Permainan
kotor dalam bentuk perbuatan korupsi telah merajalela di hampir semua bidang.
Adanya fakta pahit ini, menjadi bukti nyata bahwa sebenarnya Indonesia berada
pada titik darurat korupsi. Di dunia pengadilan terjadi jual beli kasus ataupun
putusan, dibidang pajak juga acap kali menjadi sarang korupsi, begitu juga
dengan pemilihan pejabat publik melalui mekanisme fit anda proper test juga tidak luput dari adanya transaksi suap,
kemudian dalam hal penyelenggaraan haji juga terjadi perbuatan-perbuatan
manipulasi, dan bahkan sampai-sampai pengadaan Kitab Suci Al-Quran juga tidak
luput dari permainan-permainan kotornya korupsi.
Memang
sangat ironis karena begitu banyak orang-orang yang bermental koruptor masih terus
berusaha dengan segala alasan untuk mengeruk keuangan negara. Korupsi ini
terjadi tidak hanya terjadi menimpa lembaga pemerintahan semata, melainkan juga
anggota dewan yang katanya sangat terhormat dan saat ini sedang enak duduk di
kursi empuk gedung parlemen terhormat juga mengkhianati amanah yang diberikan
rakyat pemilih kepadanya saat penyelenggaraan pemilu legislatif. Dimana dengan pengaruh dan kekuasaan yang
dimilikinya dengan etika yang tidak baik selalu berusaha untuk mengeruk
keuntungan yang sebesar-besarnya, baik untuk dirinya sendiri maupun untuk
golongannya.
Munculnya
fakta bahwa anggota perwakilan rakyat sudah berada pada posisi darurat korupsi disebabkan
adanya perbuatan dan atau tindakan yang dilakukan oleh anggota Komisi VII Dewan
Perwakilan Rakyat Republik Indonesia (DPR-RI) dari Fraksi Partai Hati Nunari
Rakyat (Hanura), kemudian Dewie Yasin Limpo yang “main api” dalam proyek
pembangkit listrik di Kabupaten Deiyai, Provinsi Papua. Dimana, Dewie Yasin
Limpo disuap oleh Kepala Dinas (Kadis) Energi Sumber Daya Mineral (ESDM)
Kabupaten Deiyai, Provinsi Papua Saudara Irenius Adii dan juga oleh pengusaha
Setiady Jusuf.
Secara
teori, sebenarnya tugas yang dilakukan oleh Dewie Yasin Limpo adalah merupakan
tugas mulia dalam kapasitasnya sebagai wakil rakyat sangat pantas memikirkan
rakyat di Provinsi Papua yang belum mendapat penerangan listrik. Namun,
tindakannya yang hendak mengambil keuntungan dari hal-hal yang dilakukannya
dalam mengawasi dan memonitoring pelaksanaan pembangunan proyek kelistrikan di
Kabupaten Deiyai, tentunya sangat tidak terpuji bila dilakukan oleh seorang
anggota dewan yang terhormat. Dewie Yasin Limpo telah jelas-jelas mempergunakan
kekuasaan ataupun pengaruhnya untuk menambah kekayaan pribadinya.
Selain
Dewie Yasin Limpo masih ada anggota DPR-RI dari Fraksi Partai Demokrasi
Indonesia Perjuangan (PDIP) Damayanti Wisnu Putranti dan juga anggota Fraksi
Golkar Budi Supriyanto yang juga main api dalam proyek pembangunan dan
peningkatan jalan di Provinsi Maluku dan Provinsi Maluku Utara, dimana baik
Damayanti dan Budi juga telah memanfaatkan dan/atau mempergunakan kekuasaan dan
pengaruhnya untuk menambah pundi-pundi ataupun memperkaya dirinya sendiri.
Belum
selesainya kasus-kasus hukum yang
melibatkan anggota DPR-RI diatas, terungkap pula permainan kotor korupsi yang
melibatkan anggota dewan yang lain, yaitu Ketua Komisi D DPRD DKI Jakarta M
Sanusi yang tertangkap tangan oleh Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) seusai
menerima upeti uang suap terkait dengan adanya pembahasan Rancangan Peraturan
Daerah (RAPERDA) DKI Jakarta tentang Rencana Zonasi Wilayah Pesisir dan
Pulau-Pulau Kecil DKI tahun 2015-2035 dan Raperda tentang Rencana Kawasan Tata
Ruang Kawasan Strategis Pantai Utara Jakarta.
Pola
korupsi yang dimainkan oleh M Sanusi sedikit lebih unik, dimana wajah perbuatan
korupsi melibatkan perselingkungan antara legislator
dengan pengusaha, dimana legislator membutuhkan uang sedangkan pengusaha
membutuhkan produk kebijakan dalam bentuk regulasi Peraturan Daerah (PERDA)
yang diarahkan berpihak pada kepentingan sang pengusaha. Peraturan daerah yang
sepatutnya berisi tentang aturan-aturan yang mengatur segala sesuatu demi
kemajuan dan kemakmuran daerah dan masyarakat, malah diupayakan untuk
diatur-atur sehingga menguntungkan perusahaan bisnis pihak-pihak tertentu.
Tentu
saja apa yang dicontohkan oleh anggota legislator M Sanusi ini merupakan upaya
yang sangat jahat dan tidak layak dilakukan oleh anggota dewan yang mana
seharusnya memikirkan, membahas dan menghasilkan produk regulasi tentang
hal-hal yang berpihak untuk mensejahterakan rakyat.
Pada
prinsipnya, para wakil rakyat yang berasal dari berbagai partai politik (parpol) merupakan salah satu lembaga yang bertugas
untuk mengawasi pemerintah (lembaga eksekutif), dimana tugas ini juga merupakan
pengejawantahan dari sistem ketatanegaraan yang dianut Indonesia. Wakil rakyat
ini juga sudah dipilih melalui proses yang sangat panjang dan bahkan sampai dengan
mengeluarkan dana yang tidak sedikit, diharapkan bisa bekerja dengan segenap
hati dan pikirannya untuk rakyat. Bukan sebaliknya, mempergunakan kekuasaan,
pengaruh dan jabatan yang dimilikinya untuk mendapatkan pemasukan yang tidak
etis dengan melakukan korupsi.
Perang
untuk memberantas korupsi, seharusnya menjadi program utama bagi para wakil
rakyat di lembaga perwakilan rakyat, bukan sebaliknya mencari cara atau celah
agar dapat peluang untuk melakukan perbuatan korupsi. Karena segala sesuatu
produk yang tercipta dari hasil konspirasi korupsi, pasti hasilnya tidak
maksimal. Sebagai contoh nyata, kita lihat saja proyek-proyek pembangunan
dan/atau pemeliharaan jalan yang ditengarai terjadi banyak
penyelewengan-penyelewengan anggaran dalam pembangunannya, pasti jalan tersebut
cepat rusak karena kualitas dan volume bahan yang dipergunakan tidak sesuai
dengan standarnya. Demikian pula halnya dengan produk regulasi berupa
aturan-aturan yang penerbitannya dipengaruhi demi memuluskan jalan kelompok
bisnis tertentu, pasti hasilnya juga tidak akan pernah maksimal. Benarkan. Oleh
karena itu, semuanya harus dilakukan dengan benar dan jujur.
Menepis Pandangan
Wakil Rakyat Adalah Para Broker Proyek
Adanya
wakil rakyat yang bermain api dengan menjadi broker proyek, sedikit banyaknya
telah mencoreng nama baik lembaga perwakilan rakyat, dimana sebenarnya
kewajiban setiap anggota dewan adalah untuk memperjuangkan aspirasi dan
kepentingan daerah. Dalam rangka melaksanakan kewajiban tersebut, tentu saja
anggota dewan harus mempunyai kemampuan untuk bernegoisasi, melobi dan lihai
bergaul dengan siapa saja guna memengaruhi pusat untuk merealisasikan berbagai
proyek-proyek penting di daerahnya. Dimana semuanya itu dilakukan dengan penuh
rasa tanggung jawab yang besar, penuh keiklasan karena semuanya semata-mata
untuk kepentingan ataupun kesejahteraan rakyat.
Namun,
dalam dinamikanya ada beberapa anggota dewan yang melakukan lobby bukan untuk
kepentingan rakyat, namun untuk dan atas nama dirinya sendiri dan beberapa
kolega-koleganya dalam permainan bisnis kotornya. Tak ayal lagi, anggota dewan
yang seperti itu diibaratkan sebagai seorang “broker” yang mempergunakan pengaruh dan jabatannya demi mendapatkan
pundi-pundi dari setiap proyek yang dikerjakan. Untuk memuluskan niatannya ini
juga tidak cuma-cuma/gratis, tetapi harus dengan kekuatan sejumlah uang. Tentu
saja perbuatan ini telah melanggar “kode
etik dewan perwakilan rakyat”, namun kode etik tinggal kode etik demi
mendapatkan tambahan kekakayaan pribadi.
Para
wakil rakyat sepertinya sudah lupa dengan ikrar sumpah/janji yang diucapkannya
ketika mereka dulunya diangkat sebagai wakil rakyat. Seyogianya para wakil
rakyat wajib melaksanakan seluruh janji-janji yang diucapkannya saat kampanye
pada proses pemilihan. Disamping itu, para wakil rakyat sudah mendapat gaji
yang besar dari pendapatan pajak yang dibayarkan oleh rakyat. Jadi
kecenderungan melakukan lobby dengan mengandalkan kekuatan sejumlah uang harus
dihindari atau dibuang jauh-jauh. Demikian pula halnya dengan mental-mental
broker proyek para anggota dewan haruslah ditanggalkan. Karena anggota dewan
adalah orang-orang terpilih dan dipercaya untuk duduk digedung lembaga parlemen
dalam hal memberikan yang terbaik bagi rakyat.
Karena
itu tidak ada salahnya menjatuhkan hukuman yang maksimal bagi wakil rakyat yang
tertangkap melakukan tindakan atau perbuatan korupsi uang negara, agar hal ini
menjadi efek jera dan sekaligus pembelajaran bagi wakil rakyat yang
mencoba-coba berani melakukan korupsi. Pemberantasan korupsi harus diperangi
secara bersama-sama, karena korupsi sangat merugikan. Disamping itu, rakyat sangat
berharap agar anggota dewan tidak lagi melumuri wajah parlemen dengan
lumpur-lumpur komersialisasi jabatan dan pengaruhnya untuk menambah pundi-pundi,
inilah amalan yang benar dan harus dilaksanakan anggota dewan dalam periode
masa tugasnya. Jadi sebenarnya, anggota dewan itu merupakan jabatan yang
terhormat, bukan merupakan para calo yang mondar-mandir untuk mendapatkan
proyek-proyek di daerah.
Demikian
tulisan kami yang membahas tentang benarkah wakil rakyat broker proyek di
daerah, semoga ada manfaatnya. Atas perhatiannya diucapkan terima kasih. Salam
Advokat/Pengacara Indonesia.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
No Link Aktif, Harap Maklum BOSS.....