Terjadinya beberapa kasus tindak pidana yang
dijerat oleh Pasal 27 Ayat (3) Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2008 tentang Informasi
Dan Transaksi Elektronik (UU ITE),
menyebabkan timbulnya kontroversi dan juga multitafsir atas penerapan Pasal 27
Ayat (3) UU ITE tersebut. Hal ini menyebabkan, sebahagian anggota masyarakat meresponsnya
dengan menggaungkan agar kiranya Pasal 27 Ayat (3) UU ITE segera direvisi oleh
pemerintah dan juga DPR.
Memang, kalau kita “play back” terhadap penerapan Pasal 27 Ayat (3) UU ITE sempat
booming dan menjadi tranding topic
yang banyak menyedot perhatian masyarakat, yaitu ketika terjadi kasus atas diri
Prita Mulyasari yang menyampaikan keluhannya melalui surat elektronik (email) hingga menyebar di grup surel (mailing list) mengenai adanya dugaan
salah diagnosis yang dilakukan oleh Rumah
Sakit (RS) OMNI. Atas kasus ini, Prita sempat ditahan di rumah tahanan
wanita selama lebih kurang 3 (tiga) minggu, meskipun pada akhirnya Hakim Mahkamah Agung memutuskan Prita
tidak bersalah pada medio September 2012 yang lalu.
Kasus Prita Mulyasari ini, merupakan salah
satu contoh kasus bahwa penyampaian suatu pendapat atau “curahan hati” yang berhubungan dengan apa yang dilihat, dialami,
dan dirasakan kemudian menyampaikannya melalui media elektronik bisa berujung
pada tindak pidana penghinaan dan/atau pencemaran nama baik seseorang atau
lembaga. Hal ini, memang secara jelas dan tegas dinyatakan oleh Pasal 27 Ayat
(3) UU ITE yang berbunyi => “setiap
orang yang dengan sengaja dan tanpa hak mendistribusikan dan/atau
mentransmisikan dan/atau membuat dapat diaksesnya informasi elektronik dan/atau
dokumen elektronik yang memiliki muatan penghinaan dan/atau pencemaran nama
baik”.
Sedangkan bagi mereka yang melanggar
ketentuan Pasal 27 Ayat (3) UU ITE ini, diancam dengan hukuman yang diatur
dalam Pasal 45 Ayat (1) UU ITE yang isinya menyatakan bahwa => “setiap orang memenuhi unsur sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 27 Ayat (1), Ayat (2), Ayat (3) atau Ayat (4) dipidana
dengan pidana penjara paling lama 6 (enam) tahun dan/atau denda paling banyak 1
(satu) milyar”.
Sejak diberlakukannya UU ITE ini, telah
tercatat lebih kurang ada 130 orang yang dijerat oleh Pasal 27 Ayat (3) UU ITE.
Dimana orang-orang yang menjadi tersangkanya terdiri dari berbagai macam elemen
masyarakat, seperti yang berprofesi sebagai dosen, PNS, praktisi, ibu rumah tangga,
mahasiswa, artis, aktivis, wartawan, dan lain sebagainya.
Dari 130 kasus UU ITE, beberapa diantaranya
adalah kasus yang menyangkut pemasangan, pemuatan atau penulisan status di
berbagai laman atau web media sosial, seperti facebook, path, twitter, email,
web/blog, youtube, media daring, pesan singkat (sms) melalui telepon seluler
dan juga melalui blackberry messenger (bbm). Terjadinya penggunaan berbagai
sarana elektronik dalam menyampaikan atau mengemukakan pendapat melalui media
digital, tentu saja disebabkan perangkat digital dimaksud telah dijadikan
sebagai barang-barang yang acapkali digunakan dan tingginya kebutuhan manusia
akan berbagai informasi, sehingga selalu berinteraksi dengan media digital yang
telah dianggap sebagai salah satu mode dan sentra-sentra untuk mendapatkan atau
menyampaikan informasi yang tepat, cepat dan efisien tanpa dibatasi ruang dan
waktu.
Adanya perkembangan kasus hukum yang
melibatkan penggunaan media-media elektronik canggih sebagaimana kami kemukakan
diatas, bisa ditengarai akibat adanya efek “kasus Prita” dan juga efek penerapan
Pasal 27 Ayat (3) UU ITE tentang adanya delik pencemaran nama baik.
Kalau kita cermati dan tafsirkan unsur-unsur
yang termaktub dalam Pasal 27 Ayat (3) UU ITE tidak ada secara rinci atau jelas
memuat pembatasan tentang perbuatan yang domain pribadi atau ranah publik bisa dikategorikan
sebagai pelanggaran atas UU ini, yang mana hal ini sangat bertolak belakang
dengan ketentuan yang diatur dalam Pasal 310 KUHPidana yang secara jelas hanya
menjerat orang-orang yang mengemukakan pendapatnya di muka umum. Artinya, bahwa
seandainya perbuatan tersebut dilakukan antar pribadi, maka tidak dapat
dikenakan Pasal 310 KUHPidana. Tapi bila hal ini dikaitkan penerapannya dengan
ketentuan Pasal 27 Ayat (3) UU ITE, maka perbuatan antar pribadi tersebut dapat
diberlakukan atau dikenakan Pasal 27 Ayat (3) UU ITE. Dengan kata lain,
penggunaan “Pasal Pencemaran Nama Baik”
dalam konteks penegakan hukum dan kebebasan berekspresi di Indonesia sangat
multitafsir. Hal inilah yang menyebabkan timbulnya banyak desakan dari
stakeholder untuk menuntut dilakukannya revisi atas UU ITE.
Pemerintah Bersedia Merevisi UU ITE
Karena begitu banyaknya desakan dari
masyarakat dan juga beragamnya pandangan kritis pemberlakuan UU ITE, akhirnya
direspon pemerintah pada bulan Desember 2015 yang lalu, dimana Presiden RI Joko
Widodo (Jokowi) menyampaikan secara resmi Rancangan Undang-Undang (RUU) tentang
Informasi dan Transaksi Elektronik (UU ITE) yang baru ke Dewan Perwakilan
Rakyat (DPR). Adanya informasi mengenai RUU ini dapat kita lihat diwebsite
resmi milik Kementerian Kominfo, dimana pada pokoknya menjelaskan bahwa tujuan
dilakukannya revisi UU ITE untuk mencegah atau mengantisipasi terjadinya
penafsiran ganda ataupun multitafsir terhadap penerapan Pasal 27 Ayat (3) UU
ITE yang mengatur tentang delik penghinaan dan/atau pencemaran nama baik yang
menggunakan sistem elektronik.
Namun kalau kita ulas tentang RUU yang
diajukan pemerintah kepada DPR tersebut, muatan utama dilakukannya revisi
asumsinya bersumber pada adanya pengurangan acaman pidana akibat dilakukannya
tindak pidana pencemaran nama baik seseorang atau lembaga. Dalam Rancangan UU
ITE, pemerintah mengusulkan adanya pengurangan ancaman hukuman dari yang semula
selama 6 tahun menjadi 4 tahun, sehingga bila dihubungkan dengan Kitab
Undang-Undang Hukum Acara Pidana (KUHAPidana) tidak perlu dilakukan penahanan
terhadap para pelaku.
Atas adanya RUU ITE yang diajukan pemerintah,
tentu saja mendapat respon yang beragam masyarakat maupun dari DPR. Sebahagian
ada yang setuju, dan sebahagian lagi ada yang menolak dengan menyertakan
berbagai pandangan yang kritis. Hal ini tentu saja harus kita maknai adalah
untuk mendapatkan formula yang tepat dan benar agar nantinya UU ITE yang baru
ini dapat memberikan rasa keadilan hukum dan atau perlindungan hukum bagi
masyarakat luas.
Adapun alasan beberapa anggota masyarakat
yang menolak isi dari revisi UU ITE khususnya Pasal 27 Ayat (3) yang telah
diajukan pemerintah disebabkan sebelumnya Mahkamah Konstitusi (MK) pernah
menolak permohonan uji materil terkait Pasal 27 Ayat (3) UU ITE. Alasan lainnya
ada yang menyatakan bahwa memfitnah orang hingga mencemarkan nama baiknya
dikategorikan sebagai perbuatan yang lebih kejam dari pembunuhan, sehingga
sangat patut dan layak untuk diganjar hukuman yang seberat-beratnya.
Disamping itu juga Pasal 27 Ayat (3) UU ITE
yang akan direvisi tersebut tidak mengatur secara detail tentang sejauh mana
aplikasi pencemaran nama baik, sebagaimana pencemaran nama baik yang dijelaskan
dan diatur dalam ketentuan Pasal 310 dan Pasal 311 KUHPidana.
Ada lagi pendapat masyarakat yang menyatakan
bahwa selama ini pemerintah lambat melakukan sosialisasi UU ITE, sehingga
banyak anggota masyarakat yang belum memahami dan tidak menyadari bahwasanya
“berkeluh kesah” atau sekedar menyampaikan “curahan hati” di dunia maya (internet online) terhadap pihak lain sangat
terbuka peluangnya untuk dipidanakan oleh orang lain dengan menggunakan ketentuan
Pasal 27 Ayat (3) UU ITE tersebut.
Apapun alasannya, baik yang setuju atau
menentang RUU ITE, tentu saja harus disikapi secara arif dan bijaksana agar
kepentingan umum, kebebasan berekspresi dan mengemukakan pendapat antar pribadi
maupun dalam ranah publik via mode elektronik.
Menurut pandangan kami selaku advokat dan
praktisi hukum di Kota Medan, masalah ancaman pidana atas delik tindak pidana
pencemaran nama baik dan atau penghinaan melalui informasi atau dokumen
elektronik sebagaimana diatur dalam ketentuan Pasal 27 Ayat (3) UU ITE,
sebaiknya diakomodir ke dalam RUU KUHPidana yang merupakan kodifikasi hukum-hukum pidana yang ada di Indonesia. Hal ini
menurut kami agar tidak terjadi tumpah tindih terhadap berbagai macam penerapan
sanksi yang dijatuhkan terhadap suatu perbuatan yang melanggar (melawan) hukum,
sehingga tidak harus dipidana.
Kemudian, kami juga melihat bahwa adanya pencemaran
nama baik atau fitnah yang dilakukan melalui jejaring sosial seperti facebook
atau twitter sebaiknya tidak dikenakan pidana penjara. Hal ini disebabkan,
fitnah atau pencemaran nama baik yang dilakukan melalui media sosial dapat
diralat melalui media yang sama oleh para pelaku (bandingkan penggunaan hak
jawab dan ralat yang ada pada UU Pers). Dengan kata lain, dengan adanya ralat
yang dilakukan pelaku, maka sedikit banyaknya hak-hak korban dapat dikembalikan
sehingga pelakunya tidak harus dipenjara.
Disamping itu juga, adanya ancaman hukuman yang
juga termuat dalam revisi UU ITE menurut kami telah melemahkan adanya kebebasan
mengemukakan pendapat yang dilindungi oleh UUD 1945 karena merupakan hak asasi
manusia (HAM), sehingga ditengarai akan merampas hak kebebasan warga negara
untuk berpendapat di era sentra digitalisasi ini. Bagaimana kelanjutan tentang
kontroversi pemberlakuan ancaman pidana yang diatur dalam Pasal 27 Ayat (3) UU
ITE yang saat ini revisinya sedang dalam tahap pembahasan antara pemerintah dan
DPR, masih sama-sama kita tunggu. Mudah-mudahan hasilnya dapat memberikan rasa
keadilan hukum bagi seluruh rakyat Indonesia dan tidak menimbulkan multitafsir.
Sekian dan terima kasih.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
No Link Aktif, Harap Maklum BOSS.....