Hutang Piutang Perdatakah atau Pidana ~ Mungkin pernah suatu
ketika, rekan advokat kedatangan klien yang ingin berkonsultasi tentang apakah
bisa wanprestasi dari adanya perbuatan hukum hutang piutang dapat dijadikan
kasus tindak pidana?. Atau mungkin, pengalaman praktek advokat yang pernah
menemukan permasalahan hukum yang awalnya adalah hubungan keperdataan menjadi
pidana? Memang akhir-akhir ini pergeseran adanya pemahaman tentang polemik perbuatan hukum perdata berubah menjadi tindak pidana sudah mulai “meresahkan” banyak
pihak, tidak terkecuali dalam hal ini adalah advokat (lawyer/pengacara).
Tapi, pada kesempatan ini, kami tegaskan bahwa sebenarnya peristiwa
hukum berupa wanprestasi akibat adanya hutang piutang tidak bisa dijadikan
sebagai perbuatan tindak pidana penipuan. Karena apabila seseorang tidak melaksanakan
kewajibannya untuk melunasi seluruh hutang-hutangnya, maka secara hukum dianya telah
melakukan perbuatan hukum berupa cidera janji atau wanprestasi.
Upaya dan sanksi hukum yang dapat dikenakan apbila terjadi hal
cidera janji atau wanprestasi sebagaimana disebutkan diatas adalah diatur
secara tegas dalam Pasal 1243 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata (KUHPerdata)
yang menyatakan: “Penggantian biaya, rugi dan bunga karena tak dipenuhinya
suatu perikatan, barulah mulai diwajibkan, apabila si berutang, setelah
dinyatakan lalai memenuhi perikatannya, tetap melalaikannya, atau jika sesuatu
yang harus diberikan atau dibuatnya, hanya dapat diberikan atau dibuat dalam
tenggang waktu yang telah dilampaukannya”.
Tentu saja sebelum seseorang dapat dinyatakan telah melakukan
perbuatan cidera janji atau wanprestasi, harus memenuhi unsur atau kriteria
yang telah ditetapkan dalam Pasal 1243 KUPerdata, yang pada pokoknya menyatakan:
“bahwa seseorang dinyatakan telah melakukan cidera janji atau wanprestasi apabila
tidak memenuhi kewajiban yang diwajibkan kepadanya padahal tenggang waktu yang
diberikan kepadanya untuk melakukan kewajiban tersebut telah lewat”.
Berdasarkan ketentuan Pasal 1243 diatas, jelas bahwa sebenarnya perkara
wanprestasi akibat adanya perbuatan hukum berupa hutang piutang tidak dapat
dijadikan sebagai perbuatan tindak pidana penipuan sebagaimana diatur dalam
ketentuan Pasal 378 Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KHUPidana). Adapun
ketentuan Pasal 378 KuHpidana, menyatakan: “Barangsiapa dengan maksud untuk
menguntungkan diri sendiri atau orang lain secara melawan hukum, dengan memakai
nama palsu atau martabat palsu, dengan tipu muslihat, ataupun rangkaian
kebohongan, menggerakkan orang lain untuk menyerahkan barang sesuatu kepadanya,
atau supaya memberi hutang maupun menghapuskan piutang, diancam karena penipuan
dengan pidana penjara paling lama empat tahun”.
Kalau kita perhatikan dan analisa ketentuan Pasal 378 KUHPidana
diatas, jelas bahwa unsur-unsur yang terdapat dalam perbuatan tindak pidana
penipuan adalah: adanya unsur tipu muslihat atau rangkaian kebohongan. Hal ini
diperjelas lagi dengan adanya yurisprudensi berupa Putusan Mahkamah Agung Republik Indonesia Nomor 1601.K/Pid/1990 tertanggal 26 Juli 1990, yang mengatakan:
“unsur pokok delict penipuan (ex Pasal 378 KUHP) adalah terletak pada cara atau
upaya yang telah digunakan oleh si pelaku delict untuk menggerakan orang lain
agar menyerahkan sesuatu barang”.
Selain dasar hukum yurisprudensi di atas, terdapat juga beberapa
Putusan Mahkamah Agung Republik Indonesia yang juga menyatakan bahwa hutang
piutang tidak dapat dipidanakan, diantaranya:
- Putusan Nomor Register 93K/Kr/1969, tertanggal 11 Maret 1970, yang menyatakan: “sengketa hutang piutang adalah merupakan sengketa perdata”;
- Putusan Nomor Register 39K/Pid/1984, tertanggal 13 September 1984;
- Putusan Nomor Register 325K/Pid/1985, tertanggal 8 Oktober 1986, yang menyatakan: “sengketa perdata tidak dapat dipidanakan”;
Meskipun demikian, dalam praktek hukum dan dikaitkan dengan
ketentuan Pasal 378 KUHPerdata dan yurisprudensi berupa Putusan Mahkamah Agung
Republik Indonesia Nomor 1601.K/Pid/1990 tertanggal 26 Juli 1990, masih dimungkinkan terjadinya penafsiran kasus perdata jadi pidana di Indonesia, dimana terdapat celah hukum untuk menjadikan wanprestasi hutang piutang dapat
dipidanakan asalkan perbuatan tersebut mengandung unsur atau cara atau upaya
yang telah digunakan oleh si pelaku delict untuk menggerakan orang lain agar
menyerahkan sesuatu barang, yang selanjutnya di interpretasikan dengan: “menggunakan
tipu muslihat atau rangkaian kebohongan agar seseorang mau memberikan pinjaman
kepadanya, misalnya jika terdapat unsur menggunakan nama, martabat atau jabatan
palsu, tipu muslihat atau kebohongan sedari awal dia melakukan pinjaman. Kalau
tidak ada unsur ini, maka wanprestasi akibat adanya hutang piutang tidak dapat
dianggap atau dikenakan sebagai perbuatan pidana sebagaimana diatur dalam
ketentuan Pasal 378 KUHPidana.
Sekian dan terima kasih.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
No Link Aktif, Harap Maklum BOSS.....