Halaman

21 Juli 2016

Benarkah Wakil Rakyat Broker Proyek Di Daerah

Permainan kotor dalam bentuk perbuatan korupsi telah merajalela di hampir semua bidang. Adanya fakta pahit ini, menjadi bukti nyata bahwa sebenarnya Indonesia berada pada titik darurat korupsi. Di dunia pengadilan terjadi jual beli kasus ataupun putusan, dibidang pajak juga acap kali menjadi sarang korupsi, begitu juga dengan pemilihan pejabat publik melalui mekanisme fit anda proper test juga tidak luput dari adanya transaksi suap, kemudian dalam hal penyelenggaraan haji juga terjadi perbuatan-perbuatan manipulasi, dan bahkan sampai-sampai pengadaan Kitab Suci Al-Quran juga tidak luput dari permainan-permainan kotornya korupsi.

Pengacara Top Bidang Korupsi dan Broker Proyek Daerah

Memang sangat ironis karena begitu banyak orang-orang yang bermental koruptor masih terus berusaha dengan segala alasan untuk mengeruk keuangan negara. Korupsi ini terjadi tidak hanya terjadi menimpa lembaga pemerintahan semata, melainkan juga anggota dewan yang katanya sangat terhormat dan saat ini sedang enak duduk di kursi empuk gedung parlemen terhormat juga mengkhianati amanah yang diberikan rakyat pemilih kepadanya saat penyelenggaraan pemilu legislatif. Dimana dengan pengaruh dan kekuasaan yang dimilikinya dengan etika yang tidak baik selalu berusaha untuk mengeruk keuntungan yang sebesar-besarnya, baik untuk dirinya sendiri maupun untuk golongannya.

Munculnya fakta bahwa anggota perwakilan rakyat sudah berada pada posisi darurat korupsi disebabkan adanya perbuatan dan atau tindakan yang dilakukan oleh anggota Komisi VII Dewan Perwakilan Rakyat Republik Indonesia (DPR-RI) dari Fraksi Partai Hati Nunari Rakyat (Hanura), kemudian Dewie Yasin Limpo yang “main api” dalam proyek pembangkit listrik di Kabupaten Deiyai, Provinsi Papua. Dimana, Dewie Yasin Limpo disuap oleh Kepala Dinas (Kadis) Energi Sumber Daya Mineral (ESDM) Kabupaten Deiyai, Provinsi Papua Saudara Irenius Adii dan juga oleh pengusaha Setiady Jusuf.

Secara teori, sebenarnya tugas yang dilakukan oleh Dewie Yasin Limpo adalah merupakan tugas mulia dalam kapasitasnya sebagai wakil rakyat sangat pantas memikirkan rakyat di Provinsi Papua yang belum mendapat penerangan listrik. Namun, tindakannya yang hendak mengambil keuntungan dari hal-hal yang dilakukannya dalam mengawasi dan memonitoring pelaksanaan pembangunan proyek kelistrikan di Kabupaten Deiyai, tentunya sangat tidak terpuji bila dilakukan oleh seorang anggota dewan yang terhormat. Dewie Yasin Limpo telah jelas-jelas mempergunakan kekuasaan ataupun pengaruhnya untuk menambah kekayaan pribadinya.

Selain Dewie Yasin Limpo masih ada anggota DPR-RI dari Fraksi Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan (PDIP) Damayanti Wisnu Putranti dan juga anggota Fraksi Golkar Budi Supriyanto yang juga main api dalam proyek pembangunan dan peningkatan jalan di Provinsi Maluku dan Provinsi Maluku Utara, dimana baik Damayanti dan Budi juga telah memanfaatkan dan/atau mempergunakan kekuasaan dan pengaruhnya untuk menambah pundi-pundi ataupun memperkaya dirinya sendiri.

Belum selesainya kasus-kasus hukum yang melibatkan anggota DPR-RI diatas, terungkap pula permainan kotor korupsi yang melibatkan anggota dewan yang lain, yaitu Ketua Komisi D DPRD DKI Jakarta M Sanusi yang tertangkap tangan oleh Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) seusai menerima upeti uang suap terkait dengan adanya pembahasan Rancangan Peraturan Daerah (RAPERDA) DKI Jakarta tentang Rencana Zonasi Wilayah Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil DKI tahun 2015-2035 dan Raperda tentang Rencana Kawasan Tata Ruang Kawasan Strategis Pantai Utara Jakarta.

Pola korupsi yang dimainkan oleh M Sanusi sedikit lebih unik, dimana wajah perbuatan korupsi melibatkan perselingkungan antara legislator dengan pengusaha, dimana legislator membutuhkan uang sedangkan pengusaha membutuhkan produk kebijakan dalam bentuk regulasi Peraturan Daerah (PERDA) yang diarahkan berpihak pada kepentingan sang pengusaha. Peraturan daerah yang sepatutnya berisi tentang aturan-aturan yang mengatur segala sesuatu demi kemajuan dan kemakmuran daerah dan masyarakat, malah diupayakan untuk diatur-atur sehingga menguntungkan perusahaan bisnis pihak-pihak tertentu.

Tentu saja apa yang dicontohkan oleh anggota legislator M Sanusi ini merupakan upaya yang sangat jahat dan tidak layak dilakukan oleh anggota dewan yang mana seharusnya memikirkan, membahas dan menghasilkan produk regulasi tentang hal-hal yang berpihak untuk mensejahterakan rakyat.

Pada prinsipnya, para wakil rakyat yang berasal dari berbagai partai politik (parpol) merupakan salah satu lembaga yang bertugas untuk mengawasi pemerintah (lembaga eksekutif), dimana tugas ini juga merupakan pengejawantahan dari sistem ketatanegaraan yang dianut Indonesia. Wakil rakyat ini juga sudah dipilih melalui proses yang sangat panjang dan bahkan sampai dengan mengeluarkan dana yang tidak sedikit, diharapkan bisa bekerja dengan segenap hati dan pikirannya untuk rakyat. Bukan sebaliknya, mempergunakan kekuasaan, pengaruh dan jabatan yang dimilikinya untuk mendapatkan pemasukan yang tidak etis dengan melakukan korupsi.

Perang untuk memberantas korupsi, seharusnya menjadi program utama bagi para wakil rakyat di lembaga perwakilan rakyat, bukan sebaliknya mencari cara atau celah agar dapat peluang untuk melakukan perbuatan korupsi. Karena segala sesuatu produk yang tercipta dari hasil konspirasi korupsi, pasti hasilnya tidak maksimal. Sebagai contoh nyata, kita lihat saja proyek-proyek pembangunan dan/atau pemeliharaan jalan yang ditengarai terjadi banyak penyelewengan-penyelewengan anggaran dalam pembangunannya, pasti jalan tersebut cepat rusak karena kualitas dan volume bahan yang dipergunakan tidak sesuai dengan standarnya. Demikian pula halnya dengan produk regulasi berupa aturan-aturan yang penerbitannya dipengaruhi demi memuluskan jalan kelompok bisnis tertentu, pasti hasilnya juga tidak akan pernah maksimal. Benarkan. Oleh karena itu, semuanya harus dilakukan dengan benar dan jujur.

Menepis Pandangan Wakil Rakyat Adalah Para Broker Proyek
Adanya wakil rakyat yang bermain api dengan menjadi broker proyek, sedikit banyaknya telah mencoreng nama baik lembaga perwakilan rakyat, dimana sebenarnya kewajiban setiap anggota dewan adalah untuk memperjuangkan aspirasi dan kepentingan daerah. Dalam rangka melaksanakan kewajiban tersebut, tentu saja anggota dewan harus mempunyai kemampuan untuk bernegoisasi, melobi dan lihai bergaul dengan siapa saja guna memengaruhi pusat untuk merealisasikan berbagai proyek-proyek penting di daerahnya. Dimana semuanya itu dilakukan dengan penuh rasa tanggung jawab yang besar, penuh keiklasan karena semuanya semata-mata untuk kepentingan ataupun kesejahteraan rakyat.

Namun, dalam dinamikanya ada beberapa anggota dewan yang melakukan lobby bukan untuk kepentingan rakyat, namun untuk dan atas nama dirinya sendiri dan beberapa kolega-koleganya dalam permainan bisnis kotornya. Tak ayal lagi, anggota dewan yang seperti itu diibaratkan sebagai seorang “broker” yang mempergunakan pengaruh dan jabatannya demi mendapatkan pundi-pundi dari setiap proyek yang dikerjakan. Untuk memuluskan niatannya ini juga tidak cuma-cuma/gratis, tetapi harus dengan kekuatan sejumlah uang. Tentu saja perbuatan ini telah melanggar “kode etik dewan perwakilan rakyat”, namun kode etik tinggal kode etik demi mendapatkan tambahan kekakayaan pribadi.

Para wakil rakyat sepertinya sudah lupa dengan ikrar sumpah/janji yang diucapkannya ketika mereka dulunya diangkat sebagai wakil rakyat. Seyogianya para wakil rakyat wajib melaksanakan seluruh janji-janji yang diucapkannya saat kampanye pada proses pemilihan. Disamping itu, para wakil rakyat sudah mendapat gaji yang besar dari pendapatan pajak yang dibayarkan oleh rakyat. Jadi kecenderungan melakukan lobby dengan mengandalkan kekuatan sejumlah uang harus dihindari atau dibuang jauh-jauh. Demikian pula halnya dengan mental-mental broker proyek para anggota dewan haruslah ditanggalkan. Karena anggota dewan adalah orang-orang terpilih dan dipercaya untuk duduk digedung lembaga parlemen dalam hal memberikan yang terbaik bagi rakyat.

Karena itu tidak ada salahnya menjatuhkan hukuman yang maksimal bagi wakil rakyat yang tertangkap melakukan tindakan atau perbuatan korupsi uang negara, agar hal ini menjadi efek jera dan sekaligus pembelajaran bagi wakil rakyat yang mencoba-coba berani melakukan korupsi. Pemberantasan korupsi harus diperangi secara bersama-sama, karena korupsi sangat merugikan. Disamping itu, rakyat sangat berharap agar anggota dewan tidak lagi melumuri wajah parlemen dengan lumpur-lumpur komersialisasi jabatan dan pengaruhnya untuk menambah pundi-pundi, inilah amalan yang benar dan harus dilaksanakan anggota dewan dalam periode masa tugasnya. Jadi sebenarnya, anggota dewan itu merupakan jabatan yang terhormat, bukan merupakan para calo yang mondar-mandir untuk mendapatkan proyek-proyek di daerah.

Demikian tulisan kami yang membahas tentang benarkah wakil rakyat broker proyek di daerah, semoga ada manfaatnya. Atas perhatiannya diucapkan terima kasih. Salam Advokat/Pengacara Indonesia.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

No Link Aktif, Harap Maklum BOSS.....