27 Juni 2016

Antara Politik Uang, DP4 dan DPT

Pasca direvisinya UU No. 8 Tahun 2015 tentang Pilkada, aturan mencegah terjadinya “Politik Uang” pada penyelenggaraan pemilihan kepala daerah gubernur, bupati, walikota dan para wakilnya dinilai masih “banci” dan setengah hati. Hal ini disebabkan Undang-Undang Nomor 8/2015 mencantumkan yang dimaksud dengan “politik uang tidak termasuk pemberian uang makan, minum, transpor, dan hadiah bagi peserta pemilu”.

Advokat dan Pengacara Terbaik Untuk Spesialisasi Pilkada Maupun Pemilu di Indonesia

Tentu saja adanya pengecualian tentang definisi politik uang diatas, menurut kami sedikit banyaknya akan mencederai hakikat pelaksanaan kegiatan kampanye sebagai salah satu sarana dan prasarana medium pendidikan hak politik rakyat untuk menyampaikan segala sesuatu yang berkaitan dengan visi dan misi dari para bakal calon (balon) yang ikut sebagai peserta pilkada.

Dengan kata lain, kami menganggap bahwa adanya pengecualian pengaturan tentang politik uang disinyalir sebagai dinamika dari politik uang terselubung yang mengatasnamakan untuk pemberian uang makan, minum, transpor, dan hadiah bagi peserta pemilu karena seharusnya definisi kampanye dimaknai dan didasarkan pada “voluntarisme” atau kehendak bebas dari setiap para pemilih untuk datang ke tempat/lokasi kampanye karena visi dan misi yang dimiliki oleh para bakal calon dapat menyakinkan dan menyentuh hati para pemilih, serta bila ada atau tidaknya konsumsi (pemberian uang makan, minum, transpor, dan hadiah bagi peserta pemilu) hanyalah pelengkap semata.

Sangat rentannya politik uang terselubung dalam kegiatan disetiap pelaksanaan kampanye sebagaimana kami kemukakan diatas, agar kualitas pelaksanaan pilkada tidak digugat atau dipertanyakan, sangat relevan agar Komisi Pemilihan Umum (KPU) sebagai penyelenggara pemilu/pilkada membuat Peraturan KPU (PKPU) yang dapat lebih lanjut dengan tegas melarang pemberian makan, minum, transpor dalam bentuk uang tunai. KPU juga dapat mengatur tentang pengadaan makan, minum, berbagai hadiah, dan transpor tidak diberikan dalam bentuk tunai, misalnya saja pengaturan tentang transportasi diberikan dalam bentuk bus secara fisik, pemberian minum dengan menyediakan minuman botol kemasan, dan lain sebagainya.

Pro dan Kontra Pemahaman tentang Politik Uang

Bukan namanya politik kalau tidak ada perbedaan pendapat dan/atau pemahaman tentang makna politik uang ini. Hal ini adalah wajar mengingat cara pandang dan latar belakang politik yang berbeda, sedikit banyak turut menambah khasanah polemik pemaknaan politik uang menjadi sangat beragam. Misalnya, kalangan politisi dari partai politik (parpol) dalam sistem ketatanegaraan yang nota bene memiliki kepentingan langsung sebagai salah satu peserta pemilu/pilkada akan memandang masalah pemberian uang makan, minum, transpor, dan hadiah bagi peserta pemilu dalam kampanye dalam bentuk pertemuan terbatas atau tatap muka antara bakal calon dan peserta pemilih akan menganggapnya sebagai hal yang sangat wajar dan bukanlah merupakan bahagian dari politik uang. Alasannya disebabkan orang jauh-jauh datang sangat tidak manusiawi bila tidak diberi makan, menggunakan kendaraan dan bahan bakar minyak.

Disamping pendapat diatas, ada lagi asumsi yang menyatakan bahwasanya yang masuk dalam kategori politik uang adalah => “pemberian uang yang tujuannya memengaruhi para pemilih agar memilih si bakal calon (dalam hal ini kepala daerah)”. Misalnya saja yang populer disebut dengan “serangan fajar”.

Problematika Ketentuan Pasal 48 Ayat 1 B UU No. 8 Tahun 2015

Dalam revisi Undang-Undang tentang Pemilihan Kepala Daerah, khususnya revisi atas Pasal 48 Ayat 1 B memunculkan kekuatiran dari para pendukung bakal calon perseorangan (independen) yang masuk dalam kategori pemilih pemula, dimana para pemilih pemula ini beranggapan bahwa verifikasi dukungan suara kepada calon perseorangan atau independen adalah didasarkan pada daftar pemilih tetap (DPT) pada penyelenggaraan pemilu sebelumnya, sehingga para pemilih pemula yang baru akan mengikuti pemilu belum terdaftar dalam daftar pemilih tetap (DPT).

Tentu saja adanya revisi terhadap UU Pilkada sebagaimana yang termaktub dalam ketentuan Pasal 48 Ayat 1 B harus disikapi secara arif dan bijaksana oleh KPU sebagai penyelenggara pemilu atau pilkada dalam menerbitkan peraturan KPU (PKPU), sehingga nantinya tidak akan menyulitkan calon-calon yang maju melalui jalur perseorangan (independen) dan juga tidak mengganggu tahapan-tahapan pemilihan.

Kalau kita telaah ketentuan Pasal 48 Ayat 1 B UU No. 8 Tahun 2015 tentang Pilkada menyebutkan => “verifikasi administrasi dukungan dapat didasarkan pada DPT dari pemilu terakhir dan daftar penduduk potensial pemilih pemilu (DP4)”. Dengan demikian, para pemilih pemula para pendukung calon perseorangan yang tidak masuk atau terdaftar dalam DPT terakhir dapat ikut berpartisipasi dan memilih disebabkan KPU di dalam melakukan tugas verifikasi juga berdasarkan daftar penduduk potensial pemilu (DP4), sehingga problematika atas adanya kekuatiran tidak dapat mendukung calon perseorangan bagi para pemilih pemula tidak menjadi kenyataan.

Tantangan Badan Pengawas Pemilu (BAWASLU)

Adanya beberapa hal yang mungkin akan terjadi dalam dinamika pelaksanaan pemilu atau pilkada yang kami uraikan diatas adalah merupakan tantangan besar bagi Badan Pengawas Pemilu (BAWASLU) berikut dengan jajaran di tingkat provinsi maupun kabupaten/kota agar secara teliti, seksama dan intensif melakukan pengawasan terhadap penyelenggaraan tahapan-tahapan pilkada, sehingga dapat berjalan sesuai dengan ketentuan peraturan perundangan-undangan yang berlaku.

Khusus untuk indikasi telah terjadi politik uang, alangkah baiknya Bawaslu akan menyamakan persepsi tentang pemaknaan politik uang tidak termasuk pemberian uang makan, minum, transpor, dan hadiah bagi peserta pemilu, agar ketika terjadi tahapan kampanye para petugas di lapangan (dalam hal ini Panwalu atau Panwaslih dan juga para Pengawas Pemilih Lapangan (PPL) mempunyai pegangan dan dasar memaknai politik uang. Mengapa hal ini penting? Hal ini disebabkan unsur pemberian uang untuk memengaruhi para pemilih supaya memilih si bakal calon interpretasinya sangat luas, karena bisa saja dengan adanya pemberian uang makan, minum, transpor, dan hadiah disisipkan kata-kata agar memilih si bakal calon. Apakah ini bukan merupakan kategori politik uang karena telah ada unsur memengaruhi para pemilih agar memilih si bakal calon? Hal inilah yang kami maksudkan, agar BAWASLU melakukan kajian yang konprehensif tentang pemaknaan dari unsur-unsur politik uang dimaksud.

Disamping itu pemberian uang makan, minum, transpor, dan hadiah bagi para peserta pemilu adalah merupakan bahagian dari objek audit oleh Badan Pengawas Pemilu (Bawaslu) bila disinyalir atau ditenggarai bakal calon kepala daerah melakukan praktik-praktik politik uang. Karena sebenarnya masalah standar uang makan, biaya transportasi, hadiah-hadiah, dan pengadaan bahan kampanye pada pertemuan terbatas domainnya dibuat oleh KPU dan setiap besarannya disesuaikan dengan nilai-nilai kewajaran dan kemahalan yang berlaku dan/atau tergantung pada daerah masing-masing.

Tidak hanya masalah politik uang saja yang dilematis, namun masalah DP4 dan DPT juga adalah masalah laten dan sangat krusial. Hal ini disebabkan DP4 dan DPT merupakan persoalan administrasi yang selalu terjadi di setiap penyelenggaraan pemilu/pilkada. Seyogianya, problematika terjadinya persoalan atas terjadinya mekanisme dalam bentuk pelanggaran administrasi ini dapat diselesaikan dengan baik oleh KPU tanpa adanya pengaduan masyarakat tentang DP4 dan DPT dimaksud kepada Panitia Pengawas Pemilihan Umum (Panwaslu atau Panwaslih) dan atau kepada BAWASLU. Serta Bawaslu agar senantiasa melakukan pengawasan yang ekstra ketat dan mengawasi setiap rekomendasi yang diberikannya kepada KPU atas adanya pelanggaran administrasi terhadap DP4 dan DPT ini, apakah KPU telah melakukan perbaikan-perbaikan atas adanya rekomendasi Panwaslu atau Panwaslih.

Satu hal yang tidak kalah penting adalah agar kiranya BAWASLU lebih mengoptimalkan peran serta lembaga-lembaga yang duduk dalam “SENTRA GAKKUMDU”, Yaitu: Badan Pengawas Pemilu, Kepolisian Republik Indonesia dan Kejaksaan Republik Indonesia untuk mempertajam pengawasan dan menyatukan persepsi terhadap tindakan-tindakan yang dapat dikategorikan sebagai pelanggaran pemilu dalam hal politik uang yang ditenggarai terjadi pada setiap tahapan-tahapan pemilu atau pilkada melalui pemberian uang yang tujuannya memengaruhi para pemilih agar memilih si bakal calon.

Hal-hal yang kami kemukakan diatas adalah untuk perbaikan terhadap kualitas penyelenggaraan pemilu atau pilkada, serta juga untuk menghindari banyak sengketa pilkada atau gugatan ataupun keberatan para bakal calon pilkada yang disampaikan kepada Pengadilan Tata Usaha Negara (PTUN), Pengadilan Tinggi Tata Usaha Negara (PT-TUN) dan kepada Dewan Kehormatan Penyelenggara Pemilu (DKPP) karena adanya pelanggaran kode etik yang dilakukan oleh penyelenggara pemilu (KPU dan BAWASLU).

Semoga bermanfaat, sekian dan terima kasih.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

No Link Aktif, Harap Maklum BOSS.....