Peran Advokat (Pengacara atau Kuasa Hukum) Dalam Proses Mediasi Di Pengadilan # Dalam proses penyelesaian suatu sengketa atau kasus,
terkadang peran mediasi yang dilakukan oleh seorang advokat, sangat dibutuhkan.
Mediasi yang dilakukan oleh advokat (baik sebelum dan sesudah di pengadilan) tersebut adalah sebagai salah satu perwujudan pelayanan hukum yang bisa memberikan salah satu solusi dan atau cara penyelesaian sengketa (kasus) dengan melibatkan pihak
ketiga, yaitu pihak lain yang
dapat diterima dan telah mendapat persetujuan dari para pihak yang sedang bersengketa.
Arti
Dan Pengertian Mediasi
Mediasi adalah
proses penyelesaian sengketa melalui proses perundingan atau mufakat para pihak
dengan dibantu oleh mediator yang
tidak memiliki kewenangan memutus atau memaksakan sebuah penyelesaian. Ciri utama
proses mediasi adalah perundingan yang esensinya sama dengan
proses musyawarah atau
konsensus.
Apa kaitannya mediasi dengan pelayanan jasa bantuan hukum yang
diberikan oleh seorang advokat atau pengacara? Ilustrasinya kira-kira seperti ini, ketika anda memiliki sebuah permasalahan, persoalan atau
perkara hukum, misalnya perkara perdata, yaitu berupa perkara ingkar janji (wanprestasi). Atas adanya perkara
dimaksud, anda tidak paham bagaimana cara menyelesaikannya agar orang yang
melakukan ingkar janji tersebut bersedia memenuhi prestasi yang dibebankan
kepadanya. Disamping itu, anda sendiri tidak memiliki niat agar perkara
tersebut sampai ke pengadilan melalui pengajuan gugatan perdata.
Nah, bila memang kondisi seperti diatas terjadi, anda
dapat mempergunakan jasa seorang advokat atau pengacara untuk menjalankan tugasnya dalam memberikan solusi tentang tata cara penyelesaian sengketa
agar perkara hukum perdata yang sedang anda
alami
tidak sampai mengajukan gugatan pengadilan.
Bahwa mediasi mengandung arti mengizinkan pihak ketiga untuk membantu para
pihak yang bersengketa dan atau membantu para pihak untuk mencapai penyelesaian. Meskipun demikian, akseptabilitas tidak mengisyaratkan bahwa para
pihak selalu berkehendak untuk melakukan dan atau menerima sepenuhnya apa yang dikemukakan oleh para pihak ketiga.
Sedangkan peran advokat disini adalah untuk melakukan kegiatan dan atau serangkaian perbuatan hukum tindakan berupa advis, anjuran, pendampingan, pernyataan maupun pembelaan terhadap salah satu pihak yang
bersengketa.
Nah, contoh diatas
adalah merupakan ilustrasi bahwasanya suatu perkara dapat diselesaikan sebelum
sampai ke pengadilan. Lalu bagaimana mediasi tersebut dapat dilakukan oleh
seorang advokat (pengacara) ketika sebuah perkara telah sampai ke depan
pengadilan? Mari kita simak penjelasannya.
Dasar Hukum Mediasi Di Pengadilan
Yang menjadi dasar hukum melakukan mediasi suatu
sengketa (perkara) di pengadilan adalah Peraturan Mahkamah Agung (PERMA)
No. 1 Tahun 2008,
dimana berdasarkan ketentuan dalam Pasal 1 angka 1 Perma No.1/2008,
mediasi adalah cara penyelesaian sengketa melalui proses perundingan untuk
memperoleh kesepakatan para pihak dengan dibantu oleh mediator.
Penggunaan lembaga mediasi ini adalah bertujuan untuk
menjadikan penyelesaian suatu sengketa dapat terselesaikan dengan secara cepat, murah, dan dapat memberikan akses yang lebih besar bagi para pihak dalam menemukan penyelesaian yang
memuaskan dan memenuhi rasa keadilan. Proses mediasi dalam
proses beracara di dalam pengadilan adalah merupakan satu proses yang wajib diikuti oleh semua pihak, termasuk
hakim, mediator dan para pihak, serta sangat serius
dilakukan. Karena, apabila proses mediasi ini dilanggar maka akan
berakibat putusan yang dihasilkan oleh pengadilan bersifat
batal demi hukum.
Advokat Bisa Mendamping Dan Mengikuti Proses Mediasi Di Pengadilan
Ada beberapa pendapat yang menyatakan bahwa advokat
(pengacara) tidak boleh mengikuti atau mendampingi selama dilakukannya proses
mediasi di pengadilan. Namun, untuk menjelaskan hal tersebut, kita akan analisis sedikit
tentang peran advokat selaku kuasa hukum dalam ketentuan PERMA No. 1 Tahun
2008, dimana pada Pasal 1 angka 8 dengan jelas disebutkan bahwa: “Para pihak adalah dua atau lebih subjek hukum yang bukan kuasa hukum
yang bersengketa dan membawa sengketa mereka ke pengadilan untuk memperoleh
penyelesaian”. Makna dari ketentuan Pasal 1 angka 8 dengan jelas mengandung arti yang tegas bahwasanya
advokat secara a contrario bukan termasuk bahagian dari “para pihak”, karena advokat (pengacara) hanya sebatas wakil atau
menjalankan kuasa dari para pihak yang sedang bersengketa. Sehingga,
apabila terjadi kesepakatan yang dibuat oleh para pihak dalam proses mediasi, maka
hal tersebut bisa memberikan arti bahwa kesepakatan tersebut
bukanlah kesepakatan antara advokat atau kuasa hokum dari
pihak yang bersengketa.
Selanjutnya dalam Pasal 1 angka 12 PERMA No. 1
Tahun 2008, menyebutkan: “Proses mediasi tertutup adalah
bahwa pertemuan-pertemuan mediasi hanya dihadiri para pihak atau kuasa hukum
mereka dan mediator atau pihak lain yang diizinkan oleh para pihak serta
dinamika yang terjadi dalam pertemuan tidak boleh disampaikan kepada publik
terkecuali atas izin para pihak”. Ketentuan pasal 1 angka 12 jelas ada menegaskan bahwa advokat diperbolehkan mengikuti
(menghadiri) proses mediasi tertutup untuk mewakili kepentingan kliennya, namun tetap terikat
untuk tidak boleh menyampaikan dinamika proses mediasi kepada khalayak ramai
(publik), kecuali disetujui oleh para pihak.
Dalam ketentuan Pasal 7 ayat (3),
menyebutkan: “Hakim, melalui kuasa hukum atau
langsung kepada para pihak, mendorong para pihak untuk berperan langsung atau
aktif dalam proses mediasi”. Arti dan pengertian dari kata mendorong dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI), di antaranya bermakna: “mendesak atau memaksa supaya
berbuat sesuatu”. Kaitan pengertian mendorong sebagaimana yang termaktub
dalam ketentuan Pasal 7 ayat (3) diatas, bahwa mediasi difokuskan kepada hakim,
agar hakim mendorong atau mendesak atau memaksa para pihak baik langsung maupun
tidak langsung melalui kuasa hukumnya (advokat) untuk berperan lansung atau
aktif dalam proses mediasi.
Apabila kita bandingkan ketentuan ayat (3) dengan ayat (4) dalam
Pasal 7 PERMA No. 1 Tahun 2008, hanya terletak pada kata “wajib”. Dalam ayat (3), peran hakim
untuk mendorong tidak disertai dengan kata “wajib”. Pasal 7 ayat (4): “Kuasa
hukum para pihak berkewajiban mendorong para pihak sendiri berperan langsung
atau aktif dalam proses mediasi”. Berbeda dengan ketentuan pasal 7 ayat (3), pada ayat (4) di atas,
advokat selaku kuasa hukum memiliki peran yang sama seperti hakim, yaitu
sama-sama mendorong (mendesak dan memaksa) para pihak sendiri untuk berperan
langsung atau aktif dalam proses mediasi. Namun perbedaannya terletak pada kata
“wajib”. Yaitu peran advokat mendorong tersebut memiliki bobot sifat “wajib”.
Makna kata “sendiri” di dalam rumusan pasal 7 ayat (4) tidak dapat ditafsirkan
bahwa para pihak “wajib” mengikuti proses mediasi secara sendiri tanpa kuasa
hukum (advokat). Bila dimaknai demikian, maka tentu akan bertentangan dengan
ketentuan pasal 1 angka 12. Untuk itu kata “sendiri” harus dimaknai sebatas
makna bahwa para pihak diharapkan terlibat secara langsung dalam proses
mediasi. Sedangkan ketentuan Pasal 14 ayat (1), menyatakan bahwa: “Mediator berkewajiban menyatakan
mediasi telah gagal jika salah satu pihak atau para pihak atau kuasa hukumnya
telah dua kali berturut-turut tidak menghadiri pertemuan mediasi sesuai jadwal
pertemuan mediasi yang telah disepakati atau telah dua kali berturut-turut
tidak menghadiri pertemuan mediasi tanpa alasan setelah dipanggil secara patut”. Sementara
Pasal 16 ayat (1)
menyatakan: “Atas persetujuan para pihak atau kuasa hukum, mediator dapat
mengundang seorang atau lebih ahli dalam bidang tertentu untuk memberikan
penjelasan atau pertimbangan yang dapat membantu menyelesaikan perbedaan
pendapat di antara para pihak”. Pasal 17 ayat (2): “Jika dalam proses mediasi para pihak diwakili oleh
kuasa hukum, para pihak wajib menyatakan secara tertulis persetujuan atas
kesepakatan yang dicapai”.
Nah, dengan adanya rumusan kata “kuasa hukum”
yang terdapat pada ketentuan pasal 14, 16 dan 17 dalam PERMA No. 1 Tahun 2008, adalah kembali menguatkan kedudukan
peran advokat (pengacara) dalam mengikuti proses
mediasi, baik itu dalam hal mewakili ataupun mendampingi. Dengan demikian, jelas dan nyata,
bahwasanya ketentuan dalam PERMA No. 1 Tahun 2008 tidak ada satu ketentuan yang
melarang atau menolak kehadiran advokat dalam proses mediasi di pengadilan,
baik untuk mendampingi maupun sepenuhnya mewakili kepentingan para pihak yang
menjadi kliennya. Dan juga, sangat tidak beralasan hukum apabila ada
hal yang menyatakan proses mediasi dinyatakan gagal bilamana tidak diikuti secara
langsung dan sendiri oleh prinsipal para pihak.
Pada Perma Mediasi diatur bahwa ketidakhadiran merupakan salah satu sebab yang dapat mengakibatkan para pihak yang tidak hadir dinyatakan tidak beritikad baik dalam menempuh proses mediasi oleh mediator. Dalam hal penggugat dinyatakan tidak beritikad baik dalam menempuh proses mediasi maka, oleh hakim pemeriksa perkara gugatan penggugat dinyatakan tidak dapat diterima dan biaya mediasi dibebankan kepada penggugat (vide ketentuan Pasal 22 Perma 1/2016).
Dalam hal tergugat yang dinyatakan tidak beritikad baik dalam menempuh proses mediasi maka dalam hal gugatan dimenangkan oleh penggugat, maka biaya mediasi dibebankan kepada tergugat. Apabila gugatan dimenangkan oleh Tergugat, maka biaya mediasi juga dibebankan kepada tergugat sedangkan biaya perkara dibebankan kepada penggugat (vide ketentuan Pasal 23 Perma 1/2016).
Mediasi Berdasarkan
Perma Nomor 1 Tahun 2016
Pada
sekitar bulan Februari 2016 lalu, Mahkamah Agung Republik Indonesia (MARI)
sebagai pemegang kekuasaan kehakiman tertinggi di Indonesia, telah menerbitkan
Peraturan Mahkamah Agung (PERMA) Republik Indonesia Nomor 1 Tahun 2016 Tentang “Prosedur
Mediasi Di Pengadilan” (Perma No. 1/2016).
Berdasarkan
Perma 1/2016 tersebut, salah satu ketentuan yang sangat penting adalah =>
perihal adanya kewajiban kehadiran para pihak atau prinsipal dalam pertemuan
mediasi, hal mana ketentuan mana terlihat jelas dalam Pasal 6 ayat (1) yang
menyebutkan => “Para Pihak wajib menghadiri secara langsung pertemuan
Mediasi dengan atau tanpa didampingi oleh kuasa hukum”. Ketentuan ini sangat tegas
mewajibkan kepada para pihak atau prinsipal, baik penggugat maupun tergugat
untuk menghadiri langsung pertemuan mediasi, tidak mempermasalahkan apakah
kuasa hukum para prinsipal ikut mendampingi atau tidak ikut mendampingi
prinsipal dalam pertemuan mediasi.
Ketentuan
ini jelas sangat berbeda dengan Perma Mediasi sebelumnya, yakni Perma No. 1
Tahun 2008 Tentang Prosedur Mediasi Di Pengadilan yang tidak terdapat kewajiban
bagi Para Pihak atau Prinsipal untuk menghadiri secara langsung pertemuan
mediasi. Ketentuan mana tersebut dalam Pasal 2 ayat (2) Perma No. 1 Tahun 2008
yang menyebutkan: “Hakim, Mediator, dan Para pihak wajib mengikuti prosedur
penyelesaian sengketa melalui mediasi yang diatur dalam peraturan ini”. Jadi, kewajiban
untuk mengikuti prosedur mediasi yang diatur dalam Perma No. 1 Tahun 2008 bukanlah
untuk menghadiri secara langsung pertemuan mediasi di pengadilan.
Selanjutnya
bila dilihat dalam Pasal 7 ayat (1) Perma No. 1 Tahun 2008 yang menyatakan “Pada
hari sidang yang telah ditentukan yang dihadiri kedua belah pihak, hakim
mewajibkan para pihak untuk menempuh mediasi”. Kemudian dalam ketentuan Pasal 7
ayat (2) Perma No. 1 Tahun 2008, menyebutkan bahwa “Hakim, melalui kuasa hukum
atau langsung kepada para pihak mendorong para pihak, untuk berperan langsung
atau aktif dalam proses mediasi”. Nah, dalam pasal ini juga tidak terdapat
redaksional yang tegas bagi para pihak untuk hadir secara langsung dalam
pertemuan mediasi, hanya berupa dorongan atau ajuran dari hakim, itu pun
mendorongnya bisa hanya melalui perantara kuasa hukum untuk berperan langsung
atau aktif dalam proses mediasi, jadi titik penekanan mediasi adalah pada peran
dan keaktifan bukan pada kehadiran pada pertemuan mediasi.
Demikian
halnya pula dalam ketentuan Pasal 7 ayat (3) Perma 1/2008 yang kurang lebih
sama untuk mewajibkan kuasa hukum dalam hal mendorong para pihak (prinsipal) yang
berperkara untuk berperan langsung atau aktif dalam proses mediasi.
Pada Perma Mediasi diatur bahwa ketidakhadiran merupakan salah satu sebab yang dapat mengakibatkan para pihak yang tidak hadir dinyatakan tidak beritikad baik dalam menempuh proses mediasi oleh mediator. Dalam hal penggugat dinyatakan tidak beritikad baik dalam menempuh proses mediasi maka, oleh hakim pemeriksa perkara gugatan penggugat dinyatakan tidak dapat diterima dan biaya mediasi dibebankan kepada penggugat (vide ketentuan Pasal 22 Perma 1/2016).
Dalam hal tergugat yang dinyatakan tidak beritikad baik dalam menempuh proses mediasi maka dalam hal gugatan dimenangkan oleh penggugat, maka biaya mediasi dibebankan kepada tergugat. Apabila gugatan dimenangkan oleh Tergugat, maka biaya mediasi juga dibebankan kepada tergugat sedangkan biaya perkara dibebankan kepada penggugat (vide ketentuan Pasal 23 Perma 1/2016).
Sementara
dalam hal Para Pihak secara bersama-sama (penggugat dan tergugat) dinyatakan
tidak beriktikad baik oleh Mediator, gugatan yang bersangkutan dinyatakan tidak
dapat diterima oleh Hakim Pemeriksa Perkara tanpa penghukuman Biaya Mediasi (vide
ketentuan Pasal 23 Perma 1/2016).
Manfaat Proses Mediasi Yang Dilakukan oleh Advokat
Ada sikap dan pandangan miris pihak-pihak yang memiliki pendapat
negatif bahwa kehadiran advokat (pengacara/kuasa hukum) dalam proses mediasi tidak
memberi manfaat bagi terciptanya kesepakatan antar para pihak yang
bersengketa. Sehingga hal tersebut telah melabelisasi agar para advokat tidak
perlu dilibatkan (mewakili atau mendampingi) dalam proses mediasi. Namun, hal tersebut harus
dijadikan sebagai sebagai dasar untuk bersikap anti pati 100% dan
pesimis terhadap peran advokat dalam proses mediasi.
Seakan-akan bila suatu proses mediasi diikuti oleh para advokat, sudah bisa
dipastikan tidak akan tercapai kata kesepakatan untuk berdamai. Bila
ditemukan “advokat nakal” yang menghendaki atau bertujuan agar suatu masalah hukum yang
dialami seseorang tak kunjung selesai demi untuk kepentingan mendapatkan imbalan (honorarium) semata, maka hal tersebut sebenarnya
telah diantisipasi oleh organisasi advokat di dalam Kode Etik Advokat Indonesia (KEAI), yang secara tegas ada menyatakan, sebagai berikut:
- Advokat dalam melakukan tugasnya tidak bertujuan semata-mata untuk memperoleh imbalan materi tetapi lebih mengutamakan tegaknya Hukum, Kebenaran dan Keadilan (vide pasal 3 hurup b Kode Etik Advokat);
- Advokat dalam perkara-perkara perdata harus mengutamakan proses penyelesaian dengan jalan damai (vide pasal 4 hurup a Kode Etik Advokat);
- Advokat tidak dibenarkan memberikan keterangan yang dapat menyesatkan klien mengenai perkara yang sedang diurusnya (vide pasal 4 hurup b Kode Etik Advokat);
Dari adanya pengaturan dari ketentuan kode etik advokat
di atas, maka sudah wajib
untuk dipedomani dan dilaksanakan oleh seorang advokat yang melaksanakan
dan atau mengikuti proses mediasi, serta tugas-tugas lain yang berhubungan dengan
profesi advokat. Sehingga proses mediasi yang diikutinya dapat lebih berkualitas,
bermanfaat dalam menghasilkan suatu kesepakatan yang paripurna dalam
sebuah penyelesaian sengketa. Prinsip-prinsip kode etik advokat tersebut, sudah selayaknya
dijadikan pedoman sehari-hari
bagi semua advokat
di Indonesia untuk mengkedepankan tercapainya kesepakatan dalam penyelesaian suatu sengketa.
Serta tidak lupa untuk selalu berupaya menjelaskan dan meyakinkan kepada para pihak bersengketa
mengenai betapa penting dan bermanfaatnya penyelesaian sengketa secara mediasi. Dengan
kata lain, peran advokat dalam menyelesaikan sengketa melalui
lembaga mediasi di pengadilan tidak dapat diabaikan dan dikesampingkan,
karena banyak sengketa yang diselesaikan dalam proses mediasi yang melibatkan peran
aktif advokat dalam rangka mendorong kliennya untuk segera menyelesaikan sengketa melalui
jalur perdamaian sebagai salah satu bahagian dari proses mediasi di
pengadilan. Nah, dengan demikian peran dan fungsi advokat yang ideal, penting dalam kontribusinya menciptakan proses mediasi yang
berdaya guna di Pengadilan.
Sekian dan terima kasih.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
No Link Aktif, Harap Maklum BOSS.....