Meski tidak dikenal dalam hukum positif Indonesia, namun eksistensi dc dalam perbuatan menagih hutang semakin marak. Mereka bekerja berdasarkan kuasa yang diberikan oleh pihak kreditur (lembaga keuangan/pembiayaan).
Kondisi permintaan yang tinggi inilah mengakibatkan kehadiran jasa dc menjadi hal yang biasa ditemukan dalam dunia jasa keuangan, khususnya perusahaan pembiayaan (leasing) jika ingin menagih utang kepada nasabahnya.
Kerap dipersoalkan ketika debt collector menjalankan pekerjaannya masih banyak di temukan adanya perbuatan nakal yang tidak sesuai dengan aturan hukum yang berlaku, dan bahkan mengarah ke suatu tindak pidana sebagaimana diatur dalam KUHP (Kitab Undang-Undang Hukum Pidana).
Saya selaku pengacara mencermati, ada beberapa tindakan yang dilakukan oleh dc dan banyak dikeluhkan oleh debitur saat penagihan hutang, diantaranya:
1) Penganiayaan
Perbuatan ini diancam dengan Pasal 351 ayat 1, 2, dan 3 KUHP. Adapun sanksi pidananya adalah mulai yang ringan dengan hukuman penjara maksimum dua tahun delapan bulan (ayat 1). Pidana penjara 5 tahun (ayat 2). Serta, pidana penjara maksimum 7 tahun (ayat 3).
Bila dc sampai melakukan tindakan penganiayaan berat dan atau penganiayaan berat yang menyebabkan matinya orang lain, maka akan dikenakan Pasal 354 ayat 1 dan 2 KUHP. Adapun sanksi pidana penjaranya adalah maksimum 8 tahun (ayat 1) dan 10 tahun (ayat 2).
2) Pencurian dengan kekerasan
Perbuatan ini diancam oleh Pasal 365 ayat 1,2,3, dan 4 KUHP. Adapun sanksi pidananya adalah hukuman penjara maksimum 9 tahun (ayat 1). Pidana penjara maksimum 12 tahun (ayat 2). Pidana penjara 15 tahun(ayat 3). Dan bisa di hukum pidana mati atau pidana penjara seumur hidup atau selama waktu tertentu maksimum 20 tahun (ayat 4).
3) Pengancaman
Perbuatan ini bisa saja dilakukan dimuka umum dan dilakukan bersama-sama. Bila benar dilakukan oleh dc, maka dapat dikenakan Pasal 336 ayat 1 dan 2 KUHP.
Adapun sanksi pidananya adalah pidana penjara maksimum dua tahun delapan bulan (ayat 1). Pidana penjara maksimum 5 tahun (ayat 2).
Selain itu, tindakan pengancaman yang dilakukan oleh debt collector dapat juga dikenakan Pasal 369 KUHP. Adapun sanksi pidananya adalah pidana penjara maksimum 4 tahun.
4) Perbuatan tidak menyenangkan
Debt collector yang memperlakukan orang hingga ia merasa tidak senang dapat diancam dengan Pasal 335 ayat 1 dan 2 KUHP. Adapun sanksi pidananya adalah pidana maksimum 1 tahun.
5) Penyitaan paksa
Meskipun pihak debt collector (DC) yang telah mendapat surat kuasa dari kreditur untuk menagih utang, maka hal ini tidak serta merta boleh menyita paksa barang-barang milik debitur. Sebab, menurut hukum positif bahwa penyitaan barang-barang milik debitur yang wanprestasi hanya bisa dilakukan atas adanya dasar putusan pengadilan atau surat perintah penyitaan dari pengadilan.Perbuatan debt collector yang menyita atau mengambil secara paksa barang-barang milik debitur secara melawan hukum dapat dijerat dengan Pasal 362 KUHP. Adapun sanksi pidananya adalah pidana penjara paling lama 5 (lima) tahun atau pidana denda paling banyak sembilan ratus rupiah.
Jika barang-barang milik debitur telah diletakkan jaminan fidusia sebelumnya, dimana kreditur dan debitur tidak sepakat mengenai telah terjadinya wanprestasi dan debitur keberatan menyerahkan objek jaminan fidusia secara sukarela. Maka penerima fidusia (kreditur) tetap tidak boleh melakukan eksekusi sendiri melainkan harus mengajukan permohonan pelaksanaan eksekusi kepada pengadilan negeri.
Perlindungan OJK Terhadap Konsumen
Baru-baru ini telah diterbitkan Peraturan Otoritas Jasa Keuangan (POJK) Nomor 6/POJK.07/2022 tentang Perlindungan Konsumen dan Masyarakat di Sektor Jasa Keuangan. Dimana, POJK ini juga mengatur tentang marketer dan debt collector.
Sebagaimana dipahami, marketer merupakan pegawai pelaku usaha jasa keuangan (PUJK) atau marketer bisa juga disebut merupakan pegawai yang dipekerjakan PUJK. Sehingga, marketer dan debt collector di sektor jasa keuangan di larang melakukan misseling.
Jadi, debt collector adalah pekerja untuk pihak PUJK sehingga bila ada perbuatan melawan hukum yang dilakukan debt collector nakal terhadap debitur, seperti pengancaman dan kekerasan fisik maka PUJK harus bertanggung jawab.
Meski tidak diatur dalam undang-undang perlindungan konsumen OJK, tetapi perbuatan tersebut adalah melanggar ketentuan OJK dan delik pidana umum sehingga dapat dilaporkan ke polisi.
Pelaporan ini dapat dilakukan kalau PUJK berada di bawah pengawasan OJK. Bila tidak berada di bawah pengawasan OJK, maka masyarakat yang menjadi korban dc atau marketer dapat melaporkan langsung ke pihak kepolisian.
Saya selaku advokat melihat, adanya POJK yang baru ini semakin memperkuat pengaturan terhadap perlindungan konsumen dan kewajiban Pelaku Usaha Jasa Keuangan sebagai respons terhadap dinamika perubahan di sektor jasa keuangan.