATAS TANAH
Pada prinsipnya hak milik hanya dapat
dipunyai oleh orang-orang (het
natuurlijke persoon), baik sendiri maupun bersama-sama dengan orang lain. Sedangkan
badan hukum tidak dapat mempunyai tanah dengan asas hak milik, kecuali badan
hukum yang ditetapkan oleh pemerintah dan telah dipenuhi syarat-syaratnya (vide
Pasal 21 ayat (1) dan ayat (2) UUPA).
Berdasarkan ketentuan hukum agraria yang
lama, bahwa setiap orang diperbolehkan mempunyai tanah dengan “hak eigendom”, baik ia warga negara
maupun warga asing, baik untuk Indonesia asli maupun untuk non pribumi. Bahkan
badan hukum pun berhak mempunyai hak eigendom ini, baik badan hukum Indonesia
maupun badan hukum asing.
Sesuai dengan ketentuan Pasal 9 ayat (1)
UUPA jo menurut Pasal 21 ayat (1) UUPA dengan tegas dinyatakan bahwa hanya
warga negara Indonesia saja yang dapat mempunyai hak milik atas tanah, dimana bahwa
larangan tidak diadakan perbedaan antara orang-orang Indonesia asli dengan orang-orang
yang keturunan asing. Meskipun, menurut ketentuan Pasal 9 ayat (2) UUPA tidak
diadakan perbedaan antara sesama warga negara, namun dalam hal kepemilikan
tanah diadakan perbedaan untuk mereka yang memiliki kewarganegaraan tunggal dan
rangkap.
Berkewarganeragaan rangkap artinya adalah
=> “bahwa disamping dianya kewarganegaraan Indonesia, dia juga mempunyai kewarganegaraan
lain”. Dalam ketentuan Pasal 24 ayat (4) UUPA menentukan dan dengan tegas menyatakan
=> “bahwa selama seseorang disamping kewarganegaraan Indonesia mempunyai
kewarganegaraan asing, ia tidak dapat mempunyai tanah dengan hak tanah”. Hal ini
berarti, bahwa ia selama itu dalam hubungannya dengan soal pemilikan tanah adalah
dipersamakan dengan orang asing. Dalam penjelasan pasal tersebut dinyatakan bahwa
sudah selayaknya orang-orang yang membiarkan diri disamping berkewarganegaraan
Indonesia juga mempunyai kewarganegaraan lain, maka dalam hal kepemilikan tanah
dibedakan dari warga negara Indonesia lainnya. Dengan demikian, yang boleh
mempunyai tanah dengan hak milik itu hanyalah warga negara Indonesia tunggal
saja. Sekarang pengaturan ini juga terkait dengan kedudukan anak yang tetap
mengikuti kewarganegaraan orang tuanya, juga setelah ia tumbuh menjadi dewasa. Seandainya,
apabila orangtuanya telah melepaskan kewarganegaraan Indonesia, namun anaknya masih
tetap berkewarganegaraan Indonesia. Dan untuk menjadi warga negara Indonesia, harus
ditempuh cara pewarganegaraan, atau naturalisasi.
Kita telah mengetahui, bahwa selain syarat
kewarganegaraan Indonesia tunggal sebagaimana yang kami uraikan diatas, khusus
untuk pemilikan tanah pertanian masih diperlukan syarat-syarat lain. Syarat-syarat
itu berkaitan dengan ketentuan mengenai ambang batas kepemilikan tanah atau
batas maksimum luas tanah pertanian yang boleh dimiliki dan dikuasai seseorang
(Pasal 1 jo 6 UU Nomor 56 (Perpu Tahun 1960) mengenai pemilikan bersama tanah
pertanian yang luasnya kurang dari 2 Ha (dua hektar) sebagaimana tersebut dalam
Pasal 9 ayat (2) dan 33 UUPA.
UU Nomor 56 (Perpu) 1960, dan mengenai
larangan pemilikan tanah pertanian secara “absentee”
atau “guntai” (Pasal 3 PP Nomor 224
Tahun 1961 junto PP Nomor 41 Tahun 1964). Mengenai syarat yang disebutkan dalam
Pasal 21 ayat 1 jo ayat 4 UUPA adalah pengaturan mengenai syarat umum bagi
perorangan untuk mempunyai tanah dengan hak milik, artinya syarat tersebut
wajib dipenuhi oleh setiap pemilik. Oleh karena itu, apa yang ditentukan oleh
peraturan-peraturan “Landreform”
merupakan syarat-syarat khusus, artinya khusus untuk pemilikan tanah pertanian, sementara bagi tanah pertanian, tidak disyaratkan bahwa pemiliknya harus seorang petani.
HAK MILIK ATAS TANAH BAGI WARGA NEGARA ASING
Pada asasnya hanya orang-orang warga
negara Indonesia tunggal saja yang dapat memiliki tanah, namun dalam hal-hal
tertentu dan dalam waktu yang terbatas oleh UUPA masih dimungkinkan orang-orang
asing (WNA) dan atau warga negara Indonesia yang berkewarganegaraan rangkap
untuk mempunyai tanah dengan hak milik. Diberikannya kemungkinan itu adalah
atas dasar pertimbangan perikemanusiaan.
Pengaturan diperbolehkannya orang asing
untuk mempunyai tanah dengan hak milik secara tegas diatur dalam ketentuan Pasal
21 ayat 3 UUPA yang menentukan => bahwa orang asing yang sesudah tanggal 24
september 1960 memperoleh hak milik karena pewarisan tanpa wasiat atau
percampuran harta karena perkawinan, wajib melepaskan hak itu dalam jangka
waktu 1 (satu) tahun sejak diperolehnya hak tersebut. Ketentuan ini berlaku
juga terhadap seorang warga negara Indonesia yang mempunyai hak milik dan
setelah tanggal 24 september 1960 kehilangan kewarganegaraannya.
Jangka waktu satu tahun tersebut dihitung
sejak hilangnya kewarganegaraan Indonesia itu. Lalu, bagaimanakah ketentuannya
jika yang menerima hak milik secara demikian seorang Indonesia yang
berkewarganegaraan rangkap atau jika seorang pemilik semula berkewarganegaraan
Indonesia tunggal, menurut hemat kami (“Pengacara N. Hasudungan Silaen, SH”), bahwa
ketentuan Pasal 21 ayat 3 UUPA berlaku juga terhadap mereka berdasarkan
ketentuan yang tersebut dalam Pasal 21 ayat 4 UUPA.
Dalam penjelasan Pasal 21 ayat 3 UUPA
ditentukan tentang cara-cara untuk memperoleh hak tanpa harus melakukan sesuatu
tindakan positif yang sengaja ditujukan pada terjadinya peralihan hak yang
bersangkutan. Cara-cara lain tidak diperbolehkan karena dilarang oleh Pasal 26
ayat 2 UUPA, juga beli, tukar menukar, hibah, dan pemberian dengan wasiat (“legat”).
Memperoleh hak milik dengan kedua cara
tersebut diatas, masih dimungkinkan bagi orang-orang asing dan warga negara
Indonesia yang berkewarganegaraan rangkap, tetapi dalam waktu satu tahun
pemilikan itu harus diakhiri. Bagaimana cara mengakhirinya? Cara mengakhirinya adalah
dengan melepaskan hak milik atas tanah dimaksud dalam jangka waktu satu tahun. Seandainya
hak miliknya tersebut tidak dilepaskan, maka hak tersebut menjadi hapus dan
tanahnya kembali menjadi tanah negara, yaitu tanah yang dikuasai langsung oleh
negara. Artinya setelah itu, bagi para bekas pemilik diberikan kesempatan untuk
meminta kembali tanah yang bersangkutan dengan hak dapat dipunyainya, yaitu
bagi orang asing berupa hak pakai dan bagi orang Indonesia yang
berkewarganegaraan rangkap, kemudian Hak Guna Usaha (HGU), Hak Guna Bangunan (HGB),
atau berupa hak pakai.
Semoga bermanfaat ulasan kami tentang kepemilikan hak atas tanah di Indonesia, dan atas perhatiannya diucapkan terima kasih.
Semoga bermanfaat ulasan kami tentang kepemilikan hak atas tanah di Indonesia, dan atas perhatiannya diucapkan terima kasih.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
No Link Aktif, Harap Maklum BOSS.....