Saat ini, Advokat dan Pengacara maupun
Konsultan Hukum sudah sangat banyak diminati oleh para Sarjana Hukum (SH). Ya sebagian
orang juga menyebutnya dengan sebutan lawyer. Di
Provinsi Sumut, khususnya di Kota Medan, kami melihat bahwa sangat tingginya
animo para sarjana hukum maupun sarjana syariah untuk menggeluti profesi
menjadi advokat ini. Sehingga patut bila saat ini telah menjasi salah satu profesi
yang menjadi primadona di Indonesia, khususnya di Medan.
Kalau kita review beberapa tahun yang lalu, profesi dibidang hukum dahulu dipandang sebelah mata, serta sangat tidak populer di kalangan masyarakat Indonesia. Para orang tua dijaman itu, mempunyai keinginan bahwa anaknya dikader untuk menjadi seorang Dokter, Insinyur, Bankir, dan kalau adapun orang tua yang menginginkan anaknya menjadi seorang Advokat/Pengacara, maka jumlahnya sangat sedikit.
Memang sangat miris melihat keadaan diatas, ya mungkin pertimbangan orang tua kala itu, bahwasanya profesi menjadi Advokat atau Pengacara sangat tidak menjanjikan dan tidak menjamin kehidupan yang berkecukupan.
Kalau kita review beberapa tahun yang lalu, profesi dibidang hukum dahulu dipandang sebelah mata, serta sangat tidak populer di kalangan masyarakat Indonesia. Para orang tua dijaman itu, mempunyai keinginan bahwa anaknya dikader untuk menjadi seorang Dokter, Insinyur, Bankir, dan kalau adapun orang tua yang menginginkan anaknya menjadi seorang Advokat/Pengacara, maka jumlahnya sangat sedikit.
Memang sangat miris melihat keadaan diatas, ya mungkin pertimbangan orang tua kala itu, bahwasanya profesi menjadi Advokat atau Pengacara sangat tidak menjanjikan dan tidak menjamin kehidupan yang berkecukupan.
Disamping itu, Fakultas Hukum (FH)
sebagai cikal bakal tempat mendidik para kader untuk menjadi Advokat atau Pengacara
dahulunya juga dipandang sebagai fakultas “anak tiri” dan merupakan pilihan
terakhir apabila tidak diterima di Fakultas Kedokteran dan fakultas lainnya.
Hanya beberapa orang saja yang terus bertahan dan mampu memberikan seluruh
dedikasi dalam hidupnya untuk menjadi seorang Advokat atau Pengacara di
Indonesia. Contohnya dapat kita lihat dari Advokat atau Pengacara legendaries
Indonesia, yakni: Martokoesoemo yang merupakan seorang Advokat dan Pengacara
pertama di Indonesia. Kemudian adalagi yang bernama Yap Thiam Hien seorang
yakni: seorang Advokat atau Pengacara yang masih menjadi panutan bagi
banyak Advokat atau Pengacara hingga saat ini.
Profesi Advokat atau Pengacara yang
dahulu sempat dianggap suatu profesi yang tidak menjanjikan dan tidak terdapat memberikan
jaminan hidup berkecukupan tersebut kini sudah berubah. Hal ini dapat kami
lihat dari adanya kenyataan bahwasanya tidak sedikit masyarakat yang berlomba-lomba
ingin masuk Fakultas Hukum (FH) dengan tujuan awal agar menjadi seorang Advokat
atau Pengacara.
Mereka juga rela mengeluarkan biaya
yang tidak sedikit untuk kuliah di Fakultas Hukum untuk mendapatkan gelar Sarjana
Hukum, setelah lulus mengikuti Pendidikan Khusus Profesi Advokat (PKPA), mereka
juga harus mengikuti ujian yang diselenggarakan sebagai proses seleksi dan
tahapan untuk menjadi seorang Advokat yang profesinal, mengeluarkan biaya untuk
penyumpahan dan biaya-biaya lainnya yang tentu saja jumlahnya tidak sedikit.
Kondisi diatas menyebabkan, Fakultas
Hukum mulai “kebanjiran” mahasiswa ataupun mahasiswi, sehingga sekarang
terdapat banyak universitas ataupun sekolah tinggi yang membuka program
pendidikan fakultas hukum.
Ketertarikan masyarakat terhadap profesi
Advokat ataupun menjadi Pengacara di Indonesia, tentu tidak dapat dilepaskan
dari adanya berita-berita yang muncul di media cetak dan media elektronik,
maupun media sosial (facebook, twitter, whatsapps, line, instagram, path),
protal berita online, website atau situs kantor pengacara, blog personal
advokat dan lain sebagainya.
Intinya bahwa adanya peran dari
penggunaan teknologi informatika dan juga enginering
website telah menjadikan informasi dan juga pemasaran profesi advokat ini
menjadi lebih terarah dan mengenai masyarakat yang membutuhkan bantuan hukum
dari para pengacara. Sehingga tak heran pada jaman modern ini, ada sebahagian
masyarakat yang melabelkan pengacara di Indonesia dengan sebutan pengacara online.
Ya, mau sebuatan pengacara online
ataupun pengacara offline, tentu saja perihal profesi Advokat ataupun Pengacara
dengan segala potensi kekayaan yang bisa dimiliki profesi ini, seperti memiliki
kendaraan mahal, berpenampilan mewah, sering muncul di televisi, dll, sudah
menjadi tontonan “sihir” yang mampu menciptakan daya tarik para sarjana hukum
untuk menjadi seorang pengacara. Sebut saja beberapa nama, seperti Hotma Paris
Hutapea, Hotma Sitompul, Otto Hasibuan dan beberapa Advokat atau Pengacara lainnya yang
hilir mudik di televisi dengan semua penampilan mewah dan strategi penanganan
perkara yang ditangani mereka. Banyak calon Advokat atau Pengacara yang
ingin seperti mereka.
Sebagaimana yang kami singgung
diatas, seseorang yang ingin menjadi seorang Advokat/Pengacara harus melalui
proses dan yang tidak sebentar, proses perekrutan lawyer advokat yang panjang, serta
memakan biaya yang tidak sedikit. Mulai dari kuliah di Fakultas Hukum, menjadi
Sarjana Hukum, mengikuti Pendidikan Khusus Profesi Advokat, Ujian Advokat yang
tidak terdapat jaminan untuk lulus, Magang selama 2 (dua) tahun sampai dengan
Pengangkatan atau pengambilan sumpah di pengadilan tinggi untuk menjadi seorang
Advokat/Pengacara. Prosedur dan atau cara menjadi advokat dengan segala persyaratan tersebut, ditambah dengan
bahwa batas minimal seseorang dapat menjadi Advokat atau Pengacara adalah
minimal berumur 25 tahun.
Disamping itu, setelah meraih
profesi advokat ini, harus mengikuti proses seleksi alam dalam rangka menjalani
profesi Advokat atau Pengacara juga terjadi. Seseorang Advokat/Pengacara yang
kuat untuk menjalani proses panjang ini, akan tetap bertahan, sedangkan yang
lemah lambat laun akan mundur secara teratur. Hal ini dibuktikan dari ratusan
ribu sarjana hukum, ribuan yang ingin menjadi pengacara mengikuti pendidikan khusus
profesi advokat (pkpa), Ujian Advokat, Magang, Pengangkatan atau pengambilan
sumpah di pengadilan, mungkin hanya ratusan orang yang masih setia hidup dalam
dunia profesi Advokat/Pengacara dan yang lainnya sudah berubah profesi alias “banting stir”, baik karena keinginan
pribadi atau karena panggilan orang lain.
Ditambah dengan Organisasi Advokat (OA)
sebagaimana termaktub dalam UU Advokat Nomor 18 Tahun 2003 (UUA) yang merupakan
pintu masuk seseorang untuk menjadi seorang Advokat/Pengacara sekarang begitu banyak
yang juga disinyalir tanpa mengutamakan adanya “kualitas”. Organisasi demi
organisasi advokat baru lahir bagaikan jamur yang tumbuh di musim hujan.
Kelahiran organisasi advokat
Indonesia lebih banyak disebabkan oleh perbedaan pendapat pengurus dan arogansi
para petinggi organisasi, sehingga pengurus yang sakit hati tersebut keluar
dari satu organisasi dan membuat organisasi yang baru. Organisasi yang baru
tersebut pun mengalami perbedaan pendapat antar pengurus, sehingga pengurusnya
pun keluar dan membuat organisasi advokat yang baru. Ya, dengan kata lain banyaknya
organisasi advokat saat ini adalah terbentuk karena terjadinya beda pendapat
dan atau secara umum disebut karena adanya perpercahan di tubuh organisasi
advokat Indonesia.
Kondisi kemelut organisasi advokat
diatas, tidak hanya terjadi di kepengusan pada tingkat nasional, daerah (kota
medan) juga mengalami hal yang sama, sehingga menyebabkan pendidikan khusus
profesi advokat (pkpa) maupun ujian advokat yang dahulu hanya dapat diselenggarakan
oleh 1 (satu) organisasi advokat tertentu sekarang ini dapat pula dilaksanakan
oleh banyak organisasi advokat. Bahkan, lebih parahnya lagi, apabila tidak
lulus di salah satu organisasi dapat mencoba di organisasi lainnya dan
dinyatakan lulus pula. Dengan kata lain, memilih “jalan pintas” dari calon
advokat/pengacara yang bisa tinggal memilih mana organisasi advokat yang
menawarkan proses yang mudah untuk menjadi pengacara, dengan biaya yang murah, serta
bisa dengan cepat menjadi Advokat/Pengacara terdaftar.
Semua hal tersebut menyebabkan
profesi Advokat/Pengacara kini bagaikan menjual kacang goreng, dimana pada
pokoknya disinyalir oleh banyak pihak yang mengatakan bahwasanya tidak terdapat
lagi standard atau kualifikasi maupun pemahaman atas kode etik dan kesantunan advokat
yang jelas untuk menjadi seorang Advokat/Pengacara menjadi terabaikan.
Masing-masing organisasi advokat hanya sibuk masalah pribadi mereka, yaitu
dengan “mencari eksistensi”
semata, sehingga seperti melupakan awal mula tujuan pendirian organisasi, yaitu
melahirkan profesi Advokat/Pengacara yang berkualitas, professional dan
memahami kode etik advokat indonesia, ketika menjalankan profesinya. Ya, adanya kemulut
perpecahan organisasi advokat yang terjadi adalah disebabkan oleh “keras kepala”,
egois, dan gila jabatan yang dilakukan oleh sebahagian atau segelintir pengurus
organisasi advokat.
Apa yang kami sebutkan diatas, telah
turut melahirkan sebuah pertanyaan bahwa bagaimana melahirkan Advokat atau
Pengacara yang profesional dan handal, sedangkan organisasi advokat tersebut
hanya sibuk sendiri dan tidak fokus dalam menentukan standard atau kualifikasi
yang jelas untuk menjadi Advokat/Pengacara dimaksud.
Persoalan diatas apabila terus
menerus terjadi dan menjadi sisi kelam yang dapat menyebabkan kewibawaan
profesi advokat/pengacara hancur sampai ketitik nadir dan menyebabkan profesi lawyer
yang berkategori sangat mulia ini (officium
nobile), menjadi profesi yang hilang wibawanya dan sangat bobrok
ditengah-tengah masyarakat. Kapankan sisi hitam perjalanan profesi ini menjadi
benar-benar officium nobile? Sudahkan pengacara indonesia officium nobile? Jawabannya
kembali ke para advokat Indonesia. Sekian dan terima kasih.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
No Link Aktif, Harap Maklum BOSS.....